OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg
(Hepatitis B core Antigen) OLEH Escherichia coli SEBAGAI
BAHAN VAKSIN HEPATITIS B TERAPEUTIK
SKRIPSI
SUMI SUMIATI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg
(Hepatitis B core Antigen) OLEH Escherichia coli SEBAGAI
BAHAN VAKSIN HEPATITIS B TERAPEUTIK
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
SUMI SUMIATI
1113096000006
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL
KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, 20 September 2017
Sumi Sumiati
1113096000006
ABSTRAK
SUMI SUMIATI. Optimasi Produksi Protein Rekombinan HBcAg (Hepatitis B
core Antigen) oleh Escherichia coli sebagai Bahan Vaksin Hepatitis B Terapeutik.
Dibimbing oleh SANDRA HERMANTO dan DICKY MAHARDHIKA
TARYONO.
Infeksi virus Hepatitis B merupakan ancaman kesehatan yang dapat menyebabkan
hepatitis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler. Protein Hepatitis B core Antigen
(HBcAg) mampu mengeliminasi virus Hepatitis B sehingga dapat dikembangkan
sebagai vaksin terapeutik. Penelitian ini bertujuan memperoleh media optimum
yang dapat menghasilkan pertumbuhan Escherichia coli yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan produksi protein rekombinan HBcAg. Media pertumbuhan E.coli
yang digunakan yaitu media Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), dan Defined
Non-Inducing Broth (DNB). Analisis pertumbuhan E.coli dilakukan dengan
pengukuran Optical Density (OD) pada panjang gelombang 600 nm, pengukuran
pH, kadar glukosa, dan pengamatan morfologi sel. Kultur sel diinduksi dengan
Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside untuk ekspresi protein. Sel hasil panen
dilisis secara enzimatik dan dilakukan pemurnian dengan fraksinasi amonium sulfat
pada variasi konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, dan 80%. Protein rekombinan
dianalisis dengan metode Bicinchoninic Acid dan Sodium Dodecyl Sulfate-
Polyacrylamide Gel Electrophoresis untuk karakterisasi protein. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertumbuhan E.coli tertinggi dihasilkan pada media TB
dengan nilai OD 20,857 dan laju pertumbuhan spesifik 0,788/jam. Konsentrasi
protein total sebelum induksi sebesar 3,936 µg/µL dan setelah induksi 5,279 µg/µL.
Pada analisis SDS-PAGE, terdapat pita protein tebal HBcAg di bawah 15 kDa.
Hasil fraksinasi amonium sulfat 20% menunjukkan pita protein HBcAg yang relatif
lebih murni dibandingkan hasil fraksinasi lainnya.
Kata kunci : Escherichia coli, Hepatitis B, Hepatitis B core Antigen, protein
rekombinan, vaksin terapeutik.
ABSTRACT
SUMI SUMIATI. Optimization of Recombinant HBcAg (Hepatitis B core
Antigen) Protein Production by Escherichia coli as Hepatitis B Therapeutic Vaccine
Component. Advisor by SANDRA HERMANTO and DICKY MAHARDHIKA
TARYONO.
Hepatitis B virus infection becomes a health threat that cause hepatitis, cirrhosis,
and hepatocellular carcinoma. Hepatitis B core Antigen (HBcAg) protein is able to
eliminate Hepatitis B virus, thus it is potential to be developed as therapeutic
vaccine. The aim of this research is to obtain optimum media that produce the
highest growth of Escherichia coli which correlate with the increasing production
of recombinant HBcAg protein. The growth media that used to culture E.coli were
Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), and Defined Non-Inducing Broth (DNB)
media. The growth of E.coli was analyzed based on several measurements: cell
density at 600 nm wavelength, pH, glucose level, and cell morphology observation.
Cell culture was induced by Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside for protein
expression. The harvested cells were enzymatically lysed and purified by
fractionation of ammonium sulfate in various concentration (0%, 20%, 40%, 60%,
and 80%). The recombinant protein was analyzed by Bicinchoninic Acid and
Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis for protein
characterization. The results showed that highest growth of E.coli was produced
on TB media with cell density 20,857 and spesific growth rate at 0,788/hour. The
total protein concentrations were after induced 3,936 µg/µL and before induced
5,279 µg/µL. Based on SDS-PAGE analysis, the thick protein band of HBcAg was
found below 15 kDa. Fractination of 20% ammonium sulfate were shown on
HBcAg protein which relatively purer than other fractination.
Keywords : Escherichia coli, Hepatitis B, Hepatitis B core Antigen, recombinant
proteins, therapeutic vaccine.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Optimasi Produksi Protein Rekombinan HBcAg (Hepatitis
B core Antigen) oleh Escherichia coli sebagai Bahan Vaksin Hepatitis B
Terapeutik”. Skripsi ini disusun penulis untuk memenuhi syarat dalam memperoleh
gelar Sarjana Sains.
Dalam penulisan skripsi ini mungkin tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penulisan ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Untuk itu, pada kesempatan kali ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku Pembimbing I yang selalu memberikan
pengarahan, ilmu, masukan, dan bimbingannya yang begitu berharga selama
penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Dicky Mahardhika Taryono, M.Biomed selaku Pembimbing II yang telah
berkenan menerima penulis dengan sangat baik, memberikan pengarahan dan
bimbingannya serta memiliki andil besar dalam penelitian.
3. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku
Penguji I dan Penguji II yang telah memberikan saran dan masukan yang
sangat bermanfaat dalam penelitian dan penulisan skripsi.
4. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
5. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Anna Muawanah, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
membimbing, memberikan arahan, memotivasi, dan membantu penulis
dalam banyak hal.
7. Dr. Neny Nurainy, Apt selaku Project Integration Manager Research and
Development PT. Bio Farma yang telah bersedia menerima penulis untuk
melaksanakan penelitian dan menggunakan semua fasilititas selama
penelitian di Divisi Penelitian dan Pengembangan PT. Bio Farma (Persero).
8. Dr. Anna Sanawati, M.Si yang telah berkenan menerima penulis dengan
sangat baik, membimbing, memotivasi, dan membantu penulis dalam banyak
hal selama di PT. Bio Farma.
9. Ekaputra Ramadhani, S.Si yang selalu membimbing penulis selama
penelitian dan memberikan ilmu, masukan, serta pengalaman yang begitu
berharga.
10. Papa, mama, kakek, dan nenek tercinta yang tak henti-hentinya selalu
memberikan dukungan, motivasi, doa, serta kasih sayang yang tak ternilai
harganya.
11. Seluruh Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingan
kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
12. Teman-teman Mahasiswa Program Studi Kimia angkatan 2013 Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
memberikan dukungan dan motivasinya kepada penulis.
x
13. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga Allah swt. senantiasa membalas kebaikan semua pihak
yang telah membantu penulis hingga saat ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.
Jakarta, September 2017
Sumi Sumiati
xi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3. Hipotesis .................................................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6
2.1. Hepatitis B ................................................................................................ 6
2.1.1. Penyakit Hepatitis B ........................................................................ 6
2.1.2. Virus Hepatitis B ............................................................................. 6
2.1.3. Hepatitis B core Antigen (HBcAg) ................................................... 8
2.1.4. Patogenesis Hepatitis B ................................................................... 9
2.1.5. Diagnostik Hepatitis B ..................................................................... 11
2.2. Vaksin Hepatitis B .................................................................................... 11
2.3. Protein Rekombinan ................................................................................. 13
2.4. Escherichia coli ........................................................................................ 14
2.4.1. Lac Operon ...................................................................................... 15
2.4.2. Media Kultivasi E. coli .................................................................... 18
2.5. Produksi dan Pemurnian Protein .............................................................. 20
xii
2.5.1. Kultivasi dengan Sistem Fermentor ................................................ 20
2.5.2. Fraksinasi Amonium Sulfat ............................................................. 23
2.6. Karakterisasi Protein ................................................................................. 24
2.6.1. Bicinchoninic Acid ........................................................................... 24
2.6.2. Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis ....... 26
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 28
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 28
3.2. Peralatan dan Bahan ................................................................................. 28
3.2.1. Peralatan .......................................................................................... 28
3.2.2. Bahan ............................................................................................... 29
3.3. Prosedur Kerja .......................................................................................... 29
3.3.1. Pre-culture E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg ............................ 29
3.3.2. Kultivasi E. coli untuk Optimasi Media .......................................... 29
3.3.3. Analisis Parameter ........................................................................... 30
3.3.4. Kultivasi E. coli untuk Ekspresi Protein HBcAg ............................ 31
3.3.5. Lisis sel ............................................................................................ 31
3.3.6. Fraksinasi dengan Amonium Sulfat ................................................ 31
3.3.7. Karakterisasi Protein ....................................................................... 32
3.3.8. Analisis Data ................................................................................... 35
3.4. Diagram Alir Penelitian ................................................................................... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 37
4.1. Pertumbuhan Escherichia coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg .................. 37
4.1.1. Pengukuran Optical Density (OD) .................................................... 37
4.1.2. Pengukuran pH .................................................................................. 42
4.1.3. Pengukuran Kadar Glukosa .............................................................. 43
4.1.4. Pengamatan Morfologi Sel ................................................................ 45
4.2. Ekspresi Protein HBcAg ........................................................................... 46
xiii
4.3. Karakterisasi Protein ................................................................................. 49
4.3.1. Pengukuran Konsentrasi Protein dengan BCA .................................. 49
4.3.2. Karakterisasi Protein dengan SDS-PAGE ......................................... 50
4.3.3. Pemurnian Protein dengan Fraksinasi Amonium Sulfat .................... 51
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 57
5.1. Simpulan ................................................................................................... 57
5.2. Saran ......................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 58
LAMPIRAN ...................................................................................................... 65
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Virus Hepatitis B ........................................................................... 7
Gambar 2. Morfologi virus Hepatitis B di bawah mikroskop elektron ........... 8
Gambar 3. Respon imun terhadap virus Hepatitis B ....................................... 10
Gambar 4. Gambaran mikroskopis E. coli ..................................................... 14
Gambar 5. Struktur kimia IPTG ...................................................................... 17
Gambar 6. Mekanisme ekspresi protein .......................................................... 18
Gambar 7. Sistem Fermentor DASGIP® Parallel ............................................ 20
Gambar 8. Kurva pertumbuhan mikroba ........................................................ 22
Gambar 9. Reaksi dalam BCA ........................................................................ 25
Gambar 10. Denaturasi protein ....................................................................... 26
Gambar 11. Skema kerja penelitian ................................................................ 36
Gambar 12. Kurva pertumbuhan E. coli BL21(DE3) .................................... 38
Gambar 13. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) ......................... 38
Gambar 14. pH kultur pada media LB, TB, dan DNB .................................... 42
Gambar 15. Kadar glukosa pada media LB, TB, dan DNB ............................ 44
Gambar 16. Kurva pertumbuhan sel hingga induksi IPTG ............................. 47
Gambar 17. Hasil SDS-PAGE protein HBcAg ................................................ 50
Gambar 18. Fraksinasi amonium sulfat .......................................................... 53
Gambar 19. SDS-PAGE hasil fraksinasi amonium sulfat ............................... 54
Gambar 20. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) ......................... 68
Gambar 21. Morfologi sel E. coli BL21(DE3) ................................................ 70
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Penanda Hepatitis B .......................................................................... 11
Tabel 2. Bagian-bagian sistem fermentor ....................................................... 21
Tabel 3. Larutan standar BSA ......................................................................... 32
Tabel 4. Reagen BCA ..................................................................................... 33
Tabel 5. Konsentrasi protein total ................................................................... 49
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi media kultivasi E. coli BL21(DE3) ......................... 65
Lampiran 2. Komposisi buffer lisis ................................................................. 66
Lampiran 3. Komposisi gel SDS-PAGE ......................................................... 66
Lampiran 4. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada optimasi media ..... 67
Lampiran 5. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada ekspresi HBcAg ... 70
Lampiran 6. Konsentrasi protein total hasil BCA ........................................... 71
Lampiran 7. Kurva standar pengukuran konsentrasi protein total .................. 72
Lampiran 8. Jumlah protein total hasil SDS-PAGE ........................................ 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hepatitis B merupakan penyakit yang tersebar luas, diperkirakan bahwa
sekitar 2 miliar orang dari populasi dunia memiliki bukti serologis infeksi virus
Hepatitis B (Franco et al., 2012). Hepatitis B merupakan masalah kesehatan yang
serius. Di Indonesia dengan endemisitas Hepatitis B yang tinggi, diperkirakan
terdapat 28 juta orang terinfeksi virus Hepatitis B (Kementerian Kesehatan, 2014).
Virus Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi akut hingga kronis dan dianggap
sebagai salah satu patogen utama yang menyebabkan hepatitis, sirosis, dan
karsinoma hepatoseluler (Dandri et al., 2013). Cara terbaik untuk pencegahan
Hepatitis B dapat dilakukan dengan mendapatkan vaksinasi (Centers for Disease
Control and Prevention, 2015).
Vaksin Hepatitis B merupakan vaksin rekombinan yang dibuat melalui
teknik rekayasa genetika untuk memperoleh fragmen antigenik dari
mikroorganisme. Teknik ini memungkinkan dilakukannya berbagai rekayasa epitop
untuk meningkatkan kualitas vaksin yang dihasilkan. Manipulasi tingkat gen
dilakukan untuk mengekspresikan protein tertentu (Radji, 2009). Vaksin Hepatitis
B terapeutik dikembangkan untuk pengobatan Hepatitis B kronis. Vaksin terapeutik
bekerja dengan cara yang berbeda dari obat kemoterapi, yaitu dengan menginduksi
dan memperkuat respons imun (Djauzi dan Rambe, 2013). Hepatitis B core Antigen
(HBcAg) merupakan protein struktural virus yang berpotensi sebagai vaksin
terapeutik dengan memunculkan respon imun humoral dan seluler sehingga
2
menunjukkan imunogenisitas yang kuat dan mampu membersihkan infeksi virus
Hepatitis B serta memediasi imun pada kerusakan hati (Chen et al., 2017).
Karakterisasi protein rekombinan HBcAg native menunjukkan pita protein dengan
bobot molekul 20-22 kDa (Letourneur dan Watelet, 2012) dan HBcAg hasil
modifikasi pada bobot molekul sekitar 14 kDa (Hashemikhah dan Heydari, 2016).
Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama yang
digunakan sebagai inang dalam produksi protein rekombinan, baik di bidang riset
maupun industri (Riyadhi et al., 2010). Keuntungan utama penggunaan E. coli
adalah laju pertumbuhan yang cepat dan tingkat ekspresinya tinggi (Joseph et al.,
2015). Pemanfaatan bakteri dalam produksi protein rekombinan ini sebagaimana
dengan firman Allah swt. dalam Q.S. Al Baqarah ayat 164 :
وما الن اس نفعي بما البحر في تجري ال تي والفلك والن هار الل يل واختلاف والأرض الس ماوات خلق في إن
اء من الس ماء من الل أنزل ياح وتصريف دآب ة كل من فيها وبث موتها بعد الأرض به فأحيا م والس حاب الر
ر يعقلون لقوم لآيات والأرض الس ماء بين المسخ
Artinya : Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan
siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia,
apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya
bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam
hewan, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi,
(semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan (Q.S. Al Baqarah/2:164).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt. telah menciptakan segala
sesuatu yang dikehendaki-Nya, makhluk hidup beraneka ragam, termasuk
diantaranya bakteri E. coli yang dimanfaatkan untuk produksi protein rekombinan
3
HBcAg melalui teknologi DNA rekombinan. Hal ini menunjukkan kekuasaan Allah
yang begitu besar. Semua yang telah diciptakan-Nya tiada yang sia-sia, karena
semua ada manfaatnya bergantung pada bagaimana manusia menerapkan ilmu
pengetahuan untuk memanfaatkan apa yang telah Allah berikan.
Pada penelitian sebelumnya dilakukan pengembangan vaksin Hepatitis B
berbasis protein rekombinan subunit indonesia (Nurainy et al., 2012). Rini et al.,
(2016) telah melakukan konstruksi dan optimasi overekspresi protein HBcAg
dengan vektor pET16b pada E. coli BL21(DE3). Analisis SDS-PAGE dari koloni
tunggal E. coli BL21(DE3) yang mengandung gen HBcAg menunjukkan pita
protein pada bobot molekul 21 kDa. Sa’adah (2016) juga telah melakukan
konstruksi vektor ekspresi pET28a dan optimasi overekspresi gen pengkode
HBcAg pada E. coli BL21(DE3) dalam skala laboratorium. E. coli
BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dapat memproduksi protein HBcAg yang selanjutnya
digunakan sebagai komponen vaksin terapi.
Pada penelitian ini dilakukan optimasi media kultivasi E. coli BL21(DE3)
yang mengandung gen HBcAg dengan vektor ekspresi pET28a untuk produksi
protein rekombinan HBcAg dan dilakukan pemurnian protein dengan fraksinasi
amonium sulfat. Media pertumbuhan E. coli yang digunakan yaitu media kompleks
diantaranya media Luria Bertani (LB) dan Terrific Broth (TB), serta defined media
yaitu media Defined Non-Inducing Broth (DNB). Pada produksi protein
rekombinan skala besar, defined media memungkinkan implementasi kultur fed-
batch berbasis high cell density. Proteome sel yang tumbuh secara eksponensial
dalam defined media didominasi oleh enzim jalur sintesis asam amino yang
mengandung kelimpahan enzim jalur metabolik utama yang lebih seimbang.
4
Hampir 20% massa protein relatif dari pertumbuhan sel diidentifikasi dalam defined
media, sedangkan dalam media kompleks akumulasi proteome sel yang tumbuh
secara eksponensial hanya 6% (Li et al., 2014). Penelitian ini bertujuan
memperoleh media optimum yang dapat diaplikasikan dalam skala industri dan
menghasilkan E. coli dengan pertumbuhan yang tinggi berdasarkan nilai optical
density dari hasil pengukuran, sehingga biomassa yang dihasilkan tinggi dan
diharapkan produksi protein rekombinan HBcAg juga menghasilkan yield tinggi.
1.2. Rumusan Masalah
1. Media manakah dari Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), dan Defined
Non-inducing Broth (DNB) yang dapat menghasilkan pertumbuhan E. coli
yang paling optimum untuk produksi protein rekombinan HBcAg?
2. Bagaimana karakteristik protein rekombinan HBcAg yang dihasilkan?
3. Bagaimana hasil pemurnian protein HBcAg dengan fraksinasi amonium
sulfat?
1.3. Hipotesis
1. Media Defined Non-Inducing Broth merupakan media yang dapat
menghasilkan pertumbuhan E. coli yang tinggi untuk produksi protein
rekombinan HBcAg.
2. Karakteristik protein rekombinan HBcAg yang dihasilkan memiliki bobot
molekul sekitar 14 kDa.
3. Konsentrasi amonium sulfat berpengaruh terhadap tingkat kemurnian
protein HBcAg yang dihasilkan.
5
1.4. Tujuan Penelitian
1. Menentukan media kultivasi terbaik dalam menghasilkan pertumbuhan E.
coli yang tinggi untuk produksi protein rekombinan HBcAg.
2. Mengetahui karakteristik protein rekombinan HBcAg yang dihasilkan
berdasarkan bobot molekul.
3. Memperoleh dan memurnikan protein HBcAg dengan fraksinasi amonium
sulfat.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi media
pertumbuhan E. coli yang tepat untuk produksi protein rekombinan HBcAg dalam
skala industri sebagai bahan vaksin Hepatitis B terapeutik.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hepatitis B
2.1.1. Penyakit Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
yang menyerang dan merusak hati serta menjadi penyebab utama karsinoma
hepatoseluler. Infeksi virus Hepatitis B dapat mengakibatkan infeksi akut atau
bahkan infeksi kronis. Ketika seseorang pertama terinfeksi virus Hepatitis B,
hal itu disebut "infeksi akut". Orang yang terinfeksi dan tidak memiliki gejala
apapun serta tidak dapat menyingkirkan virus setelah 6 bulan didiagnosis
memiliki "infeksi kronis". Pada orang yang terinfeksi kronis dapat
menyebabkan peningkatan risiko penyakit hati yang serius (Blumberg, 2017).
Hepatitis B ditularkan melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi,
selanjutnya ditransmisikan pada orang lain melalui kontak langsung dengan
darah, jarum yang tidak steril, dan dari ibu yang terinfeksi pada bayinya selama
kehamilan atau persalinan (Blumberg, 2017). Hepatitis B bukan merupakan
penyakit genetik melainkan penyakit menular yang dapat ditularkan melalui
darah dan prevalensinya sangat tinggi (World Health Organization, 2015).
2.1.2. Virus Hepatitis B
Virus Hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam famili
Hepadnaviridae. Diameternya yaitu sekitar 42 nm dengan nukleokapsid
ikosahedral (Liang, 2009). Virus Hepatitis B terdiri atas selubung luar dan
7
nukleokapsid. Selubung terluar tersusun oleh protein HBsAg (Hepatitis B
surface antigen), sedangkan nukleokapsid tersusun oleh protein HBcAg
(Hepatitis B core Antigen) yang di dalamnya terdapat DNA polimerase
(Gambar 1) yang berfungsi untuk replikasi virus (Cahyono, 2010).
Gambar 1. Virus Hepatitis B (hepatitisaustralia.com)
Genom virus Hepatitis B mengandung 3,2 kb yang berupa sepasang
rantai DNA sirkular dengan panjang rantai yang tidak sama. Genom tersebut
mempunyai 4 Open Reading Frame (Liang, 2009) yaitu gen S dan pre-S yang
mengkodekan surface antigen (HBsAg) yaitu large HBs (L-HBs), medium
HBs (M-HBs), dan small HBs (S-HBs), gen pre-C yang mengkodekan e
antigen (HBeAg), gen C yang mengkodekan core antigen (HBcAg), gen P
yang mengkodekan DNA polimerase, dan gen X yang mengkodekan HBxAg
yang berfungsi memacu ekspresi seluruh genom virus dengan berinteraksi di
daerah gen tertentu pada inang sehingga mempunyai sifat transaktivator yang
dapat meningkatkan replikasi virus Hepatitis B (Estianti, 2007).
Bentuk morfologi dari virus Hepatitis B dilihat di bawah mikroskop
elektron terdiri atas 3 komponen (Gambar 2) yaitu partikel lengkap (dane
8
particles) berdiameter 42 nm, partikel batang (filaments) dengan lebar 22 nm
dan panjang bervariasi sampai 200 nm, dan partikel bulat (spheres)
berdiameter 22 nm (Arief, 2009).
Gambar 2. Morfologi virus Hepatitis B di bawah mikroskop elektron (Gerlich, 2013)
2.1.3. Hepatitis B core Antigen (HBcAg)
Hepatitis B core Antigen (HBcAg) merupakan protein dengan 183 asam
amino yang dapat dibagi menjadi domain perakitan (1-149) dan domain mirip
protamin (150-183). Domain ini bertanggung jawab untuk polimerisasi RNA
(Bruce, 2010; Hashemikhah dan Heydari, 2016). HBcAg utuh memiliki bobot
molekul sekitar 21 kDa dengan 183 residu asam amino yang kaya akan arginin
di daerah C terminal. Hasil ekspresi HBcAg hasil modifikasi dalam E. coli jauh
lebih tinggi daripada HBcAg utuh yang diekspresikan dengan konstruksi
plasmid yang sama (Tan et al., 2003; Ho et al., 2009).
HBcAg merupakan antigen yang berasal dari nukleokapsid yang
mengelilingi inti virus (Cahyono, 2010). HBcAg terletak di dalam inti dan
sitoplasma sel. Ekspresi sitoplasma yang didominasi HBcAg sering disertai
dengan kerusakan hati yang signifikan, sehingga sering dianggap sebagai
antigen virus yang berpotensi untuk memediasi sistem kekebalan pada
kerusakan hati dalam Hepatitis B kronis (Chen et al., 2017). HBcAg merupakan
9
antigen yang dapat menginduksi imunitas sel, kemudian membersihkan infeksi
virus Hepatitis B (Tan et al., 2017). Induksi HBcAg dengan leukosit
intrahepatik menghasilkan TNF-α (Tumor Necrosis Factor alpha) yang
membantu membersihkan virus (Tzeng et al., 2014). Protein HBcAg memiliki
tingkat imunitas yang tinggi dan potensial menghasilkan sel B, sel T sitotoksik,
dan sel T helper (Watts et al., 2010; Hashemikhah dan Heydari, 2016). Protein
HBcAg yang dikode oleh gen HBcAg ini mampu menginduksi pembentukan
sel T sitotoksik yang secara efektif akan mengaktifkan limfosit T sitotoksik
(Akbar et al., 2013) yang berperan dalam eliminasi virus (Sa’adah, 2016).
2.1.4. Patogenesis Hepatitis B
Patogenesis Hepatitis B terjadi karena interaksi antara virus dan sistem
imun sel inang. Sel hati manusia merupakan organ target bagi virus Hepatitis
B. Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel
hati kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma. Virus melepaskan
nukleokapsid di sitoplasma, selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding
sel hati. Asam nukleat virus akan keluar dari nukleokapsid dan menempel pada
DNA inang lalu berintegrasi. Proses selanjutnya adalah DNA virus
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru sehingga
memunculkan respon imunologis (Mustofa dan Kurniawaty, 2013).
Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg terjadi di hepatosit. Sel T CD8+ akan
mengenali fragmen peptida tersebut setelah mengalami proses pencacahan
intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel oleh molekul MHC (Major
Histocompability Compex) kelas I yang menyebabkan pengaktifan limfosit T
10
sitotoksik CD8+. Respon imun dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop
protein virus Hepatitis B. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara
langsung oleh limfosit T sitotoksik CD8+ (Gambar 3) (Hardjoeno, 2007).
Gambar 3. Respon imun terhadap virus Hepatitis B (Ganem dan Prince, 2004)
Infeksi virus Hepatitis B berlangsung dalam dua fase. Selama fase
proliferatif, DNA virus terdapat dalam bentuk episomal dengan pembentukan
virion lengkap dan semua antigen terkait. Pada saat awal infeksi Hepatitis B
terjadi toleransi imunologi. Virus masuk ke dalam hepatosit melalui aliran darah
dan melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati (Arief, 2009).
Pada tahap selanjutnya terjadi kerusakan hepatosit yang terinfeksi.
Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel
T sitotoksik CD8+. Selama fase integratif, DNA virus meyatu ke dalam genom
inang. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi,
infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda (Kumar et al., 2012). Reaksi
imun yang terganggu atau status imun yang relatif toleran dapat mengakibatkan
terjadinya Hepatitis kronis (Fan et al., 2012).
11
2.1.5. Diagnostik Hepatitis B
Infeksi virus Hepatitis merupakan infeksi sistemik dan hati merupakan
organ target utama. Virus secara diam-diam dan terus menerus dapat menyerang
hati selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Tes darah sederhana dapat
mendiagnosis infeksi Hepatitis B akut atau kronis (Blumberg, 2017).
Protein penyusun virus Hepatitis B menjadi penanda penting untuk
mengetahui masalah yang ditimbulkan di dalam tubuh oleh virus Hepatitis B
Cahyono, 2010). Tabel 1. menunjukkan penanda penting dalam Hepatitis B.
Tabel 1. Penanda Hepatitis B (Cahyono, 2010).
Penanda Interpretasi
HBsAg - HBsAg positif menandakan seseorang menderita Hepatitis B (bisa
akut/kronis)
- Bila HBsAg masih positif selama lebih dari 6 bulan berarti
menderita Hepatitis B kronis
Anti-HBs - Antibodi terhadap HBsAg
- Hasil positif dapat menunjukkan seseorang pernah kontak
(mempunyai perlindungan) atau pernah mendapatkan vaksinasi
HBeAg - Hasil positif menunjukkan virus aktif melakukan replikasi dalam
tubuh seseorang
- Resiko terjadi sirosis atau kanker hati lebih besar
Anti-HBe - Antibodi terhadap HBeAg
- Meningkatnya kadar anti HBe menunjukkan terjadinya perbaikan
keadaan tubuh dan proses perkembangan virus terhambat
Anti-HBc - Antibodi terhadap HBcAg
- Meningkatnya kadar anti HBc, terutama jenis IgM anti HBc
menunjukkan keadaan Hepatitis B akut
DNA HBV - Pemeriksaan untuk menentukan jumlah virus dalam darah
- Jumlah lebih dari 106 copies/mL menunjukkan virus aktif
melakukan replikasi dalam tubuh seseorang
2.2. Vaksin Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B yang digunakan saat ini mengandung protein HBsAg
yang dibuat melalui teknik DNA rekombinan yang mampu menginduksi respon
imun sehingga terbentuk anti-HBs sebagai komponen antibodi khusus yang
12
mampu menghambat penempelan dan masuknya virus Hepatitis B ke dalam sel
inang (Rosalina, 2012). Vaksin Hepatitis B sangat efektif dan aman untuk
pencegahan. Namun, hal ini tidak menunjukkan efek dalam pengaturan infeksi
kronis, sehingga diperlukan pengembangan vaksin Hepatitis B terapeutik
(Kutscher et al., 2012).
Vaksin Hepatitis B terapeutik dikembangkan untuk infeksi virus pada
Hepatitis B kronis dalam meningkatkan efektivitas dan mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh untuk melawan virus, mengontrol atau idealnya bahkan
menghilangkan virus. Infeksi kronis merupakan suatu keadaan dengan infeksi yang
terus menerus berlangsung sehingga menyebabkan kerusakan jangka panjang pada
organ hati yang terinfeksi sehingga ini merupakan target utama untuk vaksin
terapeutik (Kutscher et al., 2012).
Terapi Hepatitis B kronis bertujuan untuk penekanan replikasi virus dan
remisi penyakit hati. Tanpa respon imun yang efisien, pengobatan membutuhkan
waktu yang lama. Perhatian utama untuk pengobatan jangka panjang adalah efikasi
dan keamanan, serta biaya pengobatan yang tinggi (Hoofnagle et al., 2007).
Strategi yang berpotensi menjanjikan untuk menangani infeksi kronis Hepatitis B
adalah dengan vaksin terapeutik yang bertujuan menghilangkan virus yang
bertahan secara khusus dengan merangsang respon imun (Thomson dan Knolle,
2010). Induksi respon sel T multi-spesifik dan aktivasi dari respon imun humoral
untuk membersihkan virus merupakan paradigma dalam vaksinasi terapeutik
(Kutscher et al., 2012).
Pada infeksi Hepatitis B kronis, sistem kekebalan tubuh bawaan terlibat
dalam pengendalian dan penghapusan infeksi virus Hepatitis B. Respon imun
13
bawaan sangat penting untuk pertahanan awal dari infeksi virus serta mendukung
waktu yang tepat dan efisien untuk menginduksi respon imun adaptif (Rouse dan
Sehrawat, 2010). Respon spesifik virus Hepatitis B termasuk diantaranya yaitu sel
T sitotoksik CD4+ dan CD8+ bertanggung jawab untuk membersihkan hepatosit
yang terinfeksi virus Hepatitis B, sedangkan respon imun humoral menetralkan
virus sehingga mencegah penyebaran virus (Rehermann dan Nascimbeni, 2005).
2.3. Protein Rekombinan
Protein rekombinan diperoleh melalui teknologi DNA rekombinan
dengan pemindahan gen asing pengkode protein ke dalam suatu mikroorganisme
inang yang cocok. Kemajuan teknologi DNA rekombinan telah mendorong
berkembangnya berbagai metode produksi protein menggunakan inang yang aman,
relatif mudah dikultur, dan tingkat ekspresinya yang tinggi sehingga protein dapat
diproduksi pada skala industri. Teknologi DNA rekombinan telah menyediakan
berbagai strategi untuk meningkatkan produksi protein (Gaffar, 2010).
Sistem ekspresi protein yang digunakan umumnya terdiri atas vektor
ekspresi, DNA yang dikloning, dan inang sehingga protein dapat diekspresikan
oleh inang. Sistem ekspresi protein dirancang agar menghasilkan tingkat ekspresi
yang tinggi sehingga diistilahkan overekspresi. Inang yang umum digunakan
adalah bakteri seperti E. coli, yeast seperti Saccharomyches cerevisiae, dan sel
mamalia seperti sel CHO (Chinese Hamster Ovary), sedangkan vektor ekspresi
yang umum digunakan adalah virus, plasmid, kromosom artifisial, dan
bakteriofage. Sistem ekspresi bakteri memiliki keunggulan karena dapat
14
memproduksi protein dalam jumlah besar. Konstruksi sistem ekspresi protein
menggunakan strategi biologi molekuler penting dilakukan (Gaffar, 2010).
2.4. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang
pendek yang memiliki panjang sekitar 2-4 μm dan lebar 0,4-0,7 μm (Yuge et al.,
2014). Gambar 4. menunjukkan gambaran mikroskopis dari E. coli.
Gambar 4. Gambaran mikroskopis E. coli (National Institutes of Health, 2013)
Klasifikasi E. coli tercatat dalam National Center of Biotechnology Information
(NCBI) (2017) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacterales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
E. coli adalah bakteri anaerob fakultatif dengan suhu pertumbuhan
optimum 37°C dan kisaran pH optimum antara 6,5 dan 7,5. Bakteri ini umumnya
tumbuh dalam kondisi aerobik, hal ini karena pertumbuhan anaerob menghasilkan
lebih sedikit energi untuk proses metabolisme seperti pada sintesis protein.
Pertumbuhan yang tinggi, biomassa yang optimal dan produksi protein dicapai
15
pada pH mendekati netral. Penurunan tingkat produksi dapat diamati di luar kisaran
ini dengan penurunan mencapai sekitar 60% dari jumlah maksimum yang diamati
pada pH kultur awal 5,5 dan 8,0 (Collins et al., 2013).
E. coli merupakan bakteri yang sering dimanfaatkan untuk produksi
protein rekombinan (Li et al., 2014). Penggunaan E. coli sebagai inang dalam
sistem ekspresi dipilih karena laju pertumbuhannya yang cepat dan mempunyai
tingkat ekspresi yang tinggi sehingga mudah dilakukan peningkatan skala produksi
untuk industri. Protein yang diekspresikan dalam E. coli pada umumnya diperoleh
sebagai protein intraseluler yang sering menghasilkan badan inklusi yang tidak
larut (dalam kasus ekspresi tinggi) dan tidak mengalami pelipatan dengan benar,
sehingga harus dilarutkan dan dilakukan pelipatan ulang (Gaffar, 2010).
E. coli adalah bakteri yang tumbuh cepat dengan kerapatan sel yang tinggi
(Overton, 2014). Sistem ekspresi E. coli yang paling umum digunakan bergantung
pada T7 RNA polimerase yang dapat diinduksi karena sistem ini menghasilkan
protein rekombinan yang tinggi. E. coli strain BL21(DE3) merupakan salah satu
strain yang banyak digunakan sebagai sel inang untuk ekspresi protein. Kromosom
DE3 pada fase profase mengekspresikan T7 RNA polimerase di bawah kendali
promoter lac UV5 (Joseph et al., 2015). T7 RNA polimerase yang dihasilkan
setelah induksi secara khusus mentransformasikan urutan pengkodean protein yang
telah dimasukkan ke dalam plasmid (Briand et al., 2016).
2.3.1. Lac Operon
Sistem lac operon adalah sistem pengendalian ekspresi gen-gen yang
bertanggung jawab dalam metabolisme laktosa (Yuwono, 2005). Operon
16
laktosa terdiri atas 3 gen struktural utama (lacZ, lacY, dan lacA) yang berfungsi
menyandikan protein untuk melakukan fungsinya dalam sel. Gen lacZ
mengkode enzim β-galaktosidase yang menghasilkan dua monosakarida yaitu
glukosa dan galaktosa, gen lacY mengkode permease galaktosida yaitu enzim
yang berperan dalam pengangkutan laktosa dari luar ke dalam sel, dan gen lacA
mengkode enzim transasetilase thiogalaktosida yang perannya belum diketahui
secara jelas. Ketiga gen struktural tersebut dikendalikan ekspresinya oleh satu
promoter yang sama dan menghasilkan satu mRNA yang bersifat polisistronik
(Windelspecht, 2007).
Gen regulator lacI yang mengkode suatu protein repressor juga
merupakan bagian sistem pengendalian operon lac. Gen regulator lacI terletak
di luar operon dengan mengkode protein repressor alosterik yang dapat
mengubah operon lac menjadi keadaan off dengan cara mengikatkan diri pada
operator dan menginaktifkan repressor (Campbell dan Reece, 2010).
Promoter lac merupakan komponen utama dari operon lac. Induser
menyebabkan induksi sistem sehingga digunakan untuk produksi protein.
Namun, induksi sulit dilakukan dengan adanya glukosa. Ekspresi dari promoter
lac tidak sepenuhnya diinduksi sampai semua glukosa telah habis digunakan.
Untuk mencapai ekspresi dengan adanya glukosa, promoter lacUV5
mengurangi kepekaan terhadap regulasi katabolit. Pada saat glukosa rendah,
adenosin monofosfat siklik (cAMP) diproduksi dan diperlukan untuk aktivasi
operon lac (Rosano dan Ceccarelli, 2014).
Sistem promoter T7 terdapat dalam vektor pET untuk ekspresi protein
rekombinan. Dalam kasus yang berhasil, protein target dapat mewakili 50%
17
protein total sel (Graumann dan Premstaller, 2006). Gen yang diinginkan diklon
pada promoter yang dikenali oleh T7 RNA polimerase di bawah kendali
promoter lacUV5. Dengan demikian, sistem dapat diinduksi oleh laktosa atau
Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside (IPTG) (Rosano dan Ceccarelli, 2014).
IPTG merupakan senyawa yang memiliki struktur mirip laktosa dan berfungsi
sebagai induser dalam ekspresi gen di bawah kendali promoter lac. IPTG bukan
merupakan bagian dari jalur metabolisme dan tidak akan dipecah atau
digunakan oleh sel sehingga konsentrasi IPTG yang ditambahkan tetap konstan
dan membuatnya menjadi induser yang lebih baik dari laktosa (Siegel, 2016).
Struktur kimia IPTG dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kimia IPTG (Sambrook dan Russell, 2006)
Mekanisme ekspresi gen asing dalam E. coli dapat dilakukan melalui
induksi IPTG. Apabila tidak terdapat IPTG, maka protein repressor akan
berikatan dengan operator dan mencegah RNA polimerase untuk dapat
mentranskripsi gen asing sehingga tidak dapat ditranslasi menjadi suatu protein
rekombinan (Gambar 6a). Pada proses induksi IPTG terjadinya ikatan antara
IPTG dan protein repressor. Ikatan tersebut mengakibatkan repressor
terinaktivasi dan tidak dapat berikatan dengan operator sehingga RNA
polimerase sel inang dapat memulai proses transkripsi gen struktural yang
selanjutnya akan ditranslasi menjadi protein yang diinginkan (Gambar 6b)
(Siegel, 2016).
18
Gambar 6. Mekanisme ekspresi protein (Steinmetz et al., 2014)
2.3.2. Media Kultivasi Escherichia coli
Komposisi dari media kultivasi disesuaikan dengan pertumbuhan yang
optimal dan produksi produk yang diinginkan. Media kultivasi harus
menggabungkan semua makronutrien (sumber karbon dan nitrogen) dan
mikronutrien (mineral dan vitamin) yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
(Backlund, 2011). Pada produksi protein rekombinan dalam skala laboratorium,
sel-sel biasanya ditumbuhkan dalam media kompleks seperti Luria Bertani atau
Terrific broth. Namun, untuk produksi protein rekombinan skala besar, defined
(a)
(b)
19
media lebih disukai karena media ini memungkinkan implementasi kultur fed-
batch berbasis high cell density (Li et al., 2014)
1. Media kompleks (rich media), umumnya mengandung beberapa
komponen tertentu, namun secara kuantitatif mayoritas konstituen yang
ditambahkan bersifat kompleks, seperti yeast extract dan tryptone.
2. Defined media, terdiri atas nutrisi individual dan ditentukan secara kimia
seperti glukosa, (NH4)2HPO4, MgSO4, dan KH2PO4, Na2MoO4.2H2O.
E. coli adalah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam media
kompleks dan media kimiawi berbasis garam yang mengandung sumber karbon.
Selain sumber karbon, E. coli membutuhkan nutrisi untuk biosintesis zat seluler,
pertumbuhan, dan pembentukan produk sehingga kandungan media harus
mensuplai nutrisi yang dibutuhkan seperti hidrogen, karbon, nitrogen, oksigen,
natrium, magnesium, fosfor, kalium dan kalsium yang memiliki fungsi spesifik
selama bioaktivitas pertumbuhan sel (Danquah dan Forde, 2007).
Dalam hal ini, media standar seperti LB digunakan untuk menetapkan
parameter ekspresi umum, namun ekspresi optimum biasanya dicapai setelah
modifikasi kondisi pertumbuhan dengan penggunaan defined media seperti
media DNB. Media yang mengandung yeast extract dan tryptone yang
merupakan protein terhidrolisis pada media kompleks sering digunakan karena
relatif mudah disiapkan dan umumnya menyebabkan kerapatan sel yang tinggi
(Danquah dan Forde, 2007).
Selama pertumbuhan sel dalam media kompleks tidak perlu untuk
mensintesis sebagian besar molekul prekursor (misalnya asam amino) karena
semuanya terdapat dalam media sehingga sel-sel dapat menghabiskan lebih
20
banyak nutrisi untuk menghasilkan makromolekul yang diperlukan untuk
proliferasi dan dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sel-sel yang
tumbuh dalam defined media (Li et al., 2014).
Berdasarkan studi proteomik dijelaskan mengenai potensi metabolik E.
coli selama pertumbuhan dalam media kompleks dan defined media. Analisis
proteomik kuantitatif juga dilakukan pada sel dalam fase stasioner untuk
menganalisis kemampuan metabolisme serta potensi adaptasi terhadap
perubahan kondisi lingkungan. Perubahan proteomik saat memasuki fase
stasioner dalam media kompleks menunjukkan penurunan yang kuat karena sel-
sel memiliki akses ke reservoir protein yang lebih besar, selain itu enzim yang
dibutuhkan untuk biosintesis asam amino yang hampir tidak ada selama
pertumbuhan dalam media kompleks (Li et al., 2014).
2.5. Produksi dan Pemurnian Protein
2.5.1. Kultivasi dengan Sistem Fermentor
Sistem fermentor menyediakan lingkungan pertumbuhan yang optimal
untuk berbagai jenis kultur. Prinsip dari sistem ini adalah kemampuannya untuk
mengendalikan suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut dan faktor-faktor penting
lainnya untuk pertumbuhan dan ekspresi protein yang efisien (Obom et al.,
2013). Gambar 7. merupakan sistem fermentor dalam proses kultivasi mikroba.
Gambar 7. Sistem Fermentor DASGIP® Parallel (Maurer et al., 2015)
21
Tabel 2. Bagian-bagian Sistem Fermentor (Obom et al., 2013)
Bagian alat Fungsi
Probe pH untuk pengukuran pH dalam kultur.
Probe pO2 untuk pengukuran kandungan oksigen terlarut di
dalam vessel selama kultivasi.
Pipa harvest untuk pengambilan sampel kultur.
Gas sparger untuk menyediakan infus gas ke dalam kultur.
Poros impeller dan impeller untuk pengadukan kultur dan menjaga keseragaman
kultur di dalam vessel.
Kondensor gas buang untuk menahan kehilangan evaporatif di dalam
vessel dengan cara mendinginkan jalur gas buang.
Pompa reagen untuk kontrol pH dan penambahan nutrisi
Kontrol suhu dicapai dalam vessel dengan menggunakan agitasi impeller
dan jaket pemanas. Sensor yang dimasukkan ke dalam vessel dan umpan balik
dari jaket pemanasan dan pendinginan ini biasanya menghasilkan kontrol suhu
± 0,1°C. Fermentor umumnya memberikan kontrol pH dengan penambahan
asam/basa melalui pompa reagen. Nilai pH terus dipantau dengan upaya
menjaga lingkungan agar optimal untuk pertumbuhan sel (Obom et al., 2013).
Aerasi dipertahankan oleh impeller dengan infus oksigen yang langsung
ke dalam kultur. Pengukuran oksigen dalam larutan biasanya dicapai dengan
probe polarografi yang tidak tersedia untuk kultivasi dalam erlenmeyer.
Kondensor gas buang, memberikan permukaan dingin pada uap dalam aliran
gas untuk mengembun sehingga menjaga volume dan kerapatan kultur. Selain
itu, penambahan antifoam digerakkan oleh probe konduktivitas dalam kultur
untuk mengurangi busa di permukaan sehingga memungkinkan pertukaran gas.
Adanya busa pada permukaan di atas kultur akan membatasi pertukaran gas dan
memperlambat pertumbuhan (Obom et al., 2013).
Pada proses skala besar dengan pertumbuhan populasi dan hasil produk
yang optimal, diperlukan pemahaman tentang kinetika pertumbuhan mikroba.
22
Setelah media nutrisi yang telah steril diinokulasi dengan mikroorganisme,
empat fase pertumbuhan mikroba terjadi (Gambar 8) (Case et al., 2012).
Gambar 8. Kurva pertumbuhan mikroba (Maier, 2008)
1. Fase Lag
Fase ini merupakan periode sebelum pertumbuhan ketika mikroorganisme
beradaptasi dengan lingkungan baru dan enzim yang dibutuhkan disintesis.
Perpindahan pada media baru dapat menyebabkan perubahan pH,
peningkatan nutrisi dan pengurangan inhibitor pertumbuhan yang tersedia.
2. Fase log (Eksponensial)
Pada fase ini, sel yang telah menyesuaikan diri kemudian melipatgandakan
jumlahnya setiap satuan waktu dan memberikan tingkat pertumbuhan
eksponensial. Tingkat pertumbuhan maksimum ini penting dalam proses
industri yang bergantung pada jenis mikroorganisme dan kondisi fermentasi.
3. Fase Stasioner
Pada fase ini, pertumbuhan melambat karena substrat telah dimetabolisme
dan biomassa tetap konstan karena jumlah sel yang dihasilkan sama dengan
jumlah sel yang mati. Panjang fase stasioner bergantung pada
mikroorganisme dan proses yang digunakan untuk kultur.
23
4. Fase Kematian
Pada fase ini, jumlah kematian relatif cepat dan jumlah sel menurun secara
geometrik. Sel mati ketika telah menghabiskan semua cadangan energinya.
Dalam proses komersial dan industri fermentasi, biasanya sel terganggu
sebelum fase kematian dimulai.
2.5.2. Fraksinasi Amonium Sulfat
Amonium sulfat, (NH4)2SO4 digunakan untuk pengendapan protein
karena kelarutannya yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk
mengendapkan protein. Prinsip fraksinasi amonium sulfat berdasarkan salting
out yaitu pada konsentrasi garam yang tinggi, garam akan lebih cenderung
mengikat air dan menyebabkan permukaan protein akan menjadi sangat
bermuatan sehingga molekul protein akan saling bergabung dan membentuk
endapan (Duong-Ly dan Gabelli, 2014).
Protein sukar larut dalam air dan sebagian besar membutuhkan sedikit
konsentrasi garam agar tetap stabil. Adanya penambahan garam, dapat
meningkatkan kelarutan protein. Hal ini disebabkan oleh ion anorganik yang
terhidrasi sempurna akan mengikat permukaan protein dan mencegah
penggabungan (agregasi) molekul protein sehingga menjadikannya sebagai
tahap awal pemurnian yang baik untuk protein yang larut dalam jumlah kecil
(Duong-Ly dan Gabelli, 2014).
Kelemahan utama penggunaan salting out untuk memurnikan protein,
yaitu kontaminan sering ikut mengendap dengan protein yang ingin diendapkan.
Untuk mendapatkan sampel protein murni, langkah pemurnian lebih lanjut
24
seperti kromatografi pertukaran ion dan kromatografi filtrasi gel diperlukan.
Selain itu, protein dalam konsentrasi garam yang tinggi pada akhir percobaan,
sehingga dialisis umumnya merupakan metode terbaik untuk menghilangkan
(NH4)2SO4 dari sampel protein (Duong-Ly dan Gabelli, 2014).
2.6. Karakterisasi Protein
2.6.1. Bicinchoninic Acid
Bicinchoninic Acid (BCA) merupakan analisis kuantitatif untuk
mengetahui konsentrasi protein total dalam sampel. Prinsip dari metode ini
adalah adanya ikatan peptida pada protein yang dapat mereduksi ion Cu2+
menjadi Cu+ dalam larutan alkali (reaksi biuret), ion Cu+ kemudian membentuk
kelat dengan dua molekul asam bicinchoninic membentuk reaksi ungu
kompleks dengan absorbansi kuat pada panjang gelombang 562 nm. Jumlah ion
yang tereduksi sebanding dengan banyaknya protein dalam sampel (He, 2011).
Konsentrasi protein dihitung berdasarkan kurva standar dari sampel
protein yang telah diketahui konsentrasinya (He, 2011). Pada kit BCA terdapat
larutan standar BSA untuk pembuatan kurva standar konsentrasi protein. Kit ini
dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi protein dalam kisaran 20-2000
µg/mL pada pengukuran larutan standar (Khalid, 2012).
Pengujian BCA didasarkan pada dua reaksi kimia, yang pertama adalah
reduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dengan ikatan peptida dalam larutan alkali
(Gambar 9a). Langkah kedua adalah pembentukan kelat antara satu ion Cu+ dan
dua molekul BCA (Gambar 9b) membentuk kompleks ungu. Reduksi Cu
25
disebabkan oleh empat residu asam amino termasuk sistein atau sistin, tirosin,
dan triptofan yang hadir dalam molekul protein (Huang et al., 2010).
Gambar 9b. Pembentukan kelat Cu+ dengan molekul BCA
Gambar 9. Reaksi dalam BCA (Huang et al., 2010)
Uji BCA lebih objektif dibandingkan dengan uji Bradford, karena ikatan
peptida juga berperan untuk pembentukan warna dan meminimalkan
variabilitas yang disebabkan oleh perbedaan komposisi protein. BCA telah
banyak digunakan untuk menentukan konsentrasi protein karena kemudahan
penggunaan dan sensitivitasnya tinggi. Salah satu kelemahan dari uji BCA
dibandingkan dengan uji Bradford adalah rentan terhadap gangguan oleh
beberapa bahan kimia yang hadir dalam sampel protein, termasuk agen
pereduksi, agen pengkelat dan buffer dengan konsentrasi tinggi yang dapat
dihindari dengan mengencerkan sampel karena dapat mengganggu reaksi
reduksi dan pembentukan kelat (He, 2011).
2
Gambar 9a. Reduksi Cu2+ menjadi Cu+
Cu+
26
2.6.2. Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis
Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-
PAGE) adalah teknik untuk memisahkan protein berdasarkan kemampuannya
bergerak dalam arus listrik. Prinsip dari SDS-PAGE adalah pemisahan protein
berdasarkan ukuran bobot molekulnya (Sambrook dan Russell, 2006).
Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) adalah senyawa organik dengan rumus
CH3(CH2)11OSO3Na yang merupakan surfaktan anionik yang dapat melarutkan
molekul hidrofobik dan memiliki muatan negatif (sulfat) yang melekat. Protein
akan dilapisi dengan molekul SDS setelah didenaturasi sehingga diperoleh
muatan negatif yang sebanding dengan panjang rantai polipeptida. Penambahan
detergen SDS dapat menghilangkan struktur protein sekunder dan tersier serta
mempertahankan protein sebagai rantai polipeptida (Roy dan Kumar, 2012).
Gambar 10. Denaturasi protein (Roy dan Kumar, 2012)
Pada Gambar 10. menggambarkan yang terjadi pada protein ketika
diinkubasi dan didenaturasi dengan deterjen SDS, bagian atas menunjukkan
protein dengan muatan negatif dan positif dengan gugus R yang bermuatan
dalam protein. H menunjukkan domain hidrofobik dengan gugus R nonpolar
menjauh dari gugus polar yang mengelilingi protein. SDS dapat mengganggu
daerah hidrofobik dan menutupi protein dengan banyak muatan negatif yang
meliputi setiap muatan positif protein karena gugus R bermuatan positif. Protein
27
yang dihasilkan telah didenaturasi dengan SDS dan sebagai hasilnya telah
mengalami linierisasi (Roy dan Kumar, 2012).
Jika protein didenaturasi kemudian dimasukkan ke dalam matriks gel
dan ditempatkan dalam medan listrik, muatan negatif molekul protein
bermigrasi ke arah elektroda muatan positif dan dipisahkan oleh efek pemisahan
molekul pada tingkat yang sama dengan tidak ada pemisahan berdasarkan
ukuran. Pemisahan protein berdasarkan ukurannya disebabkan oleh adanya gel
akrilamida. Gel akrilamida ini terbentuk oleh polimerisasi akrilamida melalui
ikatan silang (bis-acrylamide) dengan adanya katalis (TEMED) dan inisiator
(APS) serta buffer gel (Tris-HCl). Tingkat polimerisasi gel dapat dikontrol
dengan memvariasikan konsentrasi dari TEMED dan APS. Ukuran relatif dari
monomer akrilamida dan ikatan silang (bis-acrylamide) dapat mengontrol
penyerapan gel, sehingga molekul dapat dipisahkan dengan elektroforesis
berdasarkan muatan, ukuran, dan bentuk (Roy dan Kumar, 2012).
Gel terdiri atas 3/4 resolving gel dan 1/4 stacking gel dengan dua sistem
buffer, sampel dimuat langsung di atas gel. Dalam hal ini ketajaman protein
yang dihasilkan dalam gel akan selebar mungkin. Masalah ini dapat diatasi
dengan polimerisasi stacking gel yang lebih pendek di atas resolving gel.
Stacking yang digunakan untuk membantu memfokuskan protein menjadi pita
yang tajam pada saat memulai running elektroforesis dan resolving gel dengan
berbagai persentase gel akrilamida yang digunakan untuk memisahkan protein
berdasarkan bobotnya. Setelah visualisasi dengan teknik pewarnaan spesifik
protein, ukuran protein dapat diperkirakan melalui perbandingan jarak migrasi,
dengan standar bobot molekul yang diketahui (Roy dan Kumar, 2012).
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret hingga Juni 2017 di
Laboratorium Research and Development PT. Bio Farma Bandung.
3.2. Peralatan dan Bahan
3.2.1. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminar Air
Flow (ESCO), Fermentor 1 L (Eppendorf Dasgip), Autoklaf (Tomy SX-700),
Inkubator shaker (Innova® 42), Neraca analitik (Metler Toledo), Magnetic
stirrer (WiseStir®), pH meter (Mettler Toledo SevenMulti), Micropipette
(Thermo Scientific), Finntip (Thermo Scientific), Syringe (Terumo®), Filter,
Centrifugal filter (Millipore Amicon® Ultra-2), Falcon tube (nuc), Glass vial 10
mL, Botol schott (Duran), Accu-jet seed (Bio Rad), Accu-chek active (Roche),
Steriking sealer (Rotosealer RS-120), Microtube, Centrifuge (Minispin Plus
Eppendorf), Multi speed vortex (MSV-3500), Table balance, Centrifuge
(Hettich Zentrifugen Universal 320 R), Preparat, Mikroskop, Waterbath (Julabo
F12), Roller (Rotanta 460R Hetich Zentrifugen), Freezer (Thermo Scientific),
Inkubator (Thermolyne), Spektrofotometer UV-Vis (Biochrom WPA Biowave
DNA), Microplate-96 well, Microplate reader (Biotek Synergy 2),
Elektroforator SDS-PAGE (Bio Rad), Scanner gel documentation (biostep®
ViewPix 700), dan Peralatan gelas (Pyrex).
29
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Escherichia coli
strain BL21(DE3)/pET28a-HBcAg yang diperoleh dari hasil penelitian PT. Bio
Farma, media Luria Bertani (LB), media Terrific Broth (TB), media Defined
Non-Inducing Broth (DNB) (Lampiran 1), WFI (Milli-Q), Alkohol 96%,
Isopropanol, Kanamisin 80 mg/L, Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside
(IPTG) 0,5 mM, Antifoam, Crystal violet, Iodin, Safranin, CelLytic™ B, NaCl
0,85%, NaOH 5 M, HCl, (NH4)2SO4, Tris-HCl 50 mM, BCA protein assay kit
(Pierce® 23252), Stacking buffer (Tris HCl 0,5 M pH 6,8), Resolving buffer
(Tris-HCl 1,5 M pH 8,8), Bis-acrylamide 30%, Sodium Dodecyl Sulfate (SDS),
Amonium persulfat (APS) 10%, Tetraetilmetilendiamin (TEMED), Protein
ladder (BenchmarkTM Protein), Kontrol positif HBcAg yang diperoleh dari hasil
penelitian PT. Bio Farma, dan Colloidal coomassie blue.
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Pre-culture E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg (Baltz et al., 2010)
E. coli BL21(DE3) yang mengandung pET28a-HBcAg dalam gliserol
stok diinokulasikan sebanyak 1 ose pada 200 mL variasi media cair (LB, TB,
DNB) yang telah ditambahkan 160 µL kanamisin (80 mg/L). Kultur kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC dengan pengocokan 225 rpm selama 16 jam.
3.3.2. Kultivasi E. coli untuk Optimasi Media (Baltz et al., 2010)
Pre-culture diinokulasikan pada 800 mL media cair berbeda (LB, TB,
DNB) di dalam fermentor, kemudian diatur pada suhu 37oC dan %DO (Dissolve
30
Oxygen) 20%. Kultivasi dilakukan selama 8 jam. Kultur sampel diambil setiap
1 jam untuk dilakukan analisis parameter.
3.3.3. Analisis Parameter
3.3.4.1. Optical Density (OD)
Pengukuran Optical Density (OD) bertujuan untuk mengetahui
terjadinya peningkatan jumlah sel mikroba dalam kultur. Pengukuran OD
dilakukan pada jam ke-0 hingga jam ke-8 dengan interval waktu 1 jam dan
diukur pada panjang gelombang 600 nm dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis. Data hasil pengukuran OD600 kemudian diolah
dalam bentuk grafik.
3.3.4.2. Kadar Glukosa
Pengukuran kadar glukosa bertujuan untuk mengukur kadar
glukosa dalam kultur sehingga waktu induksi dapat ketahui ketika tidak
tidak adanya glukosa. Untuk mengukur kadar glukosa, kultur diteteskan
pada strip uji glukosa, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat accu-chek
active. Data hasil pengukuran kemudian dicatat.
3.3.4.3. Pewarnaan Gram Escherichia coli
Pewarnaan gram bertujuan untuk mengamati morfologi sel E. coli
yang tumbuh dalam media kultur dan mengetahui ada tidaknya
kontaminasi. Kultur E. coli sebanyak 1 ose diletakkan pada kaca preparat
dan dibiarkan mengering. Dilakukan pewarnaan gram, setelah itu preparat
dikeringkan. Selanjutnya kultur dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran secara bertahap yaitu 100x, 400x, dan 1000x.
31
3.3.4. Kultivasi E. coli untuk Ekspresi HBcAg (Baltz et al., 2010)
E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dalam gliserol stok diinokulasikan
sebanyak 1 ose pada 200 mL media terpilih yang telah ditambahkan 160 µL
kanamisin (80 mg/L). Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC
dengan pengocokan 225 rpm selama 16 jam. Selanjutnya, pre-culture
diinokulasikan pada 800 mL media terpilih di dalam fermentor, diatur pada suhu
37oC dan % DO (Dissolve Oxygen) 20%.
Kultur cair diinduksi menggunakan IPTG dengan konsentrasi 0,5 mM
untuk ekspresi protein. Proses induksi dengan IPTG dilakukan selama 16 jam
pada suhu 15oC. Kultur kemudian dipanen dan disentrifugasi dengan kecepatan
4000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan dibuang, kemudian pelet
disimpan pada suhu -20oC.
3.3.5. Lisis sel (Anai et al., 1970)
Lisis sel bertujuan untuk memecah membran sel dan mengeluarkan
protein intraseluler. Pelet sel hasil panen ditambahkan buffer lisis (Lampiran 2)
dengan perbandingan 5 mL per gram sel. Suspensi digoyangkan di atas roller
pada suhu 25oC hingga gumpalan sel larut. Setelah itu, lisat sel disentrifuge pada
4000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan diambil dan pelet dibuang.
3.3.6. Fraksinasi dengan Amonium Sulfat (Janson dan Ryden, 1989)
Fraksinasi amonium sulfat bertujuan untuk pemurnian protein dengan
optimasi pada beberapa variasi konsentrasi. Amonium sulfat dimasukkan ke
dalam lisat sel dengan variasi konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, 80%. Campuran
32
tersebut digoyangkan di atas shaker pada suhu 4oC selama 16 jam. Selanjutnya
disentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC.
Endapan dipisahkan dan diresuspensikan dengan bufer tris-HCl 50 mM
pH 8. Supernatan dimasukkan ke dalam Amicon® ultra centrifugal filter
kemudian disentrifugasi sehingga protein akan tertahan dalam membran. Buffer
tris-HCl 50 mM pH 8 ditambahkan ke dalam protein untuk menggantikan
keberadaan amonium sulfat dalam sampel.
3.3.7. Karakterisasi Produk Target
3.3.7.1. BCA (Bicinchoninic Acid) (Smith et al., 1985)
Metode BCA bertujuan untuk mengukur konsentrasi protein total
dalam sampel.
3.3.7.1.1. Preparasi larutan standar BSA
Larutan standar BSA diencerkan ke dalam beberapa tabung
mikrosentrifuge dengan kisaran 25-2000 µg/mL.
Tabel 3. Larutan standar BSA
Vial Volume diluent
(µL)
Volume BSA
(µL)
Konsentrasi BSA
(µg/mL)
A 0 300 dari stok 2000
B 125 375 dari stok 1500
C 325 325 dari stok 1000
D 175 175 dari vial B 750
E 325 325 dari vial C 500
F
G
H
I
325
325
400
400
325 dari vial E
325 dari vial F
100 dari vial G
0
250
125
25
0 = blank
3.3.7.1.2. Preparasi BCA working reagent
BCA reagen A dan reagen B dicampurkan dengan
perbandingan (50:1, Reagent A:B)
33
Tabel 4. Reagen BCA
BCA Reagen A BCA Reagen B
Natrium karbonat, natrium bikarbonat,
asam bicinchoninic, dan natrium tartarat
dalam natrium hidroksida 0,1 M
tembaga sulfat 4%
3.3.7.1.3. BCA assay
Standar BSA dan sampel dipipet ke dalam microplate 96-well
masing-masing sebanyak 25 µL dan dilakukan secara triplo. Kemudian
working reagent ditambahkan ke dalam sampel perbandingan
sampel:reagen (1:8). Microplate diinkubasi pada suhu 37°C selama 30
menit, kemudian hasil reaksi dibaca pada panjang gelombang 562 nm
dengan microplate reader.
3.3.7.2. SDS-PAGE (Laemmli, 1970)
Metode SDS-PAGE bertujuan untuk mengetahui keberadaan
protein target HBcAg dalam sampel.
3.3.7.2.1. Preparasi gel
Gel yang digunakan terdiri atas dua bagian yaitu stacking gel
dan resolving gel. Proses pembuatan stacking gel dilakukan dengan cara
mencampurkan ddH2O, bis-acrylamide 30%, stacking buffer (Tris HCl 0,5
M pH 6,8), SDS, kemudian ditambahkan APS dan TEMED. Untuk
pembuatan resolving gel dilakukan dengan cara mencampurkan ddH2O,
bis-acrylamide 30%, resolving buffer (Tris-HCl 1,5 M pH 8,8), SDS,
kemudian ditambahkan APS dan TEMED. Larutan untuk pembuatan gel
dipastikan harus homogen sehingga gel terbentuk dengan sempurna.
Resolving gel dimasukan ke dalam kaca cetakan setinggi batas atas, lalu
34
dibiarkan sampai membeku. Isopropanol secukupnya dapat digunakan
untuk meratakan resolving gel. Setelah resolving gel membeku, bagian
atas kaca cetakan yang kosong diisi dengan stacking gel.
3.3.7.2.2. Preparasi sampel
Buffer sampel dan sampel dimasukkan ke dalam microtube
dengan perbandingan 1:2 (buffer sampel:sampel). Selanjutnya divortex,
lalu dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit untuk mendenaturasi
protein. Sampel, ladder, dan kontrol positif HBcAg, masing-masing
dimasukkan ke dalam sumur gel menggunakan mikropipet. Sisiran
pembuat sumur dimasukan ke dalam cetakan. Gel dibiarkan sampai
membeku. Gel selanjutnya ditempatkan dalam wadah (chamber),
kemudian running buffer dimasukkan ke dalam ruang antar gel pada
wadah elektroforesis hingga garis batas.
3.3.7.2.3. Elektroforesis SDS-PAGE
Casting gel dipasang dan alat elektroforesis dirangkai. Wadah
elektroforesis ditutup, lalu disambungkan kabelnya ke sumber arus listrik.
Sumber arus listrik dinyalakan dan alat diatur pada tegangan 120 volt
selama 80 menit hingga migrasi sampel telah mendekati batas bawah gel.
Perlu diperhatikan agar migrasi sampel tidak melewati kaca. Gel
dikeluarkan dari dalam cetakan dengan hati-hati agar tidak robek, lalu
ditempatkan dalam wadah berisi air. Selanjutnya air dibuang.
3.3.7.2.4. Pewarnaan (staining) dan pencucian (destaining)
Larutan staining (colloidal coomassie blue) ditambahkan ke
dalam wadah berisi gel hingga menutupi seluruh permukaan gel. Wadah
35
gel ditempatkan di atas shaker pada suhu 25oC selama semalaman dengan
rotasi 60 rpm. Larutan staining kemudian dikembalikan ke dalam
wadahnya. Setelah itu, ditambahkan larutan destaining (WFI) hingga
menutupi seluruh permukaan gel. Wadah gel ditempatkan di atas roller
pada suhu 25oC selam 30 menit lalu dibuang. Tahap ini diulangi sebanyak
3 kali. Setelah itu, WFI kembali ditambahkan untuk penyimpanan.
Selanjutnya dilakukan scanning dengan scanner gel documentation.
3.3.8. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan
menampilkan hasil analisis pertumbuhan E. coli dan pemurnian protein dengan
amonium sulfat dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar. Analisis ini
menggambarkan pengaruh variasi media yang digunakan terhadap pertumbuhan
E. coli. Analisis parameter pertumbuhan E. coli ditampilkan secara deskriptif
meliputi kerapatan sel, pH, kadar glukosa, dan morfologi sel. Pemurnian protein
dengan amonium sulfat menggambarkan pengaruh perlakuan yang diberikan,
yaitu konsentrasi amonium sulfat terhadap hasil pemurnian protein HBcAg.
36
3.4. Diagram Alir Penelitian
Gambar 11. Skema kerja penelitian
Escherichia coliBL21(DE3)/pET28a-
HBcAg
Pre-culture
Media I
Luria Bertani (LB)
Media II
Terrific Broth (TB)
Lisis Sel
Supernatan
0% 20% 40% 60%
SDS-PAGE
Analisis Data
80%
BCA
Endapan
Media III
Defined Non-inducing Broth (DNB)
Kultivasi
37oC
Analisis Parameter:
- OD (Optical Density)
- pH
- Kadar glukosa
- Morfologi sel
Induksi IPTG 15oC
Sentrifugasi
Fraksinasi dengan
Amonium sulfat
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pertumbuhan Escherichia coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg
Penelitian ini menggunakan seed Escherichia coli BL21(DE3)/pET28a-
HBcAg yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya PT. Bio Farma. Pada
penelitian ini, dilakukan optimasi media kultivasi untuk mengamati pertumbuhan
E. coli pada media Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), dan Defined Non-
Inducing Broth (DNB) (Lampiran 1) menggunakan sistem fermentor dengan mode
operasi batch untuk seleksi media berdasarkan fase eksponensial yang tercapai.
Variasi media kultivasi memudahkan manipulasi komposisi media yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba (Chambers dan Swalley, 2009). Menurut
Binder et al., (2016) terlepas dari sistem ekspresi yang digunakan, perbedaan
tingkat ekspresi juga sering terlihat dalam media yang berbeda. Produksi protein
rekombinan Hepatitis B core Antigen (HBcAg) dilakukan pada media terpilih dari
hasil seleksi media.
4.1.1. Pengukuran Optical Density (OD)
Pengukuran Optical Density (OD) pada pertumbuhan E. coli BL21(DE3)
dalam media LB, TB, dan DNB bertujuan untuk seleksi media sehingga dapat
diperoleh media optimum yang dapat menghasilkan pertumbuhan E. coli yang
tinggi untuk produksi protein rekombinan HBcAg. Hasil pengukuran nilai OD
pada panjang gelombang 600 nm (Gambar 12) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan fase pertumbuhan E. coli BL21(DE3) dari hasil pengukuran kultur
38
yang dikultivasi pada media LB, TB, dan DNB yang disebabkan oleh perbedaan
komposisi dari masing-masing media kultur tersebut. Komposisi media dapat
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan sel (Xu et al., 2005). Menurut Kram dan
Finkel (2015), komposisi media mempengaruhi tekanan yang dialami sel selama
fase eksponensial, bahkan perubahan kecil dalam komposisi media dapat
menyebabkan perubahan drastis pada fisiologi sel. Pada pengukuran OD600 dapat
diamati fase pertumbuhan E. coli antara fase lag, eksponensial, dan stasioner dari
media LB, TB, dan DNB yang dikultivasi dari hasil pre-culture E. coli.
Gambar 12. Kurva pertumbuhan E. coli BL21(DE3)
Gambar 13. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3)
6,104
20,857
15,878
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
OD
600
Waktu (Jam)
LB
TB
DNB
-2
-1
0
1
2
3
4
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ln O
D600
Waktu (Jam)
LB
TB
DNB
Media µ (/jam)
LB 0,467
TB 0,788
DNB 0,643
39
Berdasarkan kurva pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada Gambar 12.
fase lag kultur pada media LB terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-1 dengan
nilai OD600 berada pada 0,059-0,216 dan fase lag untuk kultur pada media TB
terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-2 dengan nilai OD600 pada 0,008-0,078,
sementara kultur pada media DNB mengalami fase lag lebih lama yaitu dari jam
ke-0 sampai jam ke-3 dengan nilai OD600 0,039-0,581. Pertumbuhan yang cepat
pada media LB dan TB disebabkan oleh komposisi yang kompleks dalam media,
dalam hal ini kandungan yang kompleks dari yeast extract dan tryptone sebagai
sumber karbon, nitrogen, vitamin, mineral, dan asam amino yang penting dan
dibutuhkan untuk pertumbuhan E. coli (Sambrook dan Russell, 2006).
Dalam penelitian Li et al., (2014) mengenai potensi metabolik E. coli
dalam defined dan rich media, hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa
pertumbuhan lebih lambat diamati pada defined media, dalam hal ini media yang
digunakan yaitu media DNB. Pada media DNB waktu adaptasi yang terjadi lebih
lama dikarenakan media ini harus mensintesis bahan-bahan untuk pembentukan
asam amino dan enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan, sedangkan pada
media LB dan TB yang merupakan media kompleks dengan prekursor
biosintesis (asam amino) sudah terdapat dalam media, maka dapat disalurkan
langsung ke jalur anabolik sehingga mengurangi kebutuhan untuk memproduksi
prekursor biosintesis dan menghemat energi metabolik, dan hal ini berpengaruh
signifikan terhadap karakteristik pertumbuhan dan produksi protein (Hahn-
Hagerdal et al., 2005).
Fase eksponensial pada kultur dalam media LB dicapai pada jam ke-2
sampai jam ke-6 dengan nilai OD600 0,944-6,104, sedangkan kultur dalam media
40
TB memasuki fase eksponensial pada jam ke-3 sampai jam ke-8 dengan nilai
OD600 0,406-20,857, dan untuk kultur pada media DNB memasuki fase
eksponensial pada jam ke-4 sampai jam ke-8 dengan nilai OD600 1,215-15,878
(Gambar 12). Nilai OD600 yang tertinggi pada fase eksponensial yang tercapai
diperoleh untuk kultur pada media TB dengan nilai OD600 mencapai 20,857
dengan konsentrasi sel 1,67 x 1010 sel/mL (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan
bahwa media TB memiliki kerapatan sel paling tinggi dari dua media lainnya
yang menghasilkan nilai OD600 lebih rendah yaitu DNB mencapai 15,878
dengan konsentrasi sel 1,27 x 1010 sel/mL dan LB hanya dapat mencapai 6,104
dengan konsentrasi sel 4,88 x 109 sel/mL (Lampiran 4). Nilai konsentrasi sel
diperoleh berdasarkan hasil konversi nilai OD600 dengan skala OD600 untuk E.
coli 1,0 adalah 8 x 108 sel/mL (Malwade et al., 2017) . Selain itu, kultur yang
dikultivasi pada media TB juga memiliki nilai laju pertumbuhan spesifik yang
tertinggi yaitu mencapai 0,788/jam dibandingkan dengan kultur pada media
DNB 0,653/jam, dan LB yang hanya mencapai 0,467/jam (Gambar 13). Hal ini
menunjukkan bahwa pada media TB pertumbuhan sel lebih cepat, selain itu
tingginya nilai OD600 dari hasil pengukuran mengindikasikan bahwa jumlah sel
dalam media TB lebih banyak, sehingga diharapkan semakin banyak sel maka
protein yang dihasilkan pada saat ekspresi semakin banyak.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, media DNB tidak mendukung
pertumbuhan kultur yang memuaskan dengan kondisi yang digunakan
dibandingkan dengan media TB dengan rendahnya kerapatan sel yang diperoleh
pada media DNB. Media DNB disiapkan dari komponen yang dimurnikan,
membutuhkan lebih banyak komponen, dan lebih sulit untuk dipersiapkan.
41
Menurut Danquah dan Forde (2007), media DNB seringkali menyebabkan
kerapatan sel lebih rendah daripada yang dapat dicapai pada media kompleks.
Pada umumnya mikroorganisme dapat tumbuh lebih kuat dalam media
kompleks daripada dalam media garam mineral. Dalam Hahn-Hagerdal et al.,
(2005) dijelaskan bahwa strain E. coli dengan aliran kerangka karbon ke dalam
lengan 2-ketoglutarat dari jalur tricarboxylic acid dan biosintesis dibatasi
sehingga secara langsung mengurangi hasil pertumbuhan dalam defined media
dibandingkan dengan media kompleks. Pengamatan menunjukkan bahwa
keterbatasan inheren seperti stabilitas genetik strain dalam metabolisme strain
hasil rekayasa genetik dapat ditutupi oleh adanya nutrisi kompleks dan seringkali
tidak diamati dalam kultivasi pada defined media (Hahn-Hagerdal et al., 2005).
Pada media TB, nutrisi kaya yang dilengkapi gliserol sebagai sumber
karbon tambahan dan sistem buffer memberikan keuntungan dibandingkan
dengan media kompleks lain yang diuji dari pertumbuhan kultur E. coli
BL21(DE3) dalam penelitian ini. Penggunaan gliserol sebagai sumber karbon
pada media TB dapat mengurangi akumulasi dari produk samping yang dapat
menghambat pertumbuhan dan adanya sistem buffer dalam media dapat menjaga
pH kultur. Danquah dan Forde (2007) juga menjelaskan bahwa kandungan yeast
extract yang tinggi, tryptone, dan buffer fosfat memungkinkan pertumbuhan sel
yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan biomassa dan produktivitas
spesifik, dalam hal ini kandungan yeast extract pada media TB hampir 5x lebih
besar dari media LB dan kandungan tryptone dalam media TB juga lebih besar.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa media TB diduga paling
sesuai untuk produksi protein HBcAg berdasarkan kondisi yang digunakan
42
dengan nilai kerapatan sel dan laju pertumbuhan spesifik tertinggi. Kultivasi E.
coli dalam media TB selanjutnya dilakukan untuk ekspresi protein HBcAg.
4.1.2. Pengukuran pH
Pengukuran pH pada pertumbuhan E. coli BL21(DE3) dalam media LB,
TB, dan DNB bertujuan untuk memonitoring nilai pH dalam kultur dan
diharapkan penurunan atau kenaikan pH yang diamati tidak terlalu signifikan
yang dapat menyebabkan pertumbuhan E. coli dalam media dapat terhambat.
Menurut Collins et al., (2013) pertumbuhan yang tinggi, biomassa yang optimal,
dan produksi protein dicapai pada pH mendekati netral.
Gambar 14. pH kultur pada media LB, TB, dan DNB
Hasil pengukuran pH pada Gambar 14. menunjukkan bahwa pada media
LB, kenaikan pH sudah mulai diamati pada awal kultur. Dalam kasus ini, diduga
tidak adanya tingkat sumber karbon tambahan yang cukup pada media LB,
sehingga sumber karbon dari peptida dan degradasi protein mungkin terjadi yang
selanjutnya menyebabkan pelepasan amonium sehingga kenaikan pH dapat
diamati (Collins et al., 2013). Menurut Hahn-Hagerdal (2005), sel bakteri dalam
5
5,5
6
6,5
7
7,5
8
8,5
9
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
pH
Waktu (Jam)
LB
TB
DNB
43
media kompleks biasanya mengkatalisis asam amino sebagai sumber karbon dan
energi yang menyebabkan pelepasan senyawa nitrogen berlebih dan alkalisasi
kultur. Oleh karena itu, pH kultur dalam media LB meningkat dengan cepat.
Pada media TB dengan menggunakan gliserol sebagai sumber karbon
dapat mengurangi perubahan pH dan juga menunda kenaikan pH (Collins et al.,
2013). Ketika sel menggunakan gliserol sebagai sumber karbon, sel-sel tersebut
dapat menghasilkan asam yang dilepaskan ke dalam media sehingga
mengakibatkan penundaan alkalisasi. Selain itu, buffer dalam media TB juga
cenderung berperan menunda alkalisasi. Buffer fosfat berperan penting untuk
mempertahankan pH fisiologis selama pertumbuhan eksponensial sehingga
perubahan pH yang diamati juga tidak terlalu signifikan (Hahn-Hagerdal, 2005).
Pada media DNB dengan konsentrasi glukosa yang digunakan cukup
tinggi, penurunan pH selama pertumbuhan sel dalam kultur dapat diamati. Hal
ini diduga karena tingginya pertumbuhan sel seiring berkurangnya kadar glukosa
dalam kultur yang digunakan selama pertumbuhan dapat menyebabkan
kepadatan sel yang tinggi sehingga pH kultur dapat turun jauh mendekati 6.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa media TB dianggap mampu
mempertahankan pH selama pertumbuhan E. coli yang ditandai dengan
perubahan pH yang tidak terlalu signifikan dari hasil pengukuran. Kisaran pH
optimum pertumbuhan E. coli yaitu antara 6,5 dan 7,5 (Collins et al., 2013).
4.1.3. Pengukuran Kadar Glukosa
Pengukuran kadar glukosa pada kultur E. coli BL21(DE3) dalam media
LB, TB, dan DNB bertujuan untuk memperkirakan waktu induksi ketika tidak
44
adanya glukosa dalam kultur. Hal ini karena glukosa merupakan sumber karbon
dan energi utama yang sangat efektif untuk mencegah induksi operon sehingga
induksi sulit dilakukan dengan adanya glukosa (Studier, 2014).
Gambar 17. Kadar glukosa pada media LB, TB, dan DNB
Pada media LB, walaupun tidak adanya kandungan glukosa dalam
media, namun pada jam ke-8 ternyata diidentifikasi bahwa adanya glukosa yang
hadir dalam kultur (Gambar 17). Hal ini diduga bahwa glukosa yang
teridentifikasi ini berasal dari asetat yang merupakan akumulasi produk samping
pada pertumbuhan E. coli dalam media. Asetat merupakan prekursor untuk
glukoneogenesis yaitu sintesis glukosa dari senyawa-senyawa bukan
karbohidrat. Menurut Studier (2014), bakteri dapat mensintesis asetat langsung
dari CO2 yang dihasilkan oleh bakteri tersebut ketika sumber karbon utama
(yeast extract dan tryptone) dalam media habis, maka asetat dapat diproduksi
dan terakumulasi dalam media.
Pada media TB hasil pengukuran kadar glukosa tidak terdeteksi dalam
kultur. Dalam hal ini, adanya gliserol sebagai sumber karbon tambahan dalam
media TB, memiliki keuntungan yaitu gliserol tidak dimetabolisme menjadi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 2 4 6 8 10
Kad
ar G
luko
sa (
g/L
)
Waktu (Jam)
LB
TB
DNB
45
asetat sehingga kemungkinan adanya glukosa dalam kultur berkurang
(Sambrook dan Russel, 2006).
Analisis kultur dalam media yang dilengkapi glukosa pada media DNB
menunjukkan terjadinya penipisan glukosa dalam kultur. Hal ini
mengindikasikan pertumbuhan sel semakin meningkat sehingga sumber karbon
dalam hal ini glukosa dalam media DNB akan menipis, akan tetapi akumulasi
asetat dapat terjadi lebih cepat. Ketika kadar asetat yang terakumulasi tinggi
maka hal ini dapat menghambat pertumbuhan dari E. coli, yang membatasi
pertumbuhan sel lebih lanjut dan oleh karenanya juga dapat menghambat
produksi protein (Collins et al., 2013).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada media TB dengan tidak
adanya kandungan glukosa yang teridentifikasi dalam kultur, maka induksi dapat
dilakukan tanpa memperhatikan kadar glukosa yang mungkin hadir selama
pertumbuhan dalam media TB. Selain kadar glukosa, faktor lain yang dapat
mempengaruhi induksi yaitu suhu, waktu induksi, dan konsentrasi IPTG
(Sivashanmugam et al., 2009).
4.1.4. Pengamatan Morfologi Sel
Pengamatan morfologi sel secara mikroskopis dilakukan dengan
pewarnaan gram untuk mengkonfirmasi bahwa selama kultur hanya E. coli yang
tumbuh dalam media. Pembesaran mikroskop yang digunakan pada pengamatan
morfologi sel dalam penelitian ini adalah 1000x (100x pembesaran lensa objektif
dan 10x pembesaran lensa okuler).
46
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kultur E. coli pada ketiga
media telah dikonfirmasi tidak terkontaminasi (Gambar 21, Lampiran 4). E. coli
yang teramati berbentuk batang dan berwarna merah. E. coli merupakan bakteri
gram negatif yang tidak dapat mempertahankan zat warna crystal violet pada
saat pewarnaan gram, sehingga akan berwarna merah ketika diamati dengan
mikroskop (Madigan et al., 2006). Hal ini karena E. coli mempunyai dinding sel
tebal berupa peptidoglikan yang terletak diantara membran dalam dan membran
luarnya (Cooper dan Hausman, 2007). Peptidoglikan merupakan komponen
utama dinding sel bakteri yang bertanggung jawab untuk menjaga integritas sel
dan menentukan bentuknya (Hogg, 2005).
4.2. Ekspresi Protein HBcAg
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada optimasi media dengan
menghasilkan pertumbuhan E. coli tertinggi dalam media TB, membuat media ini
dipilih untuk ekspresi protein rekombinan HBcAg. E. coli BL21(DE3)/pET28a
yang mengandung gen HBcAg pada media TB diinduksi dengan IPTG untuk
mengekspresikan protein HBcAg. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
produksi protein dengan induksi IPTG diantaranya yaitu kerapatan sel (OD600)
suhu, waktu induksi, dan konsentrasi IPTG (Sivashanmugam et al., 2009). Protein
rekombinan yang diproduksi oleh E. coli sebagian besar bersifat intraseluler. Oleh
karena itu produksi protein rekombinan biasanya akan sebanding dengan
konsentrasi sel (Nelofer et al., 2013). Sebelum dilakukan induksi, sampel diambil
sebagai t0 (sebelum induksi) untuk dilakukan pengukuran konsentrasi protein total
dan diperiksa protein target HBcAg pada karakterisasi protein.
47
Gambar 16. Kurva pertumbuhan sel hingga induksi IPTG
Pada Gambar 16. Induksi IPTG dilakukan pada jam ke-4 dengan nilai
OD600 yang dicapai yaitu 0,801 dan konsentrasi sel 6,41 x 108 sel/mL (Lampiran
5). Menurut Chhetri et al., (2015), waktu induksi untuk pertumbuhan optimal pada
media TB dilakukan pada nilai OD600 mencapai 1,0-1,5. Waktu induksi pada OD600
1,0-1,5 dapat diperkirakan berdasarkan kurva pertumbuhan E. coli pada saat
optimasi media. Berdasarkan kurva pertumbuhan media TB pada saat optimasi
media, OD600 1,0-1,5 diperoleh antara jam ke-3 sampai jam ke-4 dengan nilai OD600
pada jam ke-3 yaitu 0,406 dan pada jam ke-4 yaitu 1,466. Induksi dilakukan pada
suhu 15oC sehingga sekitar 30 menit sebelum induksi dilakukan penurunan suhu
hingga mencapai 15oC. Akan tetapi pada kenyataannya waktu penurunan suhu yang
dilakukan ternyata terlalu cepat, sehingga menyebabkan pertumbuhan E. coli sangat
lambat yang dapat diamati dari peningkatan nilai OD600 yang dihasilkan.
Pertumbuhan yang lambat ini dikarenakan E. coli optimum tumbuh pada suhu 37oC
sehingga seiring terjadinya penurunan suhu, pertumbuhan E. coli dapat menurun,
dan OD600 yang dicapai saat induksi pada jam ke-4 hanya mencapai 0,801. Nilai
OD600 yang lebih rendah dapat berpengaruh terhadap konsentrasi total protein yang
dihasilkan. Larentis et al., (2014) dalam penelitiannya melakukan induksi IPTG
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
OD
600
Waktu (Jam)
Optical Density
t0
Induksi IPTG
Harvest cells
t16
2,69 x 109 sel/mL
6,41 x 108 sel/mL
48
pada media TB untuk ekspresi protein LigB dengan pertumbuhan sel pada OD600
antara 0,75-2,0. Variabel tersebut mempengaruhi pertumbuhan sel dan ekspresi
protein. Induksi pada fase pertumbuhan eksponensial akhir dengan OD600 2,0
menghasilkan konsentrasi sel dan produktivitas LigB yang lebih tinggi.
Pada profil pertumbuhan sel E. coli BL21(DE3) yang mengandung
plasmid pET28a diketahui bahwa induksi untuk ekspresi protein rekombinan
menyebabkan gangguan tingkat pertumbuhan dan peningkatan biomassa sel yang
dimungkinkan lebih rendah. Umumnya pertumbuhan sel berbanding terbalik
dengan laju ekspresi protein rekombinan (Hoffmann dan Rinas, 2004). Ekspresi
protein asing dalam sel inang diketahui dapat mengurangi tingkat pertumbuhannya
(Jhamb dan Sahoo, 2012). Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian Jhamb dan
Sahoo (2012) yang menunjukkan pengaruh proses ekspresi protein terhadap
pertumbuhan sel. Dalam penelitian tersebut, setelah induksi gen XynB, ada
peningkatan 42,6% pada tingkat pertumbuhan spesifik sel BL21 yang
mengekspresikan XynB. Sel yang telah induksi tumbuh lebih cepat sebesar 35%
pada pengukuran OD akhir.
Induksi untuk ekspresi protein pada suhu yang rendah antara 15-20oC
dapat meningkatkan yield protein (Womack, 2011). Menurut Sarramegna et al.,
(2002) protein paling fungsional diproduksi pada 15-20oC dengan level ekspresi 2x
lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 25oC dan 4x lebih besar dibandingkan
dengan suhu 30oC (Gaffar, 2010). Berdasarkan studi empiris, Collins et al., (2013)
telah mengidentifikasi waktu induksi yang optimal pada media TB sesuai dengan
titik deplesi gliserin. Pada saat ini, pertumbuhan E. coli diduga berada pada fase
eksponensial, karena secara umum induksi dilakukan selama fase pertumbuhan
49
eksponensial ketika sel-sel paling aktif membelah dan mekanisme ekspresi protein
diyakini paling aktif (Kelley et al., 2010). Kultur dipanen pada jam ke-16 setelah
induksi (t16) pada nilai OD600 mencapai 3,636 dengan nilai konsentrasi sel 2,69 x
109 sel/mL (Lampiran 5).
Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan nilai konsentrasi
sel yang diduga bahwa adanya protein yang terekspresikan dengan dilakukannya
induksi. Untuk mengkonfirmasi hal ini maka dilakukan penentuan konsentrasi
protein total dan karakterisasi protein dengan SDS-PAGE.
4.3. Karakterisasi Protein
4.3.1. Penentuan Konsentrasi Protein dengan BCA
Nilai absorbansi yang diperoleh merupakan nilai kuantitas dan sebanding
dengan konsentrasi protein total dalam sampel. Konsentrasi protein yang tinggi
ditandai dengan warna sampel pada pengukuran yang semakin ungu (He, 2011).
Tabel 5. Konsentrasi protein total
Sampel Konsentrasi
(µg/µL)
Lisat
Sebelum induksi
(t0) 3,396
Setelah induksi
(t16) 5,279
Berdasarkan data hasil pengukuran yang ditunjukkan pada Tabel 5. hasil
konsentrasi protein total yang diperoleh setelah induksi lebih besar. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya induksi dapat meningkatkan ekspresi protein
sehingga protein yang dihasilkan lebih tinggi (Briand et al., 2016) dan diduga
proses induksi berhasil dengan adanya peningkatan nilai konsentrasi protein total
yang dihasilkan.
50
4.3.2. Karakterisasi Protein dengan SDS-PAGE
Hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan pita protein tebal yang diperoleh
sejajar dengan kontrol positif HBcAg pada bobot molekul di bawah 15 kDa dan
diduga pita protein tersebut merupakan protein HBcAg. Bobot molekul HBcAg
dari hasil yang diperoleh dalam penelitian tidak sesuai dengan bobot molekul
HBcAg menurut Letourneur dan Watelet (2012) yang berada pada ukuran 20-22
kDa, hal ini karena E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan hasil modifikasi dan bukan native untuk meningkatkan
tingkat ekspresi. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian Hashemikhah
dan Heydari (2016) yang memodifikasi urutan pengkodean HBcAg berdasarkan
kodon E. coli yang digunakan tanpa perubahan asam amino dan menunjukkan
bahwa hasil analisis SDS-PAGE HBcAg menunjukkan pita protein mendekati 14
kDa. Bobot molekul teoritis dari HBcAg yang diekspresikan dalam E. coli adalah
14 kDa (Hashemikhah dan Heydari, 2016).
Gambar 17. Hasil SDS-PAGE protein HBcAg
Pada Gambar 17. sampel lisat sebelum induksi (t0), lisat setelah induksi
pada jam ke-4 (t4) dan lisat hasil panen pada jam ke-16 (t16), menunjukkan bahwa
1 2 3 4 5
kDa
180 115
82
64
49
37
26
19
15
6
Keterangan:
1. Ladder
2. HBcAg (+)
3. Lisat t0
4. Lisat t4
5. Lisat t16
51
pita protein yang yang sejajar dengan kontrol positif HBcAg pada bobot molekul
di bawah 15 kDa semakin tebal dan diduga bahwa pita protein tersebut
merupakan protein HBcAg. Akan tetapi, kemurnian protein masih rendah yang
terlihat pada kandungan protein lain yang masih tinggi pada hasil SDS-PAGE.
Hasil SDS-PAGE menunjukkan pada lisat sebelum induksi (t0) protein target
belum terekspresikan. Menurut Briand et al., (2016) sistem T7 menghasilkan
ekspresi protein rekombinan yang rendah selama pertumbuhan bakteri sebelum
induksi. Pita protein yang diperoleh semakin tebal pada lisat setelah induksi pada
jam ke-16 (t16). Hal ini menunjukkan bahwa induksi mampu meningkatkan
ekspresi protein sehingga protein yang dihasilkan semakin tinggi setelah
dilakukan induksi (Briand et al., 2016). Oleh karena itu pada jam ke-4 setelah
induksi (Gambar 17), ekspresi protein masih belum optimal. Hal ini ditunjukkan
dari ketebalan pita protein target yang dihasilkan lemah, sementara pada jam ke-
16 setelah induksi, protein terekspresikan dengan baik dan ditunjukkan dengan
ketebalan pita protein target yang kuat (Gambar 17).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan peningkatan ketebalan protein
target yang diduga merupakan protein HBcAg menunjukkan adanya peningkatan
ekspresi protein yang dihasilkan pada sebelum induksi dan setelah induksi. Hasil
ini menunjukkan bahwa proses induksi dapat dikonfirmasi berhasil dengan hasil
optimum pada ekspresi setelah 16 jam induksi.
4.4. Pemurnian Protein dengan Fraksinasi Amonium Sulfat
Pelet sel hasil panen dilisis secara enzimatik dengan buffer lisis untuk
memecah sel dan mengeluarkan protein intraseluler. Lisat yang diperoleh
52
merupakan total protein terlarut yang selanjutnya dilakukan fraksinasi dengan
amonium sulfat. Beberapa variasi konsentrasi amonium sulfat ditambahkan ke
dalam lisat sebagai tahap pemurnian dengan mengendapkan protein. Pada tahap ini
dilakukan optimasi pada beberapa variasi konsentrasi untuk memperoleh
konsentrasi amonium sulfat yang dapat menghasilkan protein target HBcAg yang
murni. Variasi konsentrasi amonium sulfat yang digunakan untuk optimasi
pemurnian protein yaitu pada konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, dan 80%. Semakin
tinggi konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan, protein yang terendapkan
semakin meningkat (Wingfield, 2016).
Hasil sentrifuge antara pelet dan supernatan dipisahkan dan masing-
masing pelet dilarutkan dalam buffer tris-HCl pH 8. Kandungan protein yang masih
terdapat dalam fraksi supernatan juga dipisahkan dari kandungan amonium sulfat.
Dalam hal ini, fraksi supernatan pada konsentrasi amonium sulfat 20%, 40%, 60%,
dan 80% difilter dengan menggunakan Amicon® ultra centrifugal. Filter ini
digunakan untuk menghilangkan keberadaan garam amonium sulfat dalam larutan
yang mengandung biomolekul dalam hal ini protein melalui ultrafiltrasi. Sampel
dimasukkan ke dalam filter dan disentrifugasi sehingga protein akan tertahan dalam
membran. Buffer tris-HCl pH 8 ditambahkan ke dalam protein untuk menggantikan
keberadaan amonium sulfat dalam sampel. Keberadaan amonium sulfat dalam
sampel dapat mengganggu reaksi BCA saat pengukuran konsentrasi protein total
dalam sampel. Selain itu, pada karakterisasi protein dengan SDS-PAGE ketika
adanya amonium sulfat yang tinggi, gel SDS-PAGE dapat mengalami anomali
karena kandungan garam yang tinggi (Duong-Ly dan Gabelli, 2014).
53
Pada sampel hasil fraksinasi amonium sulfat dilakukan pengukuran
konsentrasi protein total dalam sampel. Pengukuran ini dilakukan sebagai tahap
awal sebelum dilakukannya karakterisasi dengan SDS-PAGE untuk mengetahui
bahwa adanya pemisahan protein dari masing-masing sampel berdasarkan
konsentrasi protein total yang dihasilkan setelah dilakukan tahap pemurnian.
Gambar 18. Fraksinasi amonium sulfat
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada pelet hasil fraksinasi,
semakin tinggi konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan, konsentrasi protein
total dalam fraksi pelet yang diperoleh semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa
protein yang terendapkan semakin banyak dengan peningkatan konsentrasi
amonium sulfat yang digunakan. Konsentrasi protein total yang diperoleh pada
fraksi pelet 20%, 40%, 60%, dan 80% berturut-turut yaitu 1,479 µg/µL; 1,692
µg/µL; 2,533 µg/µL; dan 2,805 µg/µL. Hasil sebaliknya ditunjukkan oleh fraksi
supernatan, semakin tinggi konsentrasi amonium sulfat yang digunakan,
konsentrasi protein total dalam supernatan semakin kecil. Hal ini sesuai, karena
protein lebih banyak terendapkan pada konsentrasi amonium sulfat yang tinggi,
0
1
2
3
4
5
6
Pel
et
Sup
ernat
an
Pel
et
Sup
ernat
an
Pel
et
Sup
ernat
an
Pel
et
Sup
ernat
an
Pel
et
Sup
ernat
an
0% 20% 40% 60% 80%
Ko
nse
ntr
asi
pro
tein
to
tal
(µ
g/µ
L)
Konsentrasi amonium sulfat
54
kDa
180
115
82
64
49
37
26
19
15
6
sehingga protein dalam supernatan akan berkurang dengan meningkatnya
konsentrasi amonium sulfat. Konsentrasi protein total yang diperoleh pada fraksi
supernatan 20%, 40%, 60%, dan 80% berturut-turut yaitu 1,299 µg/µL; 1,029
µg/µL; 0,455 µg/µL; dan 0,370 µg/µL. Pada fraksi 0% dengan tanpa penambahan
amonium sulfat, hasil konsentrasi protein total yang diperoleh hampir sama dengan
lisat t16, yaitu 5,007 µg/µL konsentrasi protein total terdapat dalam supernatan dan
tersisa dalam pelet sebesar 0,051 µg/µL. Dengan membandingkan hasil fraksinasi
amonium sulfat maka dapat ditentukan bagaimana protein berperilaku selama
fraksinasi dan dapat ditemukan bahwa pada konsentrasi amonium sulfat tertentu,
protein lebih suka mengendap, sehingga efektif untuk meningkatkan protein.
Penggunaan metode ini memungkinkan pemurnian protein dalam ekstrak kasar
(Duong-Ly dan Gabelli, 2014).
Pada hasil fraksinasi dengan amonium sulfat juga dilakukan karakterisasi
protein hasil purifikasi dengan SDS-PAGE. Analisis SDS-PAGE bertujuan untuk
mengkonfirmasi efek konsentrasi amonium sulfat dengan berbagai konsentrasi (0-
80%) terhadap tingkat kemurnian protein HBcAg yang dihasilkan.
Gambar 19. SDS-PAGE hasil fraksinasi amonium sulfat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterangan:
1. Pelet 0%
2. Pelet 20%
3. Pelet 40%
4. Pelet 60%
5. Pelet 80%
6. Supernatan 0%
7. Supernatan 20%
8. Supernatan 40%
9. Supernatan 60%
10. Supernatan 80%
11. Ladder
12. HBcAg (+)
55
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 19. pita protein dari
setiap fraksi sejajar dengan kontrol positif HBcAg dan terdeteksi pada bobot
molekul di bawah 15 kDa. Diduga protein tersebut merupakan protein target
HBcAg. Fraksinasi amonium sulfat adalah cara langsung dan juga diperkenalkan
sebagai langkah awal untuk menghilangkan protein lain dalam ekstrak kasar
(Senphan et al., 2015). Pada konsentrasi 0% yaitu tanpa penambahan amonium
sulfat, pada fraksi pelet menunjukkan tidak ada pita protein yang muncul (Gambar
19. no. 1). Hal ini karena hampir tidak adanya protein yang terendapkan, dan
protein diidentifikasi terdapat dalam supernatan dengan konsentrasi amonium sulfat
0%. Pada fraksi supernatan tersebut menunjukkan bahwa kepadatan pita protein
target paling kuat, namun kemurnian protein yang diperoleh sangat rendah (Gambar
19. no. 6). Hal ini karena semua protein dalam sempel berada dalam supernatan
tanpa adanya pemurnian dengan amonium sulfat.
Park et al., (2015) juga melakukan optimasi konsentrasi amonium sulfat
untuk pemurnian protein rekombinan GA733-FcK dan mengkonfirmasi tingkat
total protein terlarut yang diendapkan dan hasil tertinggi diamati pada konsentrasi
amonium sulfat 40-60% dengan hasil pemurnian protein GA733P-FcK
menunjukkan hasil yang lebih optimum setelah pemurnian menggunakan
konsentrasi 50% amonium sulfat.
Pada penelitian ini, konsentrasi amonium sulfat 20% pada fraksi pelet
(Gambar 19. no. 2), menunjukkan kemurnian yang tinggi pada pita protein target
yang diduga HBcAg dibandingkan dengan konsentrasi lain. Namun, pita lemah
protein target HBcAg juga masih ditunjukkan pada fraksi supernatan hasil
fraksinasi amonium sulfat 20% (Gambar 19. no. 7). Hal ini menunjukkan bahwa
56
masih terdapat kandungan protein target dalam supernatan dan belum terendapkan
dengan amonium sulfat. Pada kejenuhan 20% ini hampir tidak ada protein pengotor
lain dalam fraksi pelet, semuanya masuk ke dalam supernatan, sehingga kemurnian
HBcAg optimum pada konsentrasi ini.
Pada fraksi pelet dengan konsentrasi amonium sulfat 40%, 60%, dan 80%
menunjukkan pita protein target HBcAg yang dihasilkan semakin tebal, namun
kemurnian protein masih rendah yang dapat dilihat dari kandungan protein lain
yang juga semakin tinggi pada hasil SDS-PAGE (Gambar 19. no. 3,4,5), sedangkan
pada fraksi supernatan dengan konsentrasi 40%, 60%, dan 80% kemurnian protein
semakin tinggi, namun ketebalan pita protein target HBcAg yang dihasilkan
semakin berkurang dan semakin lemah (Gambar 19. no. 8,9,10). Hal ini karena,
pada proses pengendapan dengan amonium sulfat sebagian besar protein
terendapkan. Konsentrasi amonium sulfat 60% dan 80% diduga lebih baik untuk
pengendapan protein, namun kenyataannya, kemurnian protein HBcAg pada hasil
SDS-PAGE menunjukkan hasil sebaliknya. Hal ini karena kehadiran banyak
protein yang berbeda dengan perbedaan hidrasi yang diperlukan dalam larutan
(Duong-Ly dan Gabelli, 2014).
Variasi konsentrasi amonium sulfat menghasilkan pita protein target
HBcAg yang lebih murni pada konsentrasi amonium sulfat 20%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut, fraksinasi diduga paling optimum
untuk menghasilkan protein target HBcAg yang lebih murni dengan mengeliminasi
protein lain.
57
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Simpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah :
1. Pertumbuhan Escherichia coli tertinggi untuk produksi protein rekombinan
Hepatitis B core Antigen (HBcAg) diperoleh pada media Terrific Broth
dengan nilai Optical Density pada jam ke-8 yaitu 20,857 dan laju
pertumbuhan spesifik 0,788/jam.
2. Protein rekombinan HBcAg dapat dihasilkan oleh E. coli
BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dengan hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan
pita protein pada ukuran bobot molekul sekitar 14 kDa yang selanjutnya dapat
digunakan sebagai komponen vaksin terapeutik.
3. Protein HBcAg hasil fraksinasi amonium sulfat menunjukkan pita protein
yang lebih murni pada fraksi pelet dengan konsentrasi amonium sulfat 20%.
5.1. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran untuk pengembangan
penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut seperti kromatografi pertukaran ion
dan kromatografi filtrasi gel untuk mendapatkan sampel protein murni.
2. Perlu dilakukan uji Western Blot untuk memastikan protein target yang
diperoleh yaitu HBcAg dan uji ELISA untuk menentukan konsentrasi spesifik
dari HBcAg yang diperoleh.
58
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. M., Al-Mahtab, M., Uddin, M. H., & Khan, M. S. (2013). HBsAg,
HBcAg, and combined HBsAg/HBcAg-based therapeutic vaccines in treating
chronic Hepatitis B virus infection. Hepatobiliary and Pancreatic Diseases
International, 12(4), 363-369. doi: 10.1016/S1499-3872(13)60057-0
Anai, M., Hirahashi, T., & Takagi, Y. (1970). A deoxyribonuclease which requires
nucleoside triphosphate from Micrococcus lysodeikticus: Purification and
characterization of the deoxyribonuclease activity. Journal of Biological
Chemistry, 245(4), 767-774.
Arief, S. (2009). Buku ajar gastroenterologi-hepatologi: Hepatitis virus (Edisi ke-
3). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Backlund, E. (2011). Impact of glucose uptake rate on recombinant protein
production in Escherichia coli [Master’s thesis]. School of Biotechnology,
Royal Institute of Technology (KTH), Stockholm.
Baltz, R. H., Davies, J. E., & Demain, A. L. (2010). Manual of industrial
microbiology and biotechnology. Washington: ASM Press.
Binder, D., Probst, C., Grunberger, A., Hilgers, F., Loeschcke, A., Jaeger K. E., ...
Drepper, T. (2016). Comparative single-cell analysis of different E. coli
expression systems during microfluidic cultivation. PloS ONE, 11(8), 1-19,
doi: 10.137/journal.pone.0160711
Blumberg, B. (2017). What is Hepatitis B?. Retrieved from: https://www.hepb.org/
what-is-hepatitis-b/what-is-hepb/
Briand, L., Marcion, G., Kriznik, A., Heydel, J. M., Artur, Y., Garrido, C., ...
Neiersa, F. (2016). A self-inducible heterologous protein expression system
in Escherichia coli. Scientific Reports, 6(33037), 1-11. doi:
10.1038/srep33037
Bruce, M. (2010). Contribution of nucleic acids on the structure of recombinant
hepadenavirus core antigens. Virginia: VCU University.
Cahyono, S. B. (2010). Hepatitis B cegah kanker hati!. Yogyakarta: Kanisius.
Campbell, N. A., & Reece, J. B. (2008). Biology (8th ed.). San Franscisco: Pearson
Education.
Case, C., Funke, B., & Tortora, G. (2012). Microbiology: An introduction (11th ed.).
London: Pearson.
Centers for Disease Control and Prevention. (2015, May 31). Viral hepatitis.
Retrieved from: https://www.cdc.gov/Hepatitis/hbv/index.htm
Chambers, S. P., & Swalley, S. E. (2009). Designing experiments for high-
throughput protein expression. Method in Molecular Biology, 498, 19-29. doi:
10.1007/978-1-59745-196-3_2
59
Chen, Z., Li, Y., Fu, H., Ren, Y., Zou, L., Shen, S., ... Huang, C. (2017). Hepatitis
B virus core antigen stimulates IL-6 expression via p38, ERK and NF-κB
pathways in hepatocytes. Cellular Physiology and Biochemistry, 41(1), 91-
100. doi: 10.1159/000455954
Chhetri, G., Kalita, P., & Tripathi, T. (2015). An efficient protocol to enhance
recombinant protein expression using ethanol in Escherichia coli. MethodsX,
2, 385-391. doi: 10.1016/j.mex.2015.09.005
Collins, T., Azevedo, S. J., da Costa, A., Branca, F., Machado, M., & Casal, M.
(2013). Batch production of a silk-elastin-like protein in E. coli BL21(DE3):
Key parameters for optimisation. Microbial Cell Factories, 12(21), 1-16.
doi:10.1186/1475-2859-12-21
Cooper, G. M., & Hausman, R. E. (2007). The cell: A molecular approach (4th ed.).
Sunderland: Sinauer Associates Inc.
Dandri, M., Lutgehetmann, M., & Petersen, J. (2013). Experimental models and
therapeutic approaches for HBV. Seminars in immunopathology, 35(1), 7-21.
doi: 10.1007/s00281-012-0335-7
Danquah, M. K., & Forde, G. M. (2007). Growth medium selection and its
economic impact on plasmid DNA production. Journal of Bioscience and
Bioengineering, 104(6), 490-497. doi: 10.1263/jbb.104.490
Djauzi, S., & Rambe, D. S. (2013). Imunisasi: Sejarah dan masa depan. Cermin
Dunia Kedokteran-205, 40(6), 468-471.
Duong-Ly, K. C., & Gabelli, S. B. (2014). Salting out of proteins using ammonium
sulfate precipitation. Methods in Enzymology, 541, 85-94. doi:
10.1016/B978-0-12-420119-4.00007-0
Estianti, A. (2007). Hepatitis B dan produksi vaksin pada tanaman. BioTrends, 2
(1), 24-26.
Fan, H. L., Yang, P. S., Chen, H. W., Chen, T. W., ChanD. C., Chu, C. H., ... Hsieh,
C. B. (2012). Predictors of the outcomes of acute-on-chronic Hepatitis B liver
failure. World Journal of Gastroenterology, 18(36), 5078-5083. doi:
10.3748/wjg.v18.i36.5078
Franco, E., Bagnato, B., Marino, M. G., Meleleo, C., Serino, L., & Zaratti L. (2012).
Hepatitis B: Epidemiology and prevention in developing countries. World
Journal of Hepatology, 4(3), 74-80. doi: 10.4254/wjh.v4.i3.74
Gaffar, S. (2010). Produksi protein rekombinan dalam sistem ekspresi Pichia
pastoris. Bandung: Unpad Press.
Ganem, D., & Prince, A. M. (2004). Hepatitis B virus infection: Natural history and
clinical consequences. New England Journal of Medicine, 350(11), 1118-
1129. doi: 10.1056/NEJMra031087
Gerlich, W. H. (2013). Medical virology of Hepatitis B: How it began and where
we are now. Virology Journal, 10(239), 1-25. doi: 10.1186/1743-422X-10-
239
60
Graumann, K., & Premstaller, A. (2006). Manufacturing of recombinant therapeutic
proteins in microbial systems. Journal Biotechnology, 1, 164–186. doi:
10.1002/biot.200500051
Hahn-Hagerdal, B., Karhumaa, K., Larsson, C. U., Gorwa-Grauslund, M., Gorgens,
J., & van Zyl, W. H. (2005). Role of cultivation media in the development of
yeast strains for large scale industrial use. Microbial Cell Factories, 4(31), 1-
16 doi: 10.1186/1475-2859-4-31
Hardjoeno, U. L. (2007). Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil
laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra.
Hashemikhah, M. S., & Heydari, Z. H. (2016). Simple one-step purification of
Hepatitis B core Antigen in Escherichia coli. Journal of Biomedicine, 1(3),
1-5. doi: 10.17795/jmb-8537
He, F. (2011). BCA (Bicinchoninic Acid) protein assay. Bio-protocol Bio101: e44.
doi: 10.21769/BioProtoc.44
Hepatitis Australia Inc. (2015, July 23). Transmission of Hepatitis B. Retrieved
from: http://www.hepatitisaustralia.com/team/
Ho, C. W., Wen, S. T., Fui, C. C., Tau, C. L., & Beng, T. T. (2009). A preparative
purification process for recombinant Hepatitis B core antigen using online
capture by expanded bed adsorption followed by size exclusion
chromatography. Journal Microbiology and Biotechnology, 19(4), 416-423.
doi: 10.4014/jmb.0804.254
Hoofnagle, J. H., Doo, E., Liang, T. J., Fleischer, R., & Lok, A. S. (2007).
Management of Hepatitis B: summary of a clinical research workshop.
Hepatology, 45(4), 1056-1075. doi: 10.1002/hep.21627
Hogg, S. (2005). Essential microbiology. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.
Huang, T., Long, M., & Huo, B. (2010). Competitive binding to cuprous ions of
protein and BCA in the bicinchoninic acid protein assay. Open Biomedical
Engineering Journal, 4, 271-278. doi: 10.2174/1874120701004010271
Janson, J. C., & Ryden, L. (1989). Protein purification principle, high resolution
methods and applications. New York: VCH.
Jhamb, K., & Sahoo, D. K. (2012). Production of soluble recombinant proteins in
Escherichia coli: Effects of process conditions and chaperone co-expression
on cell growth and production of xylanase. Bioresource Technology, 123,
135-143. doi: 10.1016/j.biortech.2012.07.011
Joseph, B. C., Pichaimuthu, S., Srimeenakshi, S., Murthy, M., Selvakumar, K.,
Ganesan, M., & Manjunath, S. R. (2015). An overview of the parameters for
recombinant protein expression in Escherichia coli. Journal of Cell Science
and Therapy, 6(5), 1-7. doi: 10.4172/2157-7013.1000221
Kelley, K. D., Olive, L. Q., Hadziselimovic, A., & Sanders, C. R. (2010). Look and
see if it is time to induce protein expression in Escherichia coli cultures.
Biochemistry, 49(26), 5405-5407.
61
Kementrian Kesehatan RI. (2014, September 4). Situasi dan analisis hepatitis.
Retrieved from: www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
infodatin-Hepatitis.pdf.
Khalid, R. I. (2012). Pemurnian rekombinan protein apoptin dari dua sel inang
Bacillus subtilis 168 dan Escherichia coli BL21 StarTM [Skripsi S1].
Teknologi Bioproses, Universitas Indonesia.
Kram, K.E., & Finkel, S.E. (2015). Rich medium composition affects Escherichia
coli survival, glycation, and mutation frequency during long-term batch
culture. Applied and Environmental Microbiology, 81(13), 4442-4450. doi:
10.1128/AEM.00722-15
Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2012). Buku ajar patologi robbins (7th
ed.). Jakarta: EGC.
Kutscher, S., Bauer, T., Dembek, C., Sprinzl, M., & Protzer, U. (2012). Design of
therapeutic vaccines: Hepatitis B as an example. Microbial Biotechnology,
5(2), 270-282. doi:10.1111/j.1751-7915.2011.00303.x
Laemmli, U. K. (1970). Cleavage of structural proteins during the assembly of the
head of bacteriophage T4. Nature, 227(5259), 680-685.
doi:10.1038/227680a0
Larentis, A. L., Nicolau, J. F., Esteves, G. S., Vareschini, D. T., de Almeida, F. V.,
dos Reis, M. G., ... Madeiros, A. (2014). Evaluation of pre-induction
temperature, cell growth at induction and IPTG concentration on the
expression of a leptospiral protein in E. coli using shaking flasks and
microbioreactor. BMC Research Notes, 7(671), 1-13. doi: 10.1186/1756-
0500-7-671
Letourneur, O., & Watelet, B. Penemu; Bio Merieux Inc. 2012, September 26.
HBcAg expression and diagnostic and therapeutic uses. European Patent EP
1256804 B1.
Li, Z., Nimtz, M., & Rinas, U. (2014). The metabolic potential of Escherichia coli
BL21 in defined and rich media. Microbial Cell Factories, 13(45), 1-17.
doi: 10.1186/1475-2859-13-45
Liang, T. J. (2009). Hepatitis B: The virus and disease. Hepatology, 49(5), 13-21.
doi: 10.1002/hep.22881
Madigan, M. T., Martinko, J. M., & Brock, T. D. (2006). Brock biology of
microorganisms. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Maier, R. M. (2008). Environmental microbiology: Bacterial growth (2nd ed.).
London: Elsevier.
Malwade, A., Nguyen, A., Sadat-Mousavi, P., & Ingals, B. P. (2017). Predictive
Modeling of a Batch Filter Mating Process. Frontiers in Microbiology,
8(461), 1-11. doi: 10.3389/fmicb.2017.00461
Maurer, M. J., Skerker, J. M., Arkin, A. P., Miller, W., Biksacky, M., & Huether-
Franken, C. M. (2015). Automated bioreactor sampling process trigger
62
sampling for enhancing microbial strain characterization. Application Note,
298, 1-5.
Mustofa, S., & Kurniawaty, E. (2013). Manajemen gangguan saluran cerna:
Panduan bagi dokter umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing.
National Institute of Health. (2013, December 18). Escherichia coli. Retrieved
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMHT0029491/
National Center for Biotechnology Information. (2017). Taxonomy Browser,
Escherichia coli. Retrieved from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/
Browser/wwwtax.cgi?id=562
Nelofer, R., Rahman, N. Z., Basri, M., & Ariff, A. B. (2013). Optimization of fed-
batch fermentation for organic solvent tolerant and thermostable lipase
production from recombinant E. coli . Turkish Journal of Biochemistry, 38(3),
299-307. doi: 10.5505/tjb.2013.81994
Nurainy, N., Mahardika, D., Nadia, G., Muljono, D. H., Turyadi., Tarwadi., ...
Natalia, D. (2012, November 29-30). Pengembangan vaksin Hepatitis B
berbasis protein rekombinan subunit indonesia. Membangun Sinergi Riset
Nasional untuk Kemandirian Teknologi. Prosiding Seminar Insentif Riset
SINas 2012. Bandung, Indonesia.
Obom, K. M., Magno, A., & Cummings, P. J. (2013). Operation of a benchtop
bioreactor. Journal of Visualized Experiments, 79, 1-6. doi: 10.3791/50582
Overton, T. W. (2014). Recombinant protein production in bacterial hosts. Drug
Discovery Today, 19(5), 590-601. doi: 10.1016/j.drudis.2013.11.008
Park, S., Lim C., Kim, D., & Ko, K. (2015). Optimization of Ammonium Sulfate
Concentration for Purification of Colorectal Cancer Vaccine Candidate
Recombinant Protein GA733-FcK Isolated from Plants. Frontiers in Plant
Science, 6(1040), 1-7. doi: 10.3389/fpls.2015.01040
Radji, M. (2009). Vaksin DNA: Vaksin generasi keempat. Majalah Ilmu
Kefarmasian, 6(1), 28-37.
Rehermann, B., & Nascimbeni, M. (2005). Immunology of Hepatitis B virus and
Hepatitis C virus infection. Nature Reviews Immunology, 5(3), 215-229. doi:
10.1038/nri1573
Rini, I. A., Retnoningrum, D. S., Rachman, E. A., & Nurainy, N. (2016, November
2-3). Construction and overexpression optimization of HBcAg protein with
vector Pet-16b in Escherichia coli BL21(DE3) as a therapeutic vaccine
components. On the Road Towards Sustainable Development. The 6th
International Conference on Mathematics and Natural Sciences 2016.
Bandung, Indonesia.
Riyadhi, S., Maheswari, R. R., Sudarwanto, M., Fransiska., & Ali, M. (2010).
Biosintesis antigen permukaan Hepatitis B “HBsAg100” pada Escherichia
coli dalam rangka produksi protein rekombinan sebagai model imunogen
untuk menghasilkan antibodi. Jurnal Kedokteran Yarsi, 18(2), 129-136.
63
Rosalina, I. (2012). Hubungan polimorfisme gen TLR 9 (RS5743836) dan TLR 2
(RS3804099 dan RS3804100) dengan pembentukan anti-HBS pada anak
pasca-vaksinasi Hepatitis B. International Journal of Agriculture System,
2(3), 123-127.
Rosano, G. L., & Ceccarelli, E. A. (2014). Recombinant protein expression in
Escherichia coli: advances and challenges. Frontier in Microbiology, 5(172),
1-17. doi: 10.3389/fmicb.2014.00172
Rouse, B. T., & Sehrawat, S. (2010). Immunity and immunopathology to viruses:
what decides the outcome?. Nature Reviews Immunology, 10(7), 514-526.
doi: 10.1038/nri2802
Roy, S., & Kumar, V. (2012). A Practical approach on SDS-PAGE for separation
of protein. International Journal of Science and Research, 3(8), 955-960.
Sa’adah, M. (2016). Konstruksi dan optimasi overekspresi gen pengkode HBcAg
pada Escherichia coli sebagai komponen vaksin terapi [Tesis Magister].
Farmasi, Institut Teknologi Bandung.
Sambrook, J., & Russell, D. W. (2006). Molecular cloning: A laboratory manual
(1st ed). New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Sarramegna, V., Demange, P., Milon, A., & Talmot, F. (2002). Optimizing
functional versus total expression of the human mu-opioid receptor in Pichia
pastoris. Protein Expression Purification, 24(2), 212-220. doi:
10.1006/prep.2001.1564
Senphan, T., Benjakul, S., & Kishimura, H. (2015). Purification and
characterization of trypsin from hepatopancreas of pacific white shrimp.
Journal of Food Biochemistry, 39(4), 388-397. doi: 10.1111/jfbc.12147
Siegel, A. (2016). Setting up a cell optimized for expression of a specific protein.
Retrieved from: https://www.quora.com/How-does-IPTG-induced-gene-
expression-work-at-a-molecular-level/answer/Alex-Siegel
Sivashanmugam, A., Murray, V., Cui, C. Zhang, Y., Wang, J., & Li, Q. (2009).
Practical protocols for production of very high yield of recombinant proteins
using Escherichia coli. Protein Science, 18, 936-948, doi: 10.1002/pro.12
Smith, P. K., Krohn, R. I., Hermanson, G. T., Mallia, A. K., Gartner, F. H.,
Provenzano, M. D., ... Klenk, D. C. (1985). Measurement of protein using
bicinchoninic acid. Analytical Biochemistry, 150(1), 76-85. doi:
10.1016/0003-2697(85)90442-7
Steinmetz, E., Godiska, R., & Mead, D. A. Penemu; Lucigen Corporation. 2014,
January 7. Host-vector system for cloning and expressing genes. US Patent
US 8623652 B2.
Studier, F. W. (2014). Stable expression clones and auto-induction for protein
production in E. coli. Methods in Molecular Biology, 1091, 17-32. doi:
10.1007/978-1-62703-691-7_2
64
Tan, Q., Ma, S., Hu, J., Chen, X., Yu, Y., Tang, Z., & Zang, G. (2017).
Adenovirus vector harboring the HBcAg and tripeptidyl peptidase II
genes induces potent cellular immune responses in vivo. Cellular
Physiology and Biochemistry, 41(2), 423-438. doi: 10.1159/000456579
Tan, W. S., Dyson, M. R., & Murray, K. (2003). Hepatitis B virus core antigen:
enhancement of its production in Escherichia coli, and interaction of the core
particles with the viral surface antigen. Biological Chemistry, 384, 363-371.
Thomson, A. W., & Knolle, P. A. (2010). Antigen-presenting cell function in the
tolerogenic liver environment. Nature Reviews Immunology, 11, 753-766.
doi: 10.1038/nri2858
Tzeng, H., Tsai, H., Chyuan, I., Liao, H., Chen, C., Chen, P., & Hsu, P. (2014).
Tumor necrosis factor-alpha induced by Hepatitis B virus core mediating the
immune response for Hepatitis B viral clearance in mice model. PLoS one,
9(7), 1-8. doi: 10.1371/journal.pone.0103008
Watts, N. R., Vethanayagam, J. G., Ferns, R. B., Tedder, R. S., Harris, A., & Stahl,
S. J. (2010). Molecular basis for the high degree of antigenic cross-reactivity
between Hepatitis B virus capsids (HBcAg) and dimeric capsid-related
protein (HBeAg): insights into the enigmatic nature of the e-antigen. Journal
Molecular Biology. 398(4), 530-541. doi:10.1016/j.jmb.2010.03.026
Windelspecht, M. (2007). Genetics 101. Westport: ABC-CLIO.
Wingfield, P. T. (2016). Protein precipitation using ammonium sulfate. Current
Protocols in Protein Science, 3, 1-10. doi: 10.1002/0471140864
Womack, C. (2011). By passing common obstacles in protein expression. Austin:
New England BioLabs®inc.
World Health Organization. (2015, July). Hepatitis B. Retrieved from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204_Jul2014/en/
Xu, Z., Shen, W., Chen, H., & Cen, P. (2005). Effect of medium composition on
the production of plasmid DNA vector potentially for human gene therapy.
Journal of Zhejiang University Science B, 6(5), 396-400. doi:
10.1631/jzus.2005.B0396
Yuge, S., Akiyama, M., & Komatsu. T. (2014). An Escherichia coli trap in human
serum albumin microtubes. Chemical Communications, 50(68), 9613-9784.
doi: 10.1039/c4cc03632h
Yuwono, T. (2005). Biologi molekular. Jakarta: Erlangga.
65
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi media kultivasi E. coli BL21(DE3)
a. LB
Bahan Konsentrasi
(g/L)
Tryptone
Yeast extract
NaCl
10
5
5
b. TB
Bahan Konsentrasi
(g/L)
Tryptone
Yeast extract
Glycerol
KH2PO4
K2HPO4
12
24
5
2,31
12,54
c. DNB
Bahan Konsentrasi
Glucose
(NH4)2HPO4
KH2PO4
Citric acid
MgSO4
Fe(III) citrate
Na2MoO4.2H2O
CoCl2.6H2O
MnCl2.4H2O
CuCl2.2H2O
H3BO3
Zn(CH3COO)2.2H2O
Titriplex III
10,91 g/L
4 g/L
13,3 g/L
1,55 g/L
0,59 g/L
100,8 mg/L
2,1 mg/L
2,5 mg/L
15 mg/L
1,5 mg/L
3 mg/L
33,8 mg/L
14,1 mg/L
66
Lampiran 2. Komposisi buffer lisis (untuk volume kultur 1 L)
Bahan Volume
(mL)
CelLytic B
Buffer Stok B
Lysozyme
Benzonase
Protease inhibitor
72
8
0,8
0,2
0,06
Lampiran 3. Komposisi gel SDS-PAGE
a. Preparasi SDS-PAGE
Komposisi
Stacking Gel
Resolving Gel
Staining
Destaining
Stacking Buffer (Tris-HCl 0,5 M pH 6,8)
Acrylamide/bis-Acrylamide 30%
APS (Ammonium per sulfate)
TEMED (N,N,’N,’N, Tetra ethyl methylene diamyde)
Resolving Buffer (Tris-HCl 1,5 M pH 8,8)
Acrylamide/bis-Acrylamide 30%
APS (Ammonium per sulfate)
TEMED (N,N,’N,’N, Tetra ethyl methylene diamyde)
Colloidal Coomassie Blue
WFI
b. Pembuatan gel SDS-PAGE
Stacking Gel Resolving Gel
ddH2O
Bis-Acrylamide 30%
Stacking Buffer
SDS
APS 10%
TEMED
975 µL
268 µL
415 µL
50 µL
20 µL
3,5 µL
ddH2O
Bis-Acrylamide 30%
Resolving Buffer
SDS
APS 10%
TEMED
1700 µL
2000 µL
1250 µL
50 µL
70 µL
10 µL
67
Lampiran 4. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada optimasi media
a. Pre-culture E. coli BL21(DE3) pada media LB
Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*)
Luria Bertani (LB) t0 0,014 1,12 x 107
t16 5,500 4,40 x 109
b. Kultur E. coli BL21(DE3) pada media LB
Waktu (Jam) Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*) pH
0 0,059 4,72 x 107 6,76
1 0,216 1,73 x 108 6,72
2 0,944 7,55 x 108 6,56
3 2,148 1,72 x 109 6,97
4 4,369 3,50 x 109 7,60
5 5,520 4,42 x 109 7,98
6 6,104 4,88 x 109 8,10
7 6,176 4,94 x 109 8,17
8 6,412 5,13 x 109 8,22
22,5 5,374 4,30 x 109 8,38
c. Pre-culture E. coli BL21(DE3) pada media TB
Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*)
Terrific Broth (TB) t0 0,004 3,20 x 106
t16 20,121 1,61 x 1010
d. Kultur E. coli BL21(DE3) pada media TB
Waktu (Jam) Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*) pH
0 0,008 6,40 x 106 7,16
1 0,018 1,44 x 107 7,16
2 0,078 6,24 x 107 7,16
3 0,406 3,25 x 108 7,13
4 1,466 1,17 x 109 7,07
5 4,509 3,61 x 109 7,06
6 10,477 8,38 x 109 6,91
7 16,350 1,31 x 1010 6,84
8 20,857 1,67 x 1010 7,43
20,5 21,200 1,70 x 1010 8,44
68
e. Pre-culture E. coli BL21(DE3) pada media DNB
Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*)
Defined Non-
Inducing Broth (DNB)
t0 0,005 4,00 x 106
t16 1,720 1,38 x 109
f. Kultur E. coli BL21(DE3) pada media DNB
*) Perhitungan konsentrasi sel kultur E. coli dari nilai Optical Density (OD600) dihitung
menggunakan Agilent Genomics-Bio Calculators.
OD600 1,0 = 8 x 108 sel/mL (htttp://www.genomics.agilent.com/biocalculators/)
g. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media LB
Waktu (Jam) ln OD600 Laju pertumbuhan spesifik
(/Jam)
2 -0,0576 μ =
ln Xt − ln Xo
tt − to
=1,8089 − (−0,0576)
6 − 2
= 0,4666 /jam
3 0,7645
4 1,4745
5 1,7083
6 1,8089
Gambar 20a. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media LB
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
0 2 4 6 8 10
ln O
D6
00
Waktu (Jam)
LB
Waktu (Jam) Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*) pH
0 0,039 3,12 x 107 6,88
1 0,117 9,36 x 107 6,88
2 0,279 2,32 x 108 6,86
3 0,581 4,65 x 108 6,84
4 1,215 9,72 x 108 6,81
5 2,440 1,95 x 109 6,76
6 5,018 4,01 x 109 6,66
7 9,556 7,65 x 109 6,38
8 15,878 1,27 x 1010 6,31
22,5 16,851 1,35 x 1010 6,27
69
h. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media TB
Waktu (Jam) ln OD600 Laju pertumbuhan spesifik
(/Jam)
3 -0,9014 μ =
ln Xt − ln Xo
tt − to
=3,0377 − (−0,9014)
8 − 3
= 0,7878 /Jam
4 0,3825
5 1,5061
6 2,3492
7 2,7942
8 3,0377
Gambar 20b. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media TB
i. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media DNB
Waktu (Jam) ln OD600
Laju pertumbuhan spesifik
(/Jam)
4 0,1947 μ =
ln Xt − ln Xo
tt − to
=2,7649 − 0,1947
8 − 4
= 0,6426 /Jam
5 0,8920
6 1,6130
7 2,2572
8 2,7649
Gambar 20c. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media DNB
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
0 2 4 6 8 10
ln O
D600
Waktu (Jam)
TB
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0 2 4 6 8 10
ln O
D6
00
Waktu (Jam)
DNB
70
Gambar 21. Morfologi sel E. coli BL21(DE3) (skala 20 µm)
Lampiran 5. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada ekspresi HBcAg
a. Pre-culture E. coli BL21(DE3) untuk ekspresi protein HBcAg
Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel
(sel/mL)*)
Terrific Broth (TB) t0 0,011 8,8 x 106
t16 18,814 1,51 x 1010
b. Kultur E. coli BL21(DE3) untuk ekspresi protein HBcAg
*) Perhitungan konsentrasi sel kultur E. coli dari nilai Optical Density (OD600) dihitung
menggunakan Agilent Genomics-Bio Calculators.
OD600 1,0 = 8 x 108 sel/mL (htttp://www.genomics.agilent.com/biocalculators/)
Waktu (Jam) Waktu
Induksi Optical Density
Konsentrasi sel
(sel/mL)*) pH
0 0,027 2,16 x 107 7,18
1 0,039 3,12 x 107 7,17
2 0,176 1,41 x 107 7,16
3 0,584 4,67 x 107 7,13
4 t0 (Induksi IPTG) 0,801 6,41 x 108 7,14
5 0,819 6,55 x 108 7,16
6 0,871 6,97 x 108 7,16
7 0,973 7,78 x 108 7,17
8 1,061 8,49 x 108 7,18
20 t16 (Harvest cells) 3,636 2,69 x 109 7,24
a. LB b. TB c. DNB
71
Lampiran 6. Konsentrasi protein total hasil BCA
Sampel Konsentrasi
(µg/mL)*)
Faktor
Pengenceran
Konsentrasi
(µg/mL)
Rata-rata
(µg/mL)
Rata-rata
(µg/µL)
Lisat t0 >2098,750 1 >2098,750
3936,017 3,936 Lisat t0 2x 1776,133 2 3552,266
Lisat t0 5x 863,954 5 4319,768
Lisat t16 >2098,750 1 >2098,750
578,985 5,279 Lisat t16 2x >2098,750 2 >2098,750
Lisat t16 5x 1055,797 5 5278,985
Pelet Amsu 0% 50,924 1 50,924
50,924 0,051 Pelet Amsu 0% 2x 6,040 2 12,081
Pelet Amsu 0% 5x <0,000 5 <0,000
Pelet Amsu 0% 10x <0,000 10 <0,000
Pelet Amsu 20% 823,489 1 823,489
1479,150 1,479 Pelet Amsu 20% 2x 654,214 2 1308,428
Pelet Amsu 20% 5x 352,068 5 1760,342
Pelet Amsu 20% 10x 202,434 10 2024,340
Pelet Amsu 40% 829,770 1 829,770
1692,189 1,692 Pelet Amsu 40% 2x 711,739 2 1423,477
Pelet Amsu 40% 5x 436,049 5 2180,243
Pelet Amsu 40% 10x 233,527 10 2335,267
Pelet Amsu 60% 1119,759 1 1119,759
2532,994 2,533 Pelet Amsu 60% 2x 961,137 2 1922,275
Pelet Amsu 60% 5x 624,555 5 3122,777
Pelet Amsu 60% 10x 396,716 10 3967,163
Pelet Amsu 80% 857,474 1 857,474
2805,192 2,805 Pelet Amsu 80% 2x 933,837 2 1867,674
Pelet Amsu 80% 5x 715,784 5 3578,922
Pelet Amsu 80% 10x 491,670 10 4916,697
Supernatan Amsu 0% >2098,750 1 >2098,750
5006,859 5,007 Supernatan Amsu 0% 2x 2010,885 2 4021,770
Supernatan Amsu 0% 5x 996,848 5 4984,242
Supernatan Amsu 0% 10x 601,457 10 6014,567
Supernatan Amsu 20% 706,150 1 706,150
1299,464 1,299 Supernatan Amsu 20% 2x 528,710 2 1057,421
Supernatan Amsu 20% 5x 304,725 5 1523,625
Supernatan Amsu 20% 10x 191,066 10 1910,660
Supernatan Amsu 40% 453,558 1 453,558
1029,034 1,029 Supernatan Amsu 40% 2x 393,755 2 787,510
Supernatan Amsu 40% 5x 267,610 5 1338,050
Supernatan Amsu 40% 10x 153,702 10 1537,017
Supernatan Amsu 60% 166,055 1 166,055
454,819 0,455 Supernatan Amsu 60% 2x 155,901 2 311,802
Supernatan Amsu 60% 5x 105,474 5 527,370
Supernatan Amsu 60% 10x 81,405 10 814,047
Supernatan Amsu 80% 173,880 1 173,880
369,869 0,370 Supernatan Amsu 80% 2x 142,206 2 284,412
Supernatan Amsu 80% 5x 87,141 5 435,707
Supernatan Amsu 80% 10x 58,548 10 585,477 *) Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan kurva standar (Lampiran 7)
72
Lampiran 7. Kurva standar pengukuran konsentrasi protein total
a. Lisat t0 dan fraksi pelet
Curve Name
Curve Formula A B C R2
StdCurve Y=C*X^2+B*X+A 0.0631 0.00107 -7.69E-08 0.988
Curve Name
Curve Formula Parameter Value Std. Error 95% CI min 95% CI
max
StdCurve Y=C*X^2+B*X+A A 0.0631 0.0591 -0.0888 0.215
B 0.00107 0.000161 0.000655 0.00148 C -7.69E-08 7.89E-08 -2.80E-07 1.26E-07
73
b. Lisat t16 dan fraksi supernatan
Curve Name
Curve Formula A B C R2
StdCurve Y=C*X^2+B*X+A 0.063 0.00103 -8.31E-08 0.985
Curve Name
Curve Formula Parameter Value Std. Error 95% CI min 95% CI max
StdCurve Y=C*X^2+B*X+A A 0.063 0.0643 -0.102 0.228
B 0.00103 0.000175 0.000575 0.00148 C -8.31E-08 8.59E-08 -3.04E-07 1.38E-07
74
Lampiran 8. Jumlah protein total hasil SDS-PAGE
*) Konsentrasi protein hasil pengenceran 10x
Sampel
Konsentrasi
(µg/µL)*)
Reaksi
Jumlah
Protein Total
(µg)
Volume
sampel
(µL)
Volume
air
( µL)
Volume buffer
sampel
( µL)
Volume load
per well
( µL)
Lisat t0 0,394 1 2,362 6 1 3 10
Lisat t16 0,528 1 3,167 6 1 3 10
Pelet Amsu 0% 0,005 1 0,031 6 1 3 10
Pelet Amsu 20% 0,148 1 0,887 6 1 3 10
Pelet Amsu 40% 0,169 1 1,015 6 1 3 10
Pelet Amsu 60% 0,253 1 1,520 6 1 3 10
Pelet Amsu 80% 0,281 1 1,683 6 1 3 10
Supernatan Amsu 0% 0,501 1 3,004 6 1 3 10
Supernatan Amsu 20% 0,130 1 0,780 6 1 3 10
Supernatan Amsu 40% 0,103 1 0,617 6 1 3 10
Supernatan Amsu 60% 0,045 1 0,273 6 1 3 10
Supernatan Amsu 80% 0,037 1 0,222 6 1 3 10
BIODATA MAHASISWA
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Sumi Sumiati
Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 06 Juli 1994
NIM : 1113096000006
Anak ke : 1 dari 2 bersaudara
Alamat Rumah : Kp. Cibuluh RT 03 RW 02 Dusun II Desa Karangmulya
Kec. Bojongmangu Kab. Bekasi 17356
Telp/HP. : 081586260706
Email : [email protected]
Hobby/ Keahlian (softskill) : Menulis
PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : SDN Karangmulya 02 (2001-2007)
Sekolah Menengah Pertama : SMPN 1 Bojongmangu (2007-2010)
Sekolah Menengah Atas : SMAN 1 Bojongmangu (2010-2013)
Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013-2017)
PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Sistem Managemen Mutu Berbasis ISO
9001-2008
2. Sistem Managemen Laboratorium
Berbasis ISO 17025-2005
3. Kelas pengetahuan Perbedaan Quality
Control dan Quality Assurance
4. Pengembangan Profesi Manajemen
Pelayanan Kesehatan
5. Profesi Peminatan Kesehatan
Lingkungan
6. Keamanan dan Keselamatan Kerja di
Laboratorium Kimia
7. Kalibrasi dan Perawatan pH Meter dan
Analytical Balance
8. Training and Workshop of Perpect
Weighing Technology
9. Pangan II
:
:
:
:
:
:
:
:
:
No. Sertifikat 067/ISP-S/V/2017
No. Sertifikat 068/ISP-S/V/2017
No. Sertifikat LM/Sert-KP/036/IX/16
No. Sertifikat 031/IAKMIPUSAT/SKP-11/2013
No. Sertifikat 032/IAKMIPUSAT/SKP-11/2013
No. Sertifikat -
No. Sertifikat -
No. Sertifikat -
No. Sertifikat -
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Laboratory Management
of Chemistry (LMC) Jabatan Research and Development (RnD)
Tahun 2014 s.d 2015
PENGALAMAN KERJA
1. Praktek Kerja Lapangan
(PKL) : Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN / 2016
Judul PKL “Sintesis Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl) dengan
Teknik Radiasi Sinar Gamma (𝛾)”
SEMINAR/LOKAKARYA
1. Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian
2. Seminar Nasional Sciencetech Days
2013
November/2013 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)
Desember/2013 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)
3. Seminar Penelitian dan Edukasi
Kesehatan
4. Seminar Nasional Biokimia 2014
Desember/2013 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)
Mei/2014 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)
5. Seminar Profesi Promosi Kesehatan
“Waspada Zika: Temukan Strategi
Pencegahannya”
Oktober/2016 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)
Top Related