7/27/2019 Presus Saraf 2
1/31
PRESENTASI KASUS
MIASTENIA GRAVIS
Pembimbing:
dr. Sholihul M, Sp S, Msi Med.
Disusun Oleh:Arga Gumilang Wiriadidjaja
1110221120
KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
JAKARTA
7/27/2019 Presus Saraf 2
2/31
BAB I
STATUS NEUROLOGIS PASIEN
A.
IDENTITAS PASIENNomor rekam medik : 27.94.04
Nama : Tn. M. Y
Umur : 50 tahun
Alamat : Komp. Paspampres H 72 Kramat Jati, Jakarta Timur
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Masuk tanggal : 17 Februari 2013
Diperiksa tanggal : 5 April 2013
Pekerjaan : Anggota TNI
B. ANAMNESISAnamnesis yang dilakukan secara autoanamnesis pada 5 April 2013
Keluhan Utama : lemas pada kedua tangan dan kaki
Keluhan Tambahan : sesak nafas, sulit menelan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli Saraf RSPAD Gatot Soebroto Jakarta dengan keluhan lemas
pada kedua tangan dan kaki sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit ( 17 Februari 2013).
Berdasarkan alloanamnesa, keluhan pasien tersebut sudah diderita semenjak 5 tahun
sebelumnya dan berangsur-angsur menjadi semakin berat dan mengganggu dalam
beberapa tahun terakhir, hingga pasien dibawa oleh keluarganya ke RSPAD Gatot
Soebroto Jakarta. Keluhan lemas yang diderita oleh pasien tersebut dirasakan setelah
pasien melakukan aktivitas.
Sejak 3 tahun terakhir, pasien mulai mengalami kesulitan dalam beraktivitas
sehari-hari. Kelemahan pada kedua tungkai menyebabkan pasien hanya dapat berbaring
saja di tempat tidur. Pergerakan pasien juga dikeluhkan semakin melambat. Selain itu
7/27/2019 Presus Saraf 2
3/31
pasien juga merasakan bahwa kedua kelopak matanya semakin turun dan semakin sulit
untuk diangkat, terutama setelah beraktivitas. Disamping itu juga pasien mengeluhkan
sulitnya menelan, mengakibatkan proses makan menjadi lambat. Kadang-kadang
makanan dan minuman yang dikonsumsi keluar kembali, akibat sulitnya proses menelan.
Setelah itu pasien juga mengeluhkan lambatnya proses berjalan yang dirasakan semakin
nyata.
2 Bulan sebelum pasien dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit, kesulitan
menelan menjadi semakin nyata. Berat badan pasien terlihat sangat menurun diakibatkan
berkurangnya asupan makanan.
3 hari sebelum masuk ke rumah sakit, pasien mengalami demam yang naik turun.
Berdasarkan keterangan istri pasien, pasien sulit untuk dibangunkan dan terdengar
mengorok. Pasien juga sulit untuk diajak berkomunikasi yang ditandai dengan
berkurangnya respon saat diajak berbicara. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk
berdahak disertai sesak napas. Keluhan tambahan seperti mual, muntah, sakit kepala,
bicara pelo dan riwayat kejang dibantah oleh keluarga pasien. Riwayat adanya trauma
pun dibantah oleh pasien beserta keluarganya.
Riwayat Penyakit DahuluRiwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat stroke disangkal
Riwayat Parkinson (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Riwayat kelahiran / pertumbuhan / perkembangan
Tidak ada kelainan
7/27/2019 Presus Saraf 2
4/31
C. PEMERIKSAAN FISIK1. Status Generalisata
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : CM
GCS : Eptosis M6Vendotrachealtube
Tanda-tanda Vital :
TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit Suhu : 36,7C
Kepala : deformitas (-), normocephal
Leher : KGB tidak teraba
Thorax : dada kiri dan kanan tampak simetris,
napas vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
bunyi jantung III murni, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : hati, limpa, ginjal tidak teraba.
bising usus : dalam batas normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, tidak ditemukan deformitas, tidak ada edema
2. Status Psikiatris : Tingkah laku : sulit dinilai Perasaan hati : sulit dinilai Orientasi : sulit dinilai Jalan pikiran : sulit dinilai Daya ingat : sulit dinilai
3. Status NeurologisTANDA RANGSANG MENINGEAL
Kaku kuduk : (-) / (-)
Laseque : >700/ >70
0
7/27/2019 Presus Saraf 2
5/31
Kerniq : >1350/ >135
0
Brudzinky I,II : (-) / (-)
N.CRANIALIS
N.I : Normosmia / Normosmia
N.II : Tajam penglihatan : sulit dinilai
Lapang pandang : sulit dinilai
Pengenalan warna : sulit dinilai
N.III, IV, VI : Ptosis : (+) / (+)
Strabismus : (-)
Nistagmus (-)
Gerakan bola mata ke segala arah : Terhambat
Pupil : bulat, isokor , 3mm/3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung : +/+
N.V : Sensibilitas : Sisi atas: sulit dinilai
Sisi tengah : sulit dinilai
Sisi bawah : sulit dinilai
Membuka dan menutup mulut : sulit dinilai
Menggigit : sulit dinilai
N.VII : Mengangkat alis: sulit dinilai
Kerutan dahi : sulit dinilai
7/27/2019 Presus Saraf 2
6/31
Menutup mata : kedua mata dalam keadaan tertutup
Meringis : sulit dinilai
Menggembungkan pipi : sulit dinilai
N.VIII : Pendengaran: mendengar suara gesekan jari: kanan dan kiri : sulit dinilai
N.IX, X : Disfagia (+)
Disfonia (-)
Arcus faring : simetris
Uvula : ditengah
N.XI : Menolehkan kepala : sulit dinilai
Mengangkat bahu : sulit dinilai
N.XII : Lidah deviasi: sulit dinilai
Atrofi lidah : sulit dinilai
Pelo/ cadel (-)
Pemeriksaan Motorik
Kekuatan :
Dextra Sinistra
4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4
Tonus :
Dextra Sinistra
Hipertonus Hipertonus
Hipertonus Hipertonus
7/27/2019 Presus Saraf 2
7/31
Trofi :
Dextra Sinistra
Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Pemeriksaan Refleks
Fisiologis
Biseps : (+/+)
Triseps : (+/+)
RTL : (+/+)
RTA : (+/+)
Patologis
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)
Openheim : (-/-)
Schaefer : (-/-)Hoffman Trommer : (-/-)
SENSORIK
Eksteroseptif Proprioseptif
Nyeri : sulit dinilai Vibrasi : (sulit dinilai)
Suhu : sulit dinilai Posisi : (sulit dinilai)
Taktil : (+) Rasa dalam : (sulit dinilai)
7/27/2019 Presus Saraf 2
8/31
FUNGSI OTONOM
Miksi : Inkotinensia (-)
Retensi (-)
Anuria (-)
Defekasi : Inkotinensia (-)
Retensi (-)
KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN
Tes Romberg : sulit dinilai
Tes Tendem Gait : sulit dinilai
Tes tumit lutut : tidak dilakukan
Tes telunjuk hidung : tidak dilakukan
FUNGSI LUHUR :
Fungsi bahasa : sulit dinilai Fungsi orientasi : sulit dinilai Fungsi memori : sulit dinilai Fungsi emosi : tampak tenang Fungsi kognisi : sulit dinilai
7/27/2019 Presus Saraf 2
9/31
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LaboratoriumPemeriksaan Laboratorium pada tanggal 21 Maret 2013 menunjukkan adanya
penurunan kadar kolinesterase disertai penurunan elektrolit Natrium. Pemeriksaan
Laboratorium pada tanggal 3 April 2013 menunjukkan turunnya kadar Hb, Hematokrit,
serta eritrosit disertai dengan peningkatan leukosit, dan penurunan kadar elektrolit
Natrium, Kalium serta Klorida
Foto ThoraxFoto rontgen thorax yang diambil pada tanggal 17 Maret 2013 menunjukkan
adanya gambaran infiltrat pada bagian suprahiler dan parakardial kiri
CT-SCANPada tanggal 18 Maret 2013, dilakukan pengambilan gambar CT-SCAN tanpa
kontras, dimana didapatkan hasil : tidak tampak adanya infark, lesi hemoragik maupun
SOL Intrakranial, serta sinus paranasal.
E. DiagnosisDiagnosis klinik : Tetraparese, Ptosis, Disfagia, Disartria, bradikinesia, rigiditasDiagnosis topis :Neuromuscular junction, substansia nigra
Diagnosis etiologis : Miastenia Gravis dengan riwayat Parkinson
F. TERAPI
Medikamentosa :
IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Mestinon 2 x 60 mg 1 x 0,75 mg Madopar 2 x 100 mg Arthane 2 x 2 mg
7/27/2019 Presus Saraf 2
10/31
Non Medikamentosa :
Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir faktor resiko Konsul untuk melakukan rehabilitasi medik Pemeriksaan laboratorium lengkap EMG Pemeriksaan Laboratorium kadar Antibodi Reseptor Asetilkolinesterase Rawat bersama dengan Bagian Penyakit Dalam
G. PrognosisAd Vitam : dubia ad malam
Ad Fungsionam : dubia ad malamAd Sanationam : dubia ad malam
Ad Cosmeticum : dubia ad malam
7/27/2019 Presus Saraf 2
11/31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak,
orang dewasa, dan pada orang tua. Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun
1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat
paralisis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada
perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi.
Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-
gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan
antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-
kemajuan yang nyata.
Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun
miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak
pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan
sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karenasesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat kematian pada waktu lampau dapat mencapai 90%. Kematian biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic
sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi
pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada
pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang
masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan
pengobatan.
7/27/2019 Presus Saraf 2
12/31
2.2. Definisi
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan
satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi
kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah gangguan auto-imun yang menyebabkan otot
skelet menjadi lemah dan lekas lelah1. Miastenia gravis merupakan suatu penyakit yang
bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuskular3.
2.3. Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal
sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial
aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang
sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabutotot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan
oleh enzim asetilkolinesterase.
7/27/2019 Presus Saraf 2
13/31
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit
miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran
postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membranpresinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya
ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang
dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil.
Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
7/27/2019 Presus Saraf 2
14/31
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada
kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita
hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-
menerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang
abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-
penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa
perubahan di jaringan limfoster lainnya
5
.
2.4. Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan
otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif
lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala
kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala
kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan
mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan
ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu
sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-
kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit
tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat
bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas
dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral,
7/27/2019 Presus Saraf 2
15/31
salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra
jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat
ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot
pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini
dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan
suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakansebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang
pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat
ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnyadapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan
memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami
eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid
atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang
disertai diare dan demam.
7/27/2019 Presus Saraf 2
16/31
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam
keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.
2.5. Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus
kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar.
Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih
nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena.
Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka
kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6
bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
7/27/2019 Presus Saraf 2
17/31
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala
kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba.
Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia
gravis, ialah1:
1. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang
ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknyaantibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan
antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.
4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada
miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran
asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell
carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita
mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan
7/27/2019 Presus Saraf 2
18/31
okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh
mulutnya kering.
6. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada
umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi
menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat
sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dansistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia
gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet
dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkankasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah
makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul
pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola
desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan
dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan
otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering,
konstipasi, retensi urin).
7/27/2019 Presus Saraf 2
19/31
2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting
sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu
dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan.
Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan
IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya
penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30%
penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak
ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan
antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif
sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek
samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap
positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),
menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan
meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika
diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang
sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala
yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis
lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua
7/27/2019 Presus Saraf 2
20/31
penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda,
sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan
hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.
4. Foto rontgen dada
Foto rontgen dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita dimintamenatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya.
Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg sulfas atropin disuntikkan intramuskular atau
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
2.7. Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi
tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat
diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat
menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada
miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan
7/27/2019 Presus Saraf 2
21/31
oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin
bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini
merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi
untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan
efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana
sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping.
Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk
menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi.
Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-
seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap
hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera
memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah
ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak
harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran
cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB
selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
7/27/2019 Presus Saraf 2
22/31
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol
jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi
dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi
paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila
dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang
berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi
hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin
efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
2.8. Krisis Pada Miastenia Gravis
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis,
yaitu:
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan
ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh
infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
7/27/2019 Presus Saraf 2
23/31
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat
antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak
sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis
terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat
diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini
mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin
juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan
obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan
sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap
kasus demikianadalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg
intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat,
karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan
lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat
diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini
akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan
perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
2.9 Kesimpulan
1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan
otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot
pernapasan.
7/27/2019 Presus Saraf 2
24/31
2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskular akibat penyakit otoimun.
3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang
sembuh kembali setelah istirahat.
4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis,
serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet,
tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.
5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang
kerjanya menghancurkan asetilkolin.
Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson adalah suatu kondisi degeneratuf yang terutama mengenai jaras
ekstrapiramidal yang mengandung neurotransmitor dopamine, dan karakteristiknya adalah trias
yang terdiri dari :
Akinesia (hambatan gerakan) Rigiditas Tremor
Etiologi dan patogenesis
Diketahui bahwa hasil metabolism heroin sintesis yaitu MPTP dapat menyebabkan
Parkinsonisme akut, merupakan hal penting dalam etiologi penyakit Parkinson. Fakta bahwa
toksin eksogen yang tidak umum dapat menyebabkan kerusakan SSP tertentu dan
Parkinsonisme, menunjukkan bahwa penyakit Parkinson idiopatik mungkin disebabkan oleh
pajanan faktor lingkungan yang lebih sering, namun belum teridentifikasi, mungkin melalui
mekanisme yang serupa dengan MPTP. Hal-hal lain yang mendukung adanya dasar lingkungan
dalam etiologi adalah :
7/27/2019 Presus Saraf 2
25/31
Penyakit ini lebih sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia (rata-rata onsetusia sekitar 60 tahun)
Relatif tidak ada faktor genetic yang diketahui. Riwayat keluarga biasanya tidakada pada penyakit parinson idiopatik. Akan tetapi, telah dilaporkan adanya
anggota keluarga yang terkena, dan kadang ditemukan mutasi gen spesifik, baik
dominan maupun resesif.
Terdapat hubungan antara penyakit Parkinson dan berbagai faktor lingkungan,seperti pajanan terhadap getah karet dan pestisida.
Epidemiologi
Penyakit Parkinson cukup sering ditemukan, mungkin mengenai 12 % populasi berusia
lebih dari 60 tahu, tanpa adanya bias jenis kelamin yang signifikan. Distribusi ditemukan di
seluruh dunia, walaupun tampaknya lebih sering terjadi di Eropa dan Amerika Utara.
Patologi
Penyakit Parkinson terutama mengenai neuron dopaminergik yang berproyeksi dari
substansia nigra otak tengah sampai striatum ganglia basalis (nucleus kaudatus dan putamen).
Secara makroskopis, didapatkan atrofi substansia nigra pada penyakit Parkinson tahap lanjut,
yang dikenali dari hilangnya pigmentasi melanin pada region ini. Secara mikroskopis didapatkan
kerusakan berat neuron pada substansia nigra, dan neuron yang tersisa seringkali mengandung
badan inklusi intrasel, yaitu badan Lewy. Gejala Parkinson terlihat jika kerusakan neuron
dopaminergik nigrostriatum telah mencapai 60-80 %.
Secara patofisiologis, kerusakan jaras dopaminergik menyebabkan ketidakseimbangan sistem
ekstrapiramidal dengan mekanisme kolinergik dan neurotransmitter lain.
7/27/2019 Presus Saraf 2
26/31
Gambaran Klinis
Akinesia
Gerakan fisik yang bertambah lambat (bradikinesia)
Pola berjalanPostur pasien akan menjadi fleksi, atau membungkuk. Pasien mungkin tidak
mampu mempertahankan posisi berdiri normal sebagai respons tekanan dari
belakang, dan pasien jatuh ke depan (propulsi), atau bila ada gaya dorong dari
depan, maka akan jatuh ke belakang (retropulsi).
RigiditasPeningatan tonus otot pada Parkinson berbeda dengan spastisitas, di mana tonus
pada penyakit Parkinson relative konstan selama pemeriksaan gerak sendi
disebut juga rigiditas pipa (lead pipe rigidity).
Rigiditas roda gerigi (cogwheel rigidity) dapat dianggap sebagai akibat tremor
pada penyakit Parkinson yang terjadi pada lead pipe rigidity.
TremorPada Parkinson, tremor terutama terjadi pada tangan, tetapi dapat juga pada
anggota gerak atas dan bawah, dan jarang terjadi pada kepala atau leher.
Tanda dan gejala lainnya
Nervus KranialisPemeriksaan gerakan mata dapat menunjukkan kerusakan ringan pada pandangan
ke atas. Kelopak mata tampak bergetar (blefaroklonus).
7/27/2019 Presus Saraf 2
27/31
Anggota gerakKekuatan otot, reflex tendo, dan sensasi normal.
OtonomKulit menunjukkan tekstur seboroik yang bermiyak. Sering terjadi konstipasi.
Gambaran otonom lainnya, misalnya hipotensi postural, masih lebih ringan
dibandingkan sindrom ShyDrager
Insomnia, depresi, dan demensia sering ditemukan pada penyakit Parkinson tahaplanjut.
Terapi
Terapi medikamentosa
Terapi ini terutama bersifat simptomatik dan ditujukan untuk mengembalikan
keseimbangan neurokima.
L- DOPAObat ini merupakan terapi medikamentosa utama untuk penyakit Parkinson yang
cukup berat yang menyebabkan disabilitas fungsional signifikan. L- DOPA
merupakan substrat alami untuk sintesis dopamine.
Cocareldopa (L- DOPA plus carbidopa) dan cobeneldopadapat memberikan efek samping sentral (hipotensi postural, kebingungan, halusinasi,
delusi.
SelegilinSelegilin dapat berfungsi sebagai terapi tunggal pada penyakit Parkinson tahap awal.
Selegiline dapat memperlambat progresi penyakit dengan inhibisi MAOB sehingga
7/27/2019 Presus Saraf 2
28/31
potensial untuk menghambat konversi protoksin dari lingkungan yang analog dengan
bentuk aktif MPTP, suatu radikal bebas.
Agonis reseptor dopamine juga penting dalam terapi penyakit Parkinson tahap awal,dan potensial untuk menunda kebutuhan L-DOPA, sehingga menghambat dan
mungkin mengurangi frekuensi komplikasi motorik jangka panjang.
7/27/2019 Presus Saraf 2
29/31
BAB III
PEMBAHASAN
Miastenia Gravis (MG) merupakan suatu gangguan pada bagian pertautan saraf otot
(Neuro Muscular Junction), yang ditandai dengan adanya kelemahan subakut dan fluktuatif
tanpa disertai gangguan sensorik. Gejala Miastenia Gravis dapat berupa disatria, disfagia, ptosis,
disfungsi okular dan kelemahan otot-otot leher dan otot-otot proksimal. Miastenia Gravis
merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya
terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya proses pemulihan, dimana dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal. Diagnosis Miastenia Gravis dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, tes tensilon atau prostigmin dan
pemeriksaan elektromiografi.
Pada kasus diatas, berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, penderita mengalami
gejala klinis yang berupa kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah pada kedua sisi. Pada
perjalanan penyakitnya, pasien sudah merasakan keluhan ini sejak kurang lebih 5 tahun sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan lain yang ada pada pasien yaitu kedua kelopak mata perlahan
menutup dan semakin sulit untuk diangkat, disertai adanya kesulitan dalam menelan serta
berkomunikasi.
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat melakukan aktivitas. Karakteristik Miastenia gravis terutama ditunjukkan
dengan adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini cenderung
meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat
lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction5.
Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapatkan pasien berada dalam keadaan
penurunan kesadaran. Tanda vital pasien didapatkan masih dalam batas normal. Kedua kelopak
mata pasien dalam keadaan ptosis atau sulit diangkat. Pada ekstremitas didapatkan tonus
keempat ekstremitas pasien spastik atau kaku.
7/27/2019 Presus Saraf 2
30/31
Gangguan autoimun pada miastenia gravis menyebabkan rusaknya reseptor asetilkolin
pada neuromuscularjunction. Hal ini menyebabkan menurunnya kadar reseptor asetilkolin pada
membran postsinaps. Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot ini mengakibatkan
penurunan depolarisasi pada neuromuscular junction. Akibat penurunan depolarisasi ini, maka
terjadi kelemahan pada otot-otot tubuh. Manifestasi klinis yang timbul tergantung pada
neuromuscular junctionotot yang terkena. Umumnya pada miastenia gravis, kelemahan otot ini
dimulai dari cranio-caudal. Saat mengenai otot okular, gangguan ini dapat menyebabkan
terjadinya ptosis dan diplopia, pada otot wajah laring dan faring akan mengakibatkan disfagia
dan disartria, pada otot volunter akan mengakibatkan parese ekstremitas, sedangkan pada otot
pernafasan akan terjadi ketidakmampuan pasien untuk melaukan refleks batuk serta kesulitan
untuk bernafas.
Antibodi anti-reseptor asetilkolin bersifat spesifik untuk Miastenia Gravis dengan
demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90%
penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi
ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
Tatalaksana Miastenia Gravis bergantung pada beratnya gejala. Secara garis besar
pengobatan Miastenia Gravis terdiri dari pengobatan simptomatik dan immunosupresif.
Pengobatan simptomatik dengan memberikan antikolinesterase seperti neostigmin dan
pyridostigmin. Obat ini mencegah destruksi Ach dan meningkatkan akumulasi Ach pada NMJ,
serta memperbaiki kemampuan kontraksi otot. Pengobatan immunosupresif, seperti
kortikosteroid, Azathioprine, plasmapharesis, Intravenous Immunoglobulin (IVIG).
Kortikosteroid menekan antibodi yang memblokir AchR pada NMJ dan dapat digunakan
bersamaan dengan antikolinesterase. Kortikosteroid memperbaiki keadaan dalam beberapa
minggu dan jika pemulihan sudah stabil, dosis sebaiknya dikurangi secara perlahan ( tappering
off). Azathioprined dapat digunakan untuk menagani MG umum jika pengobatan lain gagal
mengurangi gejala.
Pada kasus Tn. M. Y ini, penderita diberikan Pyridostigmin (mestinon 60 mg) 2 x 1 tab.
Karena pasien memiliki riwayat parkinson, maka pasien juga diberikan obat-obatan parkinson,
seperti Sifrol 1 x 0,75, Madopar 2 x 100 mg, Arthane 2 x 2 mg.
7/27/2019 Presus Saraf 2
31/31
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, 1996,Buku Ajar Neurologi klinis 2nd
ed., Gajah Mada University Press, Yogyakarta
2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at ChapolHill.http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam
S.A. Price, L.M. Wilson, (eds),Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th
ed.,
EGC, Jakarta
4. Mardjono, M., 2003,Neurologi Klinis Dasar 9th
ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta
6. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K.
Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds),Biokimiawi Harper 24th
ed., EGC,
Jakarta
7. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003.
http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
8. Sidharta, P., 1999,Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421, Dian
Rakyat, Jakarta
9. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390,
421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
10. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds),Manual
Of Neurologic Therapeutics 5th
ed., Little brown And Company, London
11. Ginsberg Lionel, 2005,Lecture Notes Neurology 8thEdition, Blackwell Publishing Ltd,
London
http://www.myasthenia.org/information/summary.htmhttp://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htmhttp://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htmhttp://www.myasthenia.org/information/summary.htmTop Related