PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL ......ii PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL BUPIVAKAIN...
Transcript of PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL ......ii PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL BUPIVAKAIN...
i
HASIL PENELITIAN
PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL
BUPIVAKAIN 0,125% DAN PARECOXIB 40 MG INTRAVENA
TERHADAP RATIO KADAR ANTARA INTERLEUKIN-6
DENGAN INTERLEUKIN-10 DAN INTENSITAS NYERI PADA
PEMBEDAHAN LAPAROTOMI GINEKOLOGI
THE EFFECT OF MULTIMODAL ANALGESIA EPIDURAL
BUPIVACAINE 0,125% AND INTRAVENOUS PARECOXIB 40
MG TO THE RATIO BETWEEN INTERLEUKIN-6 TO
INTERLEUKIN-10 AND PAIN INTENSITY IN
GYNECOLOGICAL LAPAROTOMY
ZULFIKAR TAHIR
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
ii
PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL BUPIVAKAIN 0,125% DAN PARECOXIB 40 MG INTRAVENA TERHADAP RATIO KADAR ANTARA INTERLEUKIN-6 DENGAN INTERLEUKIN-10 DAN
INTENSITAS NYERI PADA PEMBEDAHAN LAPAROTOMI GINEKOLOGI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Biomedik Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Disusun dan diajukan oleh
ZULFIKAR TAHIR
Kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
iii
TESIS
PENGARUH ANALGESIA MULTIMODAL EPIDURAL BUPIVAKAIN 0,125% DAN PARECOXIB 40 MG INTRAVENA TERHADAP RATIO KADAR ANTARA INTERLEUKIN-6 DENGAN INTERLEUKIN-10 DAN
INTENSITAS NYERI PADA PEMBEDAHAN LAPAROTOMI GINEKOLOGI
Disusun dan diajukan oleh :
ZULFIKAR TAHIR
Nomor Pokok : P1507211055
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 4 Desember 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat, Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KMN-KAP Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV
Ketua Anggota Ketua Program Studi Biomedik Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Prof. Dr. Ir. Mursalim
iv
v
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Zulfikar Tahir
No.Stambuk : P1507211055
Program Studi : Biomedik
Konsentrasi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
FK UNHAS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 24 September 2013
Yang menyatakan
Zulfikar Tahir
vi
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala atas rahmat, petunjuk dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.
Penulisan karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka
menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu Program Studi Biomedik
Program Pascasarjana/PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Universitas
Hasanuddin Makassar.
Karya tulis ilmiah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan
dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
memberi dorongan motivasi dan memberikan bantuan moril dan materi.
Ungkapan terima kasih dan rasa hormat penulis haturkan kepada :
1. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KAP-KMN sebagai pemimbing kami
sekaligus sebagai Kepala Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan
Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar yang senantiasa memberi kesempatan yang luas dalam
menyelesaikan karya ini.
2. Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV sebagai Kepala Program Studi Ilmu
Anestesi dan Terapi Intensif FK UNHAS yang senantiasa memberi
masukkan dan bimbingan dalam menyelesaikan karya ini.
vii
3. dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An-KMN-KNA sebagai penasehat akademik
kami yang memberikan bimbingan dalam menyelesaikan karya ini.
4. Prof. dr. A. Husni Tanra, Ph.D, Sp.An-KIC-KMN sebagai pembimbing kami
yang senantiasa memberi masukkan dan bimbingan dalam
menyelesaikan karya ini.
5. Dr.dr. Burhanuddin Bahar, M.Si. sebagai pembimbing metodologi yang
tidak pernah jemu memberi arahan pada karya tulis ini.
6. Kepala Bagian dan Ketua Program Studi Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar atas kerjasamanya selama
menjalankan penelitian ini.
7. Seluruh konsulen di Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan
Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran UNHAS yang mendukung dan
membimbing penulis selama studi.
8. Rektor Universitas Hasanuddin, Direktur Pasca Sarjana dan Dekan
Fakultas Kedokteran yang telah memberi kesempatan pada kami untuk
mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu Program Studi Biomedik
Program Pascasarjana/PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Universitas Hasanuddin.
9. Direktur RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan seluruh direktur
rumah sakit jejaring yang telah memberi segala fasilitas dalam
melakukan praktek anestesi, perawatan intensif dan manajemen nyeri.
viii
10. Semua sejawat residen PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK
UNHAS yang selama ini memberi dukungan dan bantuan yang ikhlas
terhadap penelitian ini.
11. Kepada Bapak dan Ibu penulis, Ir. H. Tahir Ali dan Hj. Betty Zubaidah
serta kakak-kakak dan adik, penulis haturkan segala hormat dan terima
kasih atas segala kasih sayang, dukungan, dan doa-doanya yang tulus
dan tanpa henti.
12. Istriku tercinta dr.Rafikah Rauf atas kesabaran, pengertian dan
dukungan selama penulis mengikuti pendidikan.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ini bermanfaat dan menjadi
motivasi untuk rekan sejawat meneliti dan menyempurnakan tema ini lebih
lanjut. Penulis juga menyadari karya ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mohon maaf bila terdapat banyak kekeliruan dan segala yang tidak
berkenan pada karya ini, dan mengharapkan saran serta kritikan yang
membangun untuk kesempurnaan karya tulis ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua
pihak yang telah mendidik dan membantu penulis selama pendidikan hingga
karya tulis ini selesai.
Makassar, Desember 2013
Zulfikar Tahir
ix
ABSTRAK
ZULFIKAR TAHIR. Pengaruh Analgesia Multimodal Epidural Bupivakain 0,125% dan Parecoxib 40 mg Intravena Terhadap Rasio Kadar Antara Interleuki-6 dan Interleukin-10 dan Intensitas Nyeri pada Pembedahan Laparotomi Ginekologi (dibimbing oleh Muhammad Ramli Ahmad dan Syafri Kamsul Arif). Penelitian ini bertujuan mengetahui cara pencegahan dan penanganan nyeri akut yang efektif sehingga dapat meningkatkan angka kesembuhan, menghindari komplikasi klinis, menghemat sumber sarana kesehatan, dan meningkatkan kualitas hidup. Sampel penelitian adalah pasein wanita yang akan menjalani pembedahan elektif laparotomi ginekologi yang dibagi secara acak ke dalam kelompok yang mendapatkan parecoxib 40 mg dan epidural analgesia atau kelompok plasebo dan epidural analgesia. Sampel darah diambil pada jam ke-0, ke-2, dan jam ke-24 untuk menilai kadar IL-6, IL-10, dan rasio kadar antara IL-6 dan IL-10. Intensitas nyeri diniliai dengan NRS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kedua kelompok perihal sitokin IL-6 dan IL-10 serta rasio kadar antara IL-6 dan IL-10. Intensitas nyeri pada kedua kelompok juga tidak ada perbedaan. Kata kunci: analgesia epidural, respon inflamasi, nyeri, parecoxib.
x
ABSTRACT
ZULFIKAR TAHIR. Effect of Multimodal Analgesia Epidural Bupivacaine 0,125% and Intravenous Parecoxib 40 mg on Ratio Between Interleukin-6 and Interleukin-10 and Pain Intensity in Gynecological Laparotomy (supervised by Muhammad Ramli Ahmad and Syafri Kamsul Arif). The research aimed to investigate that the effective prevention and handling of the acute pain could increase the recovery rate, avoid the clinical complication, conserve health facility resource, adn improve life quality. The female patients who woud carry out the elective gynecological laprotomy were devided into the group who obtained parecoxib 40 mg and epidural analgesia or the placebo and epidural analgesia group. The blood sample was taken group at zero, second, and 24th hours to asses IL-6, IL-10 contents and content ratio between IL-6 and IL-10. The pain intensity was assessed by NRS. The research results indicates that there is no significant difference between both groups in terms of cytokine of IL-6 and IL-10, and content ratio between IL-6 and IL-10. The pain intensity on both groups is not different, either. Key-word: Epidural analgesia, inflamation response, pain, parecoxib.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ………………………………. iii
PRAKATA …………………………………………………………… iv
ABSTRAK …………………………………………………………. vii
ABSTRACT ……………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….. ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. xiiI
DAFTAR GRAFIK ………………………………………………… xiv
DAFTAR TABEL ………………………………………………….. xv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….. xx
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ……………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………….................... 4
C. Tujuan Penelitian …………………………………. 5
D. Hipotesa ……………………………………………. 5
xii
E. Manfaat Penelitian ……………………………....... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri Pascabedah ………………………………….. 7
B. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah ………….….. 8
C. Peranan Sitokin dalam Proses Inflamasi Nyeri …. 15
D. Peran IL-6 dalam Jalur Nyeri dan Inflamasi ……… 16
E. Peran IL-10 dalam Jalur Nyeri dan Inflamasi ……. 18
F. Peran COX dalam Jalur Nyeri ……………………... 21
G. Analgesia Multimodal ……………………………….. 27
H. Parecoxib …………………………………………….. 30
I. Anestetik Lokal Bupivakain ………………………… 31
BAB III KERANGKA TEORI ……………………………………… 35
BAB IV KERANGKA KONSEP …………………………………… 36
BAB V METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian …………………………………….. 37
B. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………… 37
C. Populasi Penelitian ……………………………………. 37
D. Sampel dan Cara Pengambilan Penelitian ………… 37
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi …………………………. 38
F. Perkiraan Besar Sampel …………………………….. 39
G. Ijin Penelitian dan Rekomendasi Persetujuan Etik .. 39
xiii
H. Metode Kerja …………………………………………... 40
I. Alur Penelitian …………………………………………. 42
J. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ………………… 43
K. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ………… 45
L. Pengelolaan dan Analisis Data ……………………. 50
M. Jadwal Penelitian ……………………………………. 50
N. Rencana Anggaran ………………………………….. 52
BAB VI HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel Penelitian ……………………. 53
B. Kadar IL-6 …………………………………………….. 54
C. Kadar IL-10 …………………………………………… 57
D. Ratio Kadar antara IL-6 dengan IL-10 ……………. 61
E. Intensitas Nyeri ……………………………………… 62
F. Kebutuhan Analgetik ……………………………….. 64
BAB VII PEMBAHASAN
A. Kadar IL-6 ……………………………………………. 67
B. Kadar IL-10 …………………………………………... 70
C. Ratio Kadar antara IL-6 dengan IL-10 ……………. 73
D. Intensitas Nyeri ……………………………………… 75
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………. 78
xiv
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………. 84
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Jalur nyeri ……………………………………………….. 14
Gambar 2 Hipotesis regulasi jalur IL-6 …………………………… 18
Gambar 3 Patofisiologi produksi sitokin IL-10 ............................. 20
Gambar 4 Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan …… 22
Gambar 5 Tempat kerja NSAID ……………………………………. 23
Gambar 6 Skema kerja prostanoid secara perifer dan sentral … 26
Gambar 7 Trauma pembedahan menginduksi jalur nosisepsi … 32
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 Perbandingan kadar IL-6 pada kedua kelompok ……. 57
Grafik 2 Perbandingan kadar IL-10 pada kedua kelompok ….. 60
Grafik 3 Perbandingan ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 pada
kedua kelompok …………………………………………. 62
Grafik 4 Perbandingan nilai median NRSi dan NRSb pada kedua
kelompok …………………………………………………. 64
Grafik 5 Perbandingan sebaran rescue analgetik pada kedua
kelompok …………………………………………………. 65
Grafik 6 Perbandingan kebutuhan analgetik pada kedua
kelompok ………………………………………………… 66
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi serabut saraf afferan primer ...................... 9
Tabel 2 Rencana anggaran penelitian …………………………. 52
Tabel 3 Perbandingan sebaran umur, IMT, durasi operasi dan
anestesi lokal pada kedua kelompok …………………. 55
Tabel 4 Perbandingan sebaran diagnosa dan tindakan pada
kedua kelompok ………………………………………….. 55
Tabel 5 Perbandingan kadar IL-6 pada kedua kelompok …….. 56
Tabel 6 Perbandingan kadar IL-6 antar waktu pengukuran pada
masing-masing kelompok ……………………………….. 58
Tabel 7 Perbandingan kadar IL-10 pada kedua kelompok …… 59
Tabel 8 Perbandingan kadar IL-10 antar waktu pengukuran pada
masing-masing kelompok ………………………………. 61
Tabel 9 Perbandingan ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 pada
kedua kelompok …………………………………………. 61
Tabel 10 Perbandingan sebaran NRSi dan NRSb pada kedua
xviii
kelompok …………………………………………………. 63
Tabel 11 Perbandingan sebaran rescue analgetik pada kedua
kelompok …………………………………………………. 64
Tabel 12 Perbandingan kebutuhan analgetik pada kedua
kelompok …………………………………………………. 66
xix
DAFTAR SINGKATAN
AA Asam arachidonat
ASA PS American Society of Anesthesiologist Physical Status
ATP Adenosin Triphosphat
BBB Blood-Brain Barrier
cAMP Cyclic Adenosin Monophosphat
CEGA Combine Epidural General Anesthesia
CO Carbon monoksida
COX Cyclooxygenase
CPB Cardio Pulmonar Bypass
EAA Essential Amino Acid
ENK Enkaphalin
GABA Gamma Amino Butyric Acid
GETA General Endotrakeal Anesthesia
H+ Hidrogen
IASP The International Association for Study of Pain
IFN Interferon
IL Interleukin
IOR Intermittent Opioid Regiment
IV Intravena
IL-6Rα Interleukin-6 receptor α
IL-10R Interleukin-10 receptor
xx
IMT Indeks Massa Tubuh
JAK Janus Kinase
K+ Kalium
LPS Lipopolisakarida
Na+ Natrium
NE Norepinefrin
NF-kB Nuclear factor-kB
NMDA N-metil D-aspartat
NO Nitrit Oxida
NRS Numeric Rating Scale
NRSb Numeric Rating Scale bergerak
NRSi Numeric Rating Scale istirahat
NS Nociceptive-specifiic
OAINS Obat Antiinflamasi non-Steroid
p Probability
PCA Patient Controlled Analgesia
PCEA Patient Controlled Epidural Analgesia
pg Pikogram
PG Prostaglandin
PLA2 Phospholipase A2
PKA Protein Kinase A
SD Standar Deviasi
STAT3 Signal Transducer and Activator Transcript
xxi
SSP Sistem Saraf Pusat
TNF Tumor Necrosis Factor
TYK Tirosin Kinase
VAS Visual Analog Score
WDR Wide-Dynamic Range
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan komisi etik FK. Unhas ………………….. 84
Lampiran 2. Pernyataan persetujuan pasien ……………………… 85
Lampiran 3. Lembar pengamatan ………………………………….. 86
Lampiran 4. Contoh surat …………………………………………… 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Nyeri merupakan komponen penting dari pengalaman pascabedah.
Penanganan nyeri yang tidak memadai dapat menyebabkan perubahan
klinis dan psikologi sehingga meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas sebanding dengan peningkatan biaya dan penurunan kualitas
hidup. Sekitar 80% pasien yang menjalani pembedahan mengalami nyeri
akut pascabedah. Pencegahan dan penanganan nyeri akut yang efektif
dapat meningkatkan angka kesembuhan, menghindari komplikasi klinis,
menghemat sumber sarana kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup
(Apfelbaum dkk., 2003).
Tujuan utama penanganan nyeri pascabedah adalah untuk
mendapatkan kenyamanan pasien, mengurangi trauma yang dicetuskan
oleh transmisi nyeri aferen, dan menumpulkan respon refleks otonom dan
somatik terhadap nyeri. Jika tujuan ini tercapai, maka dapat
mengembalikan fungsi tubuh sehingga pasien dapat bernapas, batuk dan
mobilisasi lebih dini. Pasien terus melaporkan kecemasan mereka
sebelum pembedahan adalah nyeri pascabedah (Reuben dkk., 2009).
Hubungan antara stimulus nosiseptif dan sitokin proinflamasi
mempunyai keterikatan saling mempengaruhi satu sama lainnya dimana
2
peningkatan produksi sitokin proinflamasi akan menyebabkan bertambah
hebatnya proses nyeri dan sebaliknya (Katz dkk., 2008).
Trauma dapat menginduksi sirkulasi sitokin pro-inflamasi seperti
tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin (IL)-6. Penelitian terbaru
ditemukan sitokin antiinflamasi IL-10 dan dapat menurunkan produksi IL-6
oleh monosit manusia (Taniguchi dkk., 1998).
Samad dkk (2002) melalui penelitiannya menyatakan bahwa,
epidural hanya dapat menghambat jalur neural dan tidak dapat
menghambat jalur humoral.
Penelitian yang dilakukan oleh Beilin dkk (2003) pada pasien yang
dirawat di rumah sakit untuk menjalani operasi laparatomi secara acak
dimana pasien diberikan satu dari tiga teknik manajemen nyeri
pascabedah : opioid on demand (Intermitten Opioid Regiment [IOR]),
Patient Control Analgesia (PCA), dan Patient Control Epidural Analgesia
(PCEA). Pada penelitian didapatkan bahwa pasien dari kelompok PCEA
menunjukkan skor nyeri yang lebih rendah dalam 24 jam pertama
pascabedah dibandingkan dengan pasien dari IOR dan kelompok PCA.
Respon mitogenik ditekan pada semua kelompok dalam 24 jam pertama,
kembali seperti nilai prabedah setelah 72 jam pada kelompok PCEA, tapi
tetap tertekan pada kelompok PCA. Produksi IL-1 dan IL-6 meningkat
dalam IOR dan kelompok PCA, sementara kelompok PCEA hampir tidak
berubah. Pasien yang menerima PCEA anestetik lokal dan opioid
menunjukkan adanya pengurangan pada penekanan proliferasi limfosit
3
dan mengurangi respon sitokin proinflamasi pascabedah. penelitian ini
menunjukkan bahwa analgesia epidural efektif mengurangi nyeri
pascabedah, menurunkan respon endokrin terhadap pembedahan,
dengan demikian bisa mengurangi gangguan imunitas tubuh akibat
pembedahan.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Yokoyama dkk (2005)
terhadap 30 pasien elektif yang akan menjalani pembedahan
esofagektomi radikal mendapatkan hasil yang berbeda terhadap fungsi
epidural dalam menekan respon stress pascabedah, dimana analgesia
epidural sebagai analgesia pascabedah tidak dapat menekan kenaikan
kadar IL-1β, IL-6, TNF-α, IL-10 serta kortisol dan katekolamin sebagai
hormon yang akan meningkat pada stress pembedahan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
cyclooxigenase (COX)-2 inhibitor memberikan hasil yang memuaskan
dalam menurunkan nyeri, konsumsi opioid pascabedah, serta sitokin
proinflamasi jika diberikan secara preemptif (Bajaj dkk., 2004).
Senard dkk (2010) meneliti efek parecoxib 200 mg oral
dibandingkan dengan plasebo pada 40 pasien yang menjalani operasi
torakotomi. Kedua kelompok mendapatkan analgesia epidural (Th4-Th5)
yang diberikan selama 48 jam pascabedah dengan agen ropivakain
2 mg/cc ditambah sufentanil 0,5 µg/cc melalui PCEA. Kelompok perlakuan
menerima parecoxib 200 mg oral pagi prabedah dan 48 jam pascabedah.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa nyeri pascabedah pada saat
4
istirahat dan batuk lebih rendah pada kelompok parecoxib, tingkat
kepuasan yang lebih besar pada kelompok parecoxib, kebutuhan
anestetik lokal sebanding pada kedua kelompok.
Uraian di atas merupakan dasar dari penelitian ini, namun dari
seluruh penelitian mengenai analgesia preemptif dan preventif yang
dipublikasikan dengan pendekatan analgesia multimodal, belum pernah
dilakukan teknik analgesia epidural dengan menggunakan bupivakain
0,125% kombinasi dengan parecoxib 40 mg intravena (IV) pada
pembedahan laparotomi ginekologi, dengan menilai dinamika kadar IL-6,
IL-10, serta ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 .
B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang penelitian diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah penggunaan kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia
epidural bupivakain 0,125% dapat berpengaruh terhadap kadar IL-6,
IL-10 dan ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 ?.
2. Apakah penggunaan kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia
epidural bupivakain 0,125% dapat berpengaruh terhadap intensitas
nyeri ?.
3. Apakah penggunaan kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan
analgesia epidural bupivakain 0,125% dapat berpengaruh terhadap
kebutuhan analgesik dan rescue analgesia pascabedah ?.
5
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
1.1. Menilai kadar IL-6, IL-10, dan ratio kadar antara IL-6 dengan
IL-10, serta intensitas nyeri terhadap pemberian kombinasi
parecoxib 40 mg IV dengan analgesia epidural bupivakain
0,125% pascabedah laparotomi ginekologi.
2. Tujuan khusus
2.1. Membandingkan kadar IL-6, IL-10, dan ratio kadar antara
IL-6 dengan IL-10 sebelum pembedahan, 2 dan 24 jam
pascabedah antara kelompok kombinasi parecoxib 40 mg IV
dengan epidural bupivakain 0,125% terhadap kelompok
epidural bupivakain 0,125%.
2.2. Membandingkan NRS saat istirahat (NRSi) dan saat
bergerak (NRSb) sebelum pembedahan, 2 dan 24 jam
pascabedah antara kelompok kombinasi parecoxib 40 mg IV
dengan epidural bupivakain 0,125% terhadap kelompok
epidural bupivakain 0,125%.
2.3. Membandingkan rescue analgesia dan kebutuhan analgesik
pascabedah antara kelompok kombinasi parecoxib 40 mg IV
dengan epidural bupivakain 0,125% terhadap kelompok
epidural bupivakain 0,125%.
6
D. Hipotesa
1. Kadar IL-6, IL-10, dan ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 lebih
rendah pada kelompok kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan
epidural bupivakain 0,125% dibandingkan kelompok epidural
bupivakain 0,125%.
2. NRSi dan NRSb pada kelompok kombinasi parecoxib 40 mg IV
dengan epidural bupivakain 0,125% lebih rendah dibandingkan
kelompok epidural bupivakain 0,125%.
3. Rescue analgesia dan kebutuhan analgesik pascabedah kelompok
kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan epidural bupivakain 0,125%
lebih rendah dibandingkan kelompok epidural bupivakain 0,125%.
E. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh kombinasi
parecoxib 40 mg IV dengan epidural bupivakain 0,125% dalam
menekan kadar IL-6 dan IL-10.
2. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh parecoxib 40 mg IV
kombinasi epidural bupivakain 0,125% pada pengelolaan nyeri
pascabedah.
3. Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut
sehubungan dengan analgesia multimodal pada berbagai jenis
pembedahan lainnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri Pascabedah
Nyeri bukan hanya modalitas sensoris akan tetapi juga merupakan
suatu pengalaman. The International Association for the Study of Pain
(IASP) mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan yang nyata atau potensi kerusakan jaringan, atau
digambarkan sebagai kerusakan jaringan. Definisi ini memperlihatkan
hubungan antara objektif, aspek sensoris nyeri dan subjektifnya,
komponen emosional dan psikologis. Respon terhadap nyeri dapat
bervariasi pada setiap manusia (Mikhail dkk., 2006).
Istilah nosisepsi yang berasal dari kata noci (bahasa Latin untuk
bahaya atau cedera), digunakan untuk menggambarkan respon neural
hanya untuk stimulus traumatik atau noxius. Semua nosisepsi
menghasilkan nyeri, akan tetapi tidak semua nyeri berasal dari nosisepsi.
Banyak pasien mengalami nyeri tanpa adanya stimulus noxius. Secara
klinis nyeri dibagi 2 kategori: (1) nyeri akut yang secara primer disebabkan
oleh karena nosisepsi, dan (2) nyeri kronik yang ungkin disebabkan oleh
karena nosisepsi tetapi faktor psikologis dan tingkah laku memegang
peranan yang penting (Mikhail dkk., 2006).
8
B. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah
Nyeri akut pascabedah adalah terjadi akibat adanya kerusakan
jaringan yang nyata. Terdapat 5 proses yang terjadi pada nosiseptif:
1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf.
Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau
kimia. Sebagai mediator noxius perifer di sini bisa karena bahan
yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun
sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan.
Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum
mengakibatkan dilepasnya ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta
asam arakidonat (AA) sebagai akibat lisis dari membran sel
(Vadivelu dkk., 2009).
2. Proses konduksi, merupakan perjalanan aksi potensial dari
nosisepsi perifer yang berakhir pada serabut saraf bermielin atau
tidak bermielin. Pangkal sentral dari serabut saraf ini bersinaps
dengan sel-sel second-order pada medulla spinalis. Serabut saraf
nosisepsi dan nonnoxious diklasifikasikan berdasarkan derajat
myelin, diameter, dan velositas konduksi (tabel 1) (Vadivelu dkk.,
2009).
3. Proses transmisi, merupakan penyaluran impuls listrik yang terjadi
pada proses transduksi melalui serabut A-δ bermielin dan
9
serabut C tak bermielin dari perifer ke medulla spinalis. Proses ini
dapat dihambat oleh anestetik lokal (Vadivelu dkk., 2009).
Tabel 1. Klasifikasi serabut saraf afferan primer
Karakteristik A-β A-δ C
Diameter Besar Kecil Sangat kecil
Derajat mielin Bermielin Sedikit bermielin Tidak bermielin
Velositas konduksi Sangat cepat
30-50 m/detik
Cepat
5-25 m/detik
Lambat
<2 m/detik
Ambang Rendah Tinggi Tinggi
Diaktifkan oleh Sentuhan halus
dan getaran
Stimulasi noxious
singkat; juga
stimulus noxious
yang kuat dan
lama
Stimulasi noxious
yang kuat dan
lama
Lokasi Kulit, sendi Kulit dan jaringan
superfisial;
struktur somatik
dan viseral
Kulit dan jaringan
superfisial;
struktur somatik
dan viseral
Dikutip dari: Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain pathway and acute pain processing. In: Sinatra RS, Leon-casasola O, Ginsberg B, Viscusi ER, editors. Acute pain management. New York: Cambridge University Press. 2009.
Saraf sensorik aferen primer dikelompokkan menurut
karakteristik anatomi dan elektrofisiologi. Serabut A-β, merupakan
serabut bermielin, berdiameter besar, dengan konduksi yang cepat.
Saraf ini secara khusus mengirimkan informasi non nosisepsi.
Nosiseptor aferen primer adalah cabang terminal serabut A-δ dan C
di mana badan sel bertempat di ganglia dorsalis. Pada proses
transmisi impuls noxius dari nosiseptor primer diteruskan ke sel di
dalam kornu dorsalis medulla spinalis. Serabut saraf A-δ dan
serabut saraf C memiliki proyeksi di distal yang dikenal sebagai
ujung nosiseptif, sedangkan ujung proksimalnya akan masuk ke
10
dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan bersinaps dengan
second-order neuron yang berlokasi dominan dalam lamina II
(substansia gelatinosa) dan dalam lamina V (nucleus proprius)
(Mikhail dkk., 2006).
Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang
merupakan akhir dari serabut aferen pertama (presinaptik) dan
second order neuron yang menerima rangsang dari neuron
pertama (pascasinaptik). Proses modulasi nyeri diperankan oleh
second order neuron ini, yang memfasilitasi atau menghambat
masuknya suatu rangsang noxius (Vadivelu dkk., 2009). Second-
order neuron terdiri atas dua jenis, yaitu :
a. Nociceptive-specific neuron (NS) yang berlokasi dalam
lamina I dan bereaksi terhadap rangsang dari serabut saraf
A-δ dan serabut saraf C (Mikhail dkk., 2006).
b. Wide-dynamic range neuron (WDR) yang berlokasi dalam
lamina V dan bereaksi terhadap rangsang noxius ataupun
rangsang non noxius, dan yang menyebabkan menurunnya
ambang respon serta meningkatnya receptive field, sehingga
terjadi peningkatan sinyal transmisi ke otak dan terjadi
persepsi nyeri. Perubahan ini terjadi karena perubahan pada
kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta
proses inflamasi, dan disebut sensitisasi sentral (Mikhail
dkk., 2006).
11
Sensitisasi sentral ini akan menyebabkan neuron menjadi
lebih sensitif terhadap rangsang lain dan menimbulkan gejala-
gejala hiperalgesia dan allodinia (Kleinman dkk., 2006).
Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bersifat
kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang dapat berubah
sifatnya karena ada kerusakan jaringan atau inflamasi. Stimulus
dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari neuron WDR
berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan
frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan transmisi sensoris
nyeri. Neuron WDR ini dihambat oleh sel inhibisi lokal di substansia
gelatinosa dan dari sinaptik desendens. Sintesis protein pada fase
akut bersama dengan meningkatnya prostaglandin (PG) E dan nitrit
oxida (NO) intra dan ekstraselular berperan pada sensitisasi sentral
dan plastisitas neural serta melakukan fasilitasi transmisi nyeri
(Mikhail dkk., 2006).
4. Proses modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgetik
endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan impuls nyeri yang
masuk di medulla spinalis. Analgetik endogen (enkefalin, endorfin,
serotonin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu posterior
medulla spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan
tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgetik endogen
tersebut. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan,
12
motivasi, status emosional dan kultur seseorang (Vadivelu dkk.,
2009).
Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat subjektif setiap orang dan sangat ditentukan oleh
makna atau arti suatu impuls nyeri (Mikhail dkk., 2006).
Proses modulasi dinyatakan sebagai mekanisme hambatan
(inhibisi) terhadap nyeri di dalam kornu dorsalis medulla spinalis
dan di tingkat lebih tinggi di batang otak dan otak tengah. Di
medulla spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi
pada sinaps pertama antara aferen noxius primer dan sel-sel WDR
dan NS dari second order, dengan demikian mengurangi
penghantaran spinotalamus dari impuls noxius. Modulasi spinal
dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa endogen yang
mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari interneuron spinal
dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat inhibisi
desendens dari central gray locus ceruleus dan dari supraspinal
yang lain. Analgetik endogen itu adalah enkaphalin (ENK),
norepinephrin (NE), dan gamma aminobutyric acid (GABA).
Analgetik endogen ini akan mengaktifkan reseptor opioid, alpha
adrenergik, dan reseptor yang lain, yang bekerja melakukan inhibisi
pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi
reaksi pascasinaptik dari neuron second order NS atau WDR.
Proses modulasi adalah proses interaksi antara mediator yang
13
menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgetik endogen
(Vadivelu dkk., 2009).
Opioid endogen seperti ENK dan endorphin akan melakukan
modulasi transmisi nyeri. Selain itu, sebagian sitokin seperti IL-1β
dan IL-6 yang terbentuk di perifer, bersama aliran darah akan
sampai ke sistem saraf pusat, dan juga akan menginduksi COX-2 di
dalam neuron otak sehingga terbentuk juga PGE-2 yang juga
mengakibatkan perasaan nyeri (Kleinman dkk., 2006).
Namun di dalam sistem saraf pusat (SSP) sitokin IL-6
memberikan efek yang berbeda, tergantung besarnya jumlah
sitokin tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan
merangsang efek hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang besar
akan memberikan efek analgesia. Selain itu, sitokin dalam jumlah
yang besar akan berpotensiasi dengan pengeluaran endorphin
dalam darah, yang akan memberikan efek analgesia (Vadivelu dkk.,
2009).
5. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang kompleks dari proses
transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya
menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri. Serabut aferen nosisepsi dari second order
mempunyai badan sel pada kornu dorsalis dari medulla spinalis,
yang berfungsi memproyeksi axon ke SSP yang lebih tinggi dan
bertanggung jawab terhadap proses informasi nosisepsi. Seperti
14
yang disebutkan sebelumnya terbanyak serabut asending
menyilang sebelum berjalan kearah kranial pada traktus
spinothalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinothalamikus
adalah WDR atau saraf high threshold, berjalan melewati pons,
medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di thalamus. Dari
thalamus informasi aferen dibawa ke korteks somatosensorik.
Traktus spinothalamikus juga mengirimkan cabang kolateral ke
formatio reticularis. Impuls yang ditransmisikan melalui traktus ini
berperan terhadap perbedaan nyeri dan respon emosi yang
ditimbulkan. Formatio retikularis mungkin berperan terhadap
peningkatan aspek emosional dari nyeri seperti refleks somatik dan
otonomik. Aktivasi dari struktur supraspinal diperantarai oleh
essential amino acid (EAA), tapi neurotransmiter yang terlibat
dalam proses sentral dari informasi nosisepsi masih belum dapat
dijelaskan (Gambar 1) (Vadivelu dkk., 2009).
C. Peranan Sitokin dalam Proses Inflamasi Nyeri
Sitokin adalah polipeptida atau glikoprotein dengan besar molekul
8-30 kDa. Sitokin diproduksi oleh beberapa sel pada daerah inflamasi atau
trauma, sel imun melalui aktivasi protein-kinase. Berbeda dengan hormon,
sitokin tidak disimpan sebagai molekul. Sel yang berbeda dapat
menghasilkan sitokin yang sama, namun satu macam sitokin dapat
memberikan pengaruh terhadap beberapa macam sel yang berbeda, atau
15
yang disebut pleitropi. Sitokin berperan dalan aktivitas diferensisasi,
proliferasi dan kelangsungan hidup sel imun termasuk regulasi produksi
dan aktifitas sitokin lain, contoh pada respon proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin inflamasi termasuk didalamnya IL-1, 2,6,7 dan TNF.
Sitokin antiinflamasi termasuk IL-2, IL-10, IL-13, dan TGFβ (Oliveira dkk.,
2011).
Gambar 1. Jalur nyeri (Dikutip dari: Morgan EM, Mikhail MS, Murray MJ. Pain management. In: Morgan GE, editor. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill. 2006).
Klasifikasi sitokin tidak mungkin dilakukan berdasarkan sel
biologisnya atau fungsi biologisnya, sitokin dikelompokkan sebagai IL
(diurutkan dari IL-1 sampai IL-35), TNF, kemokin (sitokin kemostatik),
interferon (IFN) dan mesenchymal growth factors (Oliviera dkk., 2011).
16
Beberapa peneliti beranggapan bahwa ekspresi sitokin proinflamasi
berhubungan dengan aktivasi nuclear factor-kB (NF-kB). Jalur sinyal
transduksi NF-kB ini akan memediasi ekspresi beberapa gen yang
berperan dalam proses inflamasi dan imun, termasuk IL-1, IL-6, IL-8,
TNF-α, dynorfin, dan lain-lain (Jun-Hua dkk., 2006).
D. Peran Sitokin IL-6 dalam Jalur Nyeri Inflamasi
Interleukin-6 disekresi oleh banyak sel yaitu makrofag, monosit,
eosinofil, hepatosit, dan sel glia. Interleukin-6 dapat diinduksi produksinya
oleh TNF-α dan IL-1 sehingga menyebabkan demam dan aktifasi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal dengan menggunakan reseptor α (IL-6Rα)
dan sub unit gp 130. Interleukin-6 merupakan salah satu sitokin yang
muncul dini dan merupakan mediator induksi dan kontrol pada sintesis
protein fase akut yang dilepaskan oleh hepatosit selama stimuli nyeri
seperti trauma, infeksi, operasi, dan luka bakar. Setelah terjadi trauma,
konsentrasi IL-6 dalam plasma dapat dideteksi dalam 60 menit dan
puncaknya antara 4-6 jam, dan dapat bertahan hingga 10 hari.
Interleukin-6 ini merupakan penanda yang paling sesuai dengan derajat
kerusakan jaringan (Jun-Hua dkk., 2006).
Interleukin-6 merupakan suatu sitokin proinflamasi yang berperan
dalam maturitas dan aktifitas netrofil, maturitas makrofag, dan diferensiasi
sitotoksik limfosit T dan natural killer cells. Selain itu juga mengaktifasi
astrosit dan mikroglia (Oliviera dkk., 2011).
17
Interleukin-1β dan TNF-α adalah sitokin pertama yang terbentuk
setelah kerusakan jaringan atau infeksi, pengaruh langsung pada reseptor
spesifik pada neuron sensoris menyebabkan terbentuknya suatu kaskade
terkait sitokin lain, kemokin, prostanoid, nurotropin, NO, kinin, lipid,
adenosin triphosphat (ATP) dan jalur komplemen lain, yang nantinya
elemen-elemen ini yang nantinya akan menyebabkan proliferasi sel glia,
hipertrofi pada sistem saraf pusat dan pelepasan sitokin proinflamasi
TNF-α, IL-1β, dan IL-6 yang membentuk suatu kompleks aktivasi
independen (Oliviera dkk., 2011).
Inflamasi perifer menyebabkan aktifasi jalur otak ke spinal cord,
yang menuju hiperalgesia, hal ini tergantung dari aktifasi mikroglia dan
astrosit di spinal cord. Secara anatomi astrosit dan mikroglia jelas
diaktifasi oleh inflamasi perifer, hal ini terbukti dengan meningkatnya
ekspresi dari aktifasi glia-spesific marker. Pelepasan sitokin IL-6 diduga
terlibat dalam aktifasi mikroglia ini (Jun-Hua dkk., 2006).
Regulasi efek PGE2 terhadap sintesis IL-6 telah dilaporkan oleh
beberapa penelitian terutama pada in vitro dan in vivo. Diduga bahwa
PGE2 menginduksi produksi dari IL-6 melalui subtipe reseptor
prostaglandin yaitu EP yang akan mengaktifkan NF-κβ. Produksi IL-6
dipengaruhi oleh reseptor agonis PG, dengan menstimulasi EP maka
akan terjadi induksi peningkatan IL-6, PGE2 menstimulasi sintesis IL-6
dengan memobilisasi Ca dari ekstrasel ke intrasel melalui EP1 sementara
reseptor EP2 dan EP4 adalah receptor G-protein-coupled yang dapat
18
mengaktifasi kadar cAMP selanjutnya akan mengaktifasi NF-κβ dan akan
meningkatkan sintesis IL-6 (gambar 2) (Jun-Hua dkk., 2006).
Interleukin-6 mempengaruhi produksi prostaglandin dengan cara
langsung. Diduga IL-6 juga dapat menyebabkan induksi proliferasi
mikroglia (Jongh dkk., 2003).
Pemberian IL-6 pada intratekal atau intraserebroventrikular 10 ng
dalam 10µL pada tikus menyebabkan alodinia terhadap stimulus
sentuhan. Penemuan ini menunjukkan bahwa IL-6 dapat menginduksi
nyeri secara langsung. Interleukin-6 secara langsung dapat menginduksi
aktifasi sel glia pada SSP (Tekieh dkk., 2011).
Gambar 2. Hipotesis regulasi jalur IL-6 (Dikutip dari: Hamza M, Dionne RA. Mechanisms of non-opioid analgesics beyond cyclooxygenase enzyme inhibition. 2009. Curr Mol Pharm; 2: 1-14).
COX-2
IL-6
19
E. Peran Sitokin IL-10 dalam Jalur Nyeri dan Inflamasi
Interleukin-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang dapat
menurunkan aksi atau produksi dari satu atau lebih sitokin proinflamasi
protein-protein yang diproduksi oleh saraf, neuron, sel glia, sel endotel, sel
fibroblast, otot, sel imun, atau tipe-tipe sel lainnya. Sitokin
anti-hipernosisepsi IL-10 dihasilkan oleh berbagai tipe sel seperti limfosit,
monosit, makrofag, dan sel mast. Interleukin-10 merupakan anggota dari
keluarga sitokin antiinflamasi yang sangat kuat, yang dapat menekan
semua sitokin pro-inflamasi yang berperan dalam timbulnya nyeri
patologis (IL-1β, TNF-α, dan IL-6) (Kato dkk., 1997).
Interleukin-10 merupakan sitokin pleiotropik dengan fungsi
immunoregulator penting yang aksinya mempengaruhi berbagai kegiatan
dari banyak sel dalam sistem imun tubuh. Interleukin-10 adalah sitokin
dengan potensiasi antiinflamasi yang kuat, menekan ekspresi sitokin
inflamasi seperti TNF-α, IL-6, dan IL-1 dengan mengaktifkan makrofag.
Fungsional IL-10 reseptor (IL-10R) adalah kompleks tetramer yang terdiri
dari dua ligan yang terikat pada subunit IL-10R-α atau IL-10R1 dan dua
subunit aksesori sinyal (IL-10R-β atau IL-10R2). Pengikatan IL-10 pada
domain ekstraseluler IL-10R1 fosforilasi mengaktifkan fosforilasi dari
reseptor terkait, janus kinase (JAK)-1 dan tirosin kinase (TYK)-2, yang
bersifat konstitutif yang hubungannya terkait dengan IL-10R1 dan
IL-10R2, masing-masing. Kinase ini kemudian memfosforilasi residu
tirosin spesifik (Y446 dan Y496) pada domain intraseluler dari rantai
20
IL-10R1. Setelah terfosforilasi, residu tirosin ini berfungsi sebagai tempat
berlabuh sementara untuk faktor transkripsi laten, signal transducer and
aktivator transcript-3 (STAT3) (Jun-Hua dkk., 2006).
Interleukin-10 adalah inducer utama heme oxygenase-1 (HO1)
dalam murine makrofag primer dan J774 cell line. Induksi HO1 terjadi
pada tingkat transkripsi, dan dimediasi melalui jalur p38 MAP-kinase–
dependent pathway . Heme oxygenase-1 terlibat dalam biosintesis heme,
dan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan carbon monoksida (CO),
besi bebas, dan biliverdin prekursor heme. Penghambatan HO1 sintesis
protein oleh oligonukleotida antisense secara signifikan dilawan oleh efek
penghambatan IL-10 pada produksi TNF-α diinduksi oleh lipopolisakarida
(LPS). Induksi HO1 juga penting untuk efek penekanan dari IL-10 pada
LPS-induce expression yang diinduksi sintesa NO serta matriks
metalloproteinase-9. Carbon monoksida berasal dari degradasi heme oleh
HO1 yang dimediasi efek antiinflamasi IL-10 dalam makrofag
(Gambar 2) (Samad dkk., 2002).
Takumi dkk (1998) melakukan penelitian pada 20 pasien yang
mengalami trauma toraks maupun abdomen yang berat dimana
didapatkan kadar IL-6, IL-10, dan laktat pasien mengalami peningkatan
pada hari pertama hingga ketiga, dan kemudian menurun secara
signifikan setelah hari keempat. Didapatkan pula adanya hubungan antara
ratio IL-6 dengan IL-10 dengan tingkat keparahan cedera, sehingga bisa
dipakai sebagai prediktor keparahan pascatrauma (Kawasaki dkk., 2008).
21
Gambar 3. Patofisiologi produksi sitokin IL-10 (Dikutip dari: Jun-hua Z. Immune sistem: a new look at pain. Chin Med J. 2006;119(11): 930).
F. Peran COX-2 dalam Jalur Nyeri
Trauma jaringan dan inflamasi dapat menyebabkan peningkatan
sintesis prostanoid yang nantinya menyebabkan sensitisasi perifer
maupun sentral. Trauma jaringan di perifer dapat meningkatkan kadar
prostanoid di daerah tersebut yang langsung berperan pada inflamasi dan
nyeri. Prostanoid adalah suatu derivat dari asam arakidonat yang
dilepaskan oleh posfolipid di membran sel dengan bantuan enzim
phospholipase A2 (PLA2). Selanjutnya akan dikatalisasi oleh COX
membentuk jalur prostaglandin (gambar 4) (Samad dkk., 2002).
Nilai basal prostanoid sangat penting untuk menjaga fungsi
hemostasis di berbagai jaringan terutama di ginjal, mukosa lambung dan
tombosit. Pada jaringan lain, produksi prostanoid yang konstitutif rendah
22
dan akan meningkat dalam hitungan menit bila ada stimulus inflamasi
(Samad dkk., 2002).
Prostaglandin adalah suatu komponen lipid yang merupakan
derivat dari asam lemak. Prostaglandin ditemukan pada hampir semua
jaringan dan organ. Diproduksi oleh hampir semua inti sel. Termasuk
autokrin dan parakrin yang berfungsi pada trombosit, endotelium dan sel
mast. Sintesis prostaglandin hasil dari oksidasi AA oleh COX-1 dan
COX-2. Cyclooxygenase-1 bertanggung jawab pada kadar prostaglandin
normal tubuh (Gambar 5) (Samad dkk., 2002).
Gambar 4. Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan (Dikutip dari: Kawahito Y. Clinical implication of COX-2 inhibitor. Inflamm Reg. p.434).
Prostanoid adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan
subkelas dari eicosanoids yang terdiri dari prostaglandin (mediator
inflamasi dan reaksi anafilaktik), tromboxan (mediator dari vasokonstriksi)
dan prostacyclin (aktivasi pada penyembuhan fase inflamasi). Prostanoid
23
terdiri dari PG dan tromboxan, yang merupakan suatu grup mediator
berasal dari lipid yang berespon terhadap berbagai stimulus. Golongan ini
termasuk PGD2, PGE2, dan PGF2α. Prostanoid dilepas setelah disintesis
dan langsung berikatan dengan sel target (Matsuoka dkk., 2008).
Gambar 5. Tempat kerja OAINS (Dikutip dari: Fitzerald GA, Patrono C. Coxib, selective inhibitors of ciclooxygenase-2. N Eng J Med. p. 553).
Pemberian obat antiinflamasi non steroid (OAINS) dapat menekan
produksi prostanoid, maupun aktifitasnya terhadap inflamasi, demam dan
nyeri. Ketika tubuh mendapatkan stimuli fisiologis maupun patologis maka
AA akan dilepaskan dari membran fasfolipid dan diubah menjadi
prostanoid termasuk PG dan tomboxan. Reaksi COX menghasilkan
endoperoksidase intermediet yang tidak stabil PGH2 yang akan di
metabolisme ke PGD2, PGE2, PGF2α, PGI2 dan TXA2 oleh sel yang
spesifik (Fitzgerald dkk., 2001).
24
Terdapat 2 bentuk COX- isoform, dibedakan oleh ekspresi dan
regulasi. COX-1 adalah konsekutif yang terekspresi disemua jaringan.
COX-2 pada kondisi istirahat atau normal tidak dapat terdeteksi, dan
dapat terinduksi dengan sangat luar biasa dengan stimulus fisiologis
maupun patologis (Fitzgerald dkk., 2001).
Prostanoid yang diproduksi COX-1 diyakini sebagai hemostasis
fisiologis, seperti hemostasis vaskular menjaga fungsi kestabilan sel ginjal,
sel darah, proliferasi mukosa usus, fungsi platelet dan anti-trombogenesis,
sementara COX-2 berperan pada efek inflamasi, nyeri, demam,
mitogenesis, dan karsinogenesis yang terstimuli oleh faktor pertumbuhan,
sitokin, dan macam-macam mitogen. Ekspresi dari gen COX-2 terkontrol
oleh NF-Kβ, suatu jalur transmisi yang berespon pada stimuli pelepasan
LPS, IL-1, TNF-α, dan hormon peptida. Cyclooxigenase-2 sebenarnya
juga dapat di deteksi di pankreas, ginjal, dan otak. Hal ini seperti yang
terlihat pada fungsi fisiologis seperti pada saat ovulasi, proses
pembentukan plasenta, kontraksi uterus pada saat melahirkan dan
adaptasi ginjal terhadap stress (Kawahito dkk., 2007).
Dikatakan bahwa inflamasi perifer dapat menginduksi 2 bentuk.
Pertama menginduksi penyebaran dan peningkatan produksi COX-2 dan
PGE sintesis (PGEs) di sisi inflamasi yang menyebabkan sensitisasi pada
saraf yang mempersarafi daerah trauma dengan cara menurunkan
ambang rangsang dan meningkatkan eksitabilitas sel, dengan
memproduksi protein kinase A (PKA) yang menyebabkan fosforilasi
25
sodium channel dan reseptor lain pada nosiseptor terminal setelah
pengaktifan reseptor EP. Bentuk kedua adalah sinyal humoral yang
disebabkan oleh inflamasi perifer menginduksi peningkatan dan
penyebaran COX-2 pada SSP melalui aktifasi NF-κB oleh IL-1β, TNF-α,
dan IL-6 (Samad dkk., 2002).
Terdapat perbedaan antara fase imun, dan pelepasan
prostaglandin sebagai mediator inflamasi. Fase yang muncul lebih dahulu
adalah pelepasan asam arakidonat dan eicosanoid yang terjadi beberapa
menit setelah stimulasi, dan fase muncul beberapa jam setelah terpapar
trauma tergantung dari sintesis COX-2 dan PGES (Samad dkk., 2002).
Stimulasi awal dimulai dari PLA2 yang menghasilkan asam
arakidonat yang akan dimetabolisme oleh COX-1 dan COX-2 dan PG
isomerase untuk membentuk PGs. Aktifitas PLA2 juga merupakan suatu
sinyal induksi terhadap PLA2 sintesis dan COX-2. Pada spinal cord terjadi
pelepasan PGE2 cepat (dalam beberapa menit) oleh COX-1 dan lambat
(dalam beberapa jam) oleh COX-2. Namun sebenarnya teori yang terjadi
pada spinal cord ini masih merupakan kontroversi yang memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kepentingan ini adalah untuk menentukan kapan
sebaiknya pemberian obat penghambatan prostanoid ini diberikan,
apakah pra dan intra atau pascabedah (gambar 6) (Samad dkk., 2002).
Tujuan dari terapi dengan menggunakan COX-2 inhibitor adalah
untuk mengurangi jumlah prostanoid yang patologis tanpa menghilangkan
efek prostanoid normal sebagai penjaga kestabilan fungsi hemostasis,
26
kecuali bila diindikasikan, seperti halnya penggunaan aspirin dalam mencit
Dikatakan bahwa inflamasi perifer dapat menginduksi 2 bentuk. Pertama
menginduksi penyebaran dan peningkatan produksi COX-2 dan PGEs
disisi inflamasi yang menyebabkan sensitisasi pada saraf yang
mempersarafi daerah trauma dengan cara menurunkan ambang rangsang
dan meningkatkan eksitabilitas sel, dengan memproduksi PKA yang
menyebabkan fosforilasi sodium channel dan reseptor lain pada
nosiseptor terminal setelah pengaktifan reseptor EP. Bentuk kedua adalah
signal humoral yang disebabkan oleh inflamasi perifer menginduksi
peningkatan dan penyebaran COX-2 pada SSP melalui aktifasi NF-κB
oleh IL-1β, TNF-α, dan IL-6 (Samad dkk., 2002).
Pada penelitian akhir-akhir ini di kembangkan penggunaan COX-2
inhibitor, namun masih belum banyak yang dapat dijelaskan.
Cyclooxigenase-2 inhibitor memiliki kemampuan menembus blood-brain
barrier (BBB) yang sangat baik sehingga sangat efektif digunakan untuk
analgetik dan anti inflamasi (Samad dkk., 2002).
G. Analgesia multimodal
Konsep analgesia multimodal telah diperkenalkan lebih dari satu
dekade yang lalu sebagai suatu tekhnik untuk meningkatkan efek
analgesia dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan
penggunaan opioid. Strategi ini menitikberatkan tercapainya analgesia
yang optimal dengan cara penambahan analgesia yang bekerja sinergis
27
dari kelas analgetik yang berbeda dan mekanisme yang berbeda. Hal ini
menyebabkan dosis obat individual berkurang dan menurunnya efek
samping yang tidak diharapkan dari obat tertentu yang digunakan intra
dan pascabedah. Telah banyak penelitian yang menunjukan dengan
penggunaan analgesia multimodal dapat menurunkan insiden yang tidak
diharapkan dari obat, mempercepat waktu pemulihan dan waktu rawat
inap rumah sakit, serta mengurangi biaya kesehatan. Saat ini American
Society of Anesthesiologist Task Force on Acute Pain Management
menganjurkan penggunaan analgesia multimodal ini (Buvanendran dkk.,
2009).
Gambar 6. Skema kerja prostanoid secara perifer dan sentral (Dikutip dari Samad TA, Sapirstein AA, Woolf CJ. Prostanoid and pain : unraveling mechanism and revealing therapetic targets. Trens Mol Med. 2002. p. 392).
28
Pemikiran penggunaan teknik analgesia multimodal ini untuk
mengurangi respon stres akibat operasi, menurunkan nyeri saat bergerak,
mempercepat penyembuhan pascabedah dan meningkatkan perbaikan
klinis seiring dengan pengurangan efek samping obat (Reuben dkk.,
2009).
Analgesia multimodal membutuhkan pemahaman mengenai
mekanisme jalur nyeri. Nyeri pascabedah merupakan konsekuensi dari
cedera jaringan, inflamasi saraf dan kaskade yang dihasilkan dari
peristiwa neurohumeral yang terjadi. Setelah terjadinya stimulus nyeri,
mediator kimia seperti PGE2 dan bradikinin akan dilepaskan pada tempat
terjadinya cedera jaringan. Mediator kimia ini akan merangsang
nosiseptor, reseptor nyeri di perifer yang akan berespon terhadap adanya
trauma dan suhu yang tinggi. Nosiseptor dari serabut nyeri ini akan
masuk ke spinal cord melalui dorsal root ganglion. Reseptor nyeri yang
terutama bertanggung jawab untuk stimulus noksius dalam dorsal horn
dari spinal cord adalah reseptor N-metil D-aspartate (NMDA). Stimulus
nyeri disebarkan oleh reseptor NMD di spinal cord melalui traktus
spinothalamikus ke otak. Melalui jalur yang kompleks ini, otak akan
mendapat pengalaman nyeri dari trauma yang ditimbulkan pada tempat
terjadinya cedera jaringan yang disebabkan oleh operasi. Konsep
analgesia multimodal bergantung pada pemahaman kompleks interaksi
neurohumoral ini. Analgesia pascabedah dapat dicapai dengan
29
menggunakan kombinasi obat yang menghambat jalur nyeri yang
kompleks ini (White dkk., 2007).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Buvanendran dkk (2003)
terhadap pasien yang menjalani operasi total knee arthroplasty,
didapatkan bahwa rofecoxib 25 mg yang diberikan satu jam sebelum
operasi yang dikombinasi dengan analgesia epidural dibandingkan
dengan kelompok epidural didapatkan bahwa kebutuhan opioid
berkurang, nyeri, mual-muntah, serta susah tidur lebih rendah pada
kelompok perlakuan. Perbaikan pada pergerakan lutut juga didapatkan
lebih baik pada kelompok rofecoxib 25 mg. Pada kelompok plasebo kadar
IL-6 dan IL-8 meningkat sepanjang waktu, kadar TNF-α tidak mengalami
perubahan 0-48 jam pascabedah. Sementara pada kelompok rofecoxib,
kadar IL-6 dan IL-8 meningkat lebih kurang dibanding kelompok plasebo,
TNF-α tidak berubah sepanjang waktu dan kadarnya lebih rendah
dibanding kelompok plasebo.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad MR (2012) terhadap 48
pasien yang menjalani pembedahan ekstremitas inferior. dengan anestesi
General Endotracheal Anesthesia (GETA) dimana pada kelompok
perlakuan mendapatkan analgesia preemptif bupivakain 0,25% intra
bedah yang dilanjutkan pemberian analgesia pascabedah dengan
epidural bupivakain 0,125% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
mendapatkan epidural plasebo intra dan pascabedah didapatkan
kesimpulan bahwa analgesia preemptif efektif dalam menekan nyeri dan
30
respon simpatis dibandingkan plasebo, namun kadar TNF-α, IL-1β, IL-6,
IL-10 pada kedua kelompok tidak bermakna. Ratio sitokin antiinflamasi
dengan pro-inflamasi (TNF-α : IL-10, IL-1β:IL-10, dan IL-6 dengan IL-10)
tidak bermakna hingga sebelum 24 jam pengamatan, namun pascabedah
24 jam terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok, dimana
ratio sitokin proinflamasi lebih tinggi dibanding inflamasi pada kelompok
kontrol. Hal ini membuktikan bahwa epidural tidak dapat menekan respon
humoral.
H. Parecoxib
Parecoxib adalah jenis obat dalam sediaan injeksi yang larut air.
Beredar dipasaran dengan merk dagang Dynastat™ dalam kemasan
20 mg dan 40 mg. Obat ini merupakan prodrug dari valdecoxib, suatu
generasi kedua dari COX-2 inhibitor selektif. Konversi secara cepat di
hepar oleh enzim hidrolisis menjadi bentuk aktif yaitu valdecoxib.
Metabolitnya juga merupakan COX-2 inhibitor selektif yang lemah, yang
selanjutnya dimetabolisme oleh jalur non-cytochrome P-450 menjadi
metabolit glukoronide, dan di ekresi melalui ginjal (Cheer dkk., 2001).
Cyclooxigenase bertanggung jawab terhadap sintesis
prostaglandin. Terbagi atas 2 bentuk isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
Cyclooxigenase-2 adalah bentuk isoform yang diinduksi oleh sitokin
proinflamasi dan yang paling berperan pada sintesis prostanoid yang
merupakan mediator nyeri inflamasi dan demam. Pada dosis terapeutik
31
valdecoxib generasi 2 ini bekerja menghambat secara selektif COX-2 baik
secara perifer maupun sentral, namun tidak menghambat COX-1 yang
dikenal sebagai enzim yang bekerja pada proses fisiologis (Padi dkk.,
2004).
Pemberian dosis 40 mg IV akan memberikan efek analgesia dalam
waktu 7-13 menit, namun secara klinis efek analgesia terlihat dalam waktu
23-29 menit dan mencapai peak-effect pada 2 jam setelah pemberian.
Berbeda dengan generasi pertama valdecoxib, parecoxib memiliki waktu
paruh yang lebih lama yaitu hingga 8 jam, akan diperpanjang bila ada
kegagalan fungsi hepar. Ikatan dengan protein sangat tinggi yaitu
hingga 98% (Padi dkk., 2004).
Efek samping dari parecoxib ini yang paling sering adalah mual.
Efek samping lainnya adalah hipertensi, pusing, dispepsia, insomnia,
gatal, berkeringat, oliguria, dan arthralgia. Efek yang tidak diinginkan
dapat terjadi berupa gagal ginjal akut, gagal jantung, hepatitis, alergi
hingga sindrom Steven-Johnson (Padi dkk., 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Bajaj (2004) mengenai pemberian
parecoxib sebagai preemptif analgesia dilakukan pada operasi abdomen.
Pada penelitian tersebut diberikan parecoxib 40 mg iv 30-45 menit
sebelum operasi dibandingkan dengan pemberian parecoxib pascabedah,
didapatkan bahwa kelompok yang diberikan prabedah 100% tidak nyeri
pada 12 jam pertama dan 70% pada 24 jam pascabedah. Sebaliknya
pada pemberian pascabedah didapatkan 55% yang telah mendapatkan
32
rescue pada jam ke 12 dan hanya 20% yang tidak nyeri pada 24 jam
pascabedah. Terbukti pemberian parecoxib 40 mg iv prabedah lebih
superior dibandingkan dengan pascabedah (gambar 7).
I. Anestetik Lokal Bupivakain
Bupivakain (1963) adalah agen anestetik lokal golongan amino
amida poten dengan masa kerja yang panjang. Obat ini memiliki indeks
terapeutik yang rendah, dimana pada dosis rendah sebesar 50 mg dapat
menyebabkan fibrilasi ventrikel jika dibarikan secara IV pada pasien yang
rentan atau memiliki. Dosis maksimal penggunannya pada epidural,
spinal, blok infiltrasi dan saraf perifer adalah 3 mg/kgBB (Stoelting dkk.,
2006).
Secara umum anestetik lokal bekerja dengan mencegah transmisi
impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat masuknya ion
natiurm (Na+) yang melalui saluran ion-selektif Na+ pada membran saraf.
Saluran Na+ itu sendiri merupakan reseptor spesifik bagi molekul anestetik
lokal. Sumbatan pada saluran Na+ oleh molekul anestetik lokal
mengakibatkan hambatan minimal maupun menyeluruh terhadap
permeabilitas sodium. Perubahan influx Na+ yang mengakibatkan
kegagalan peningkatan permeabilitas saluran ion Na+ sehingga
menurunkan kecepatan depolarisasi yang oleh karena itu ambang
potensial tidak tercapai sehingga aksi potensial tidak disebarkan, periode
33
refrakter memanjang, dan terjadi perlambatan kecepatan konduksi
(Morgan dkk., 2006).
Gambar 7. Trauma pembedahan menginduksi terjadinya jalur nosisepsi mengakibatkan aktifasi respon stres neuroendokrin yang mana dapat menpengaruhi luaran dari suatu perioperatif pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh dua bentuk input dari jaringan inflamasi perifer ke SSP. Jalur pertama melalui aktifitas elektrik oleh serabut saraf yang tersensitasi yang menginervasi area inflamasi (panah merah) yang mana input ini dapat ditekan dengan pemberian COX-2 inhibitor dan blokade saraf dengan lokal anestetik. Jalur kedua adalah signal humoral yang berasal dari jaringan inflamasi (panah kuning) masuk melalui jalur sirkulasi yang mana peran sitokin proinflamasi menginduksi ekspresi COX-2 di sentral dan jalur ini hanya dapat diblok dengan COX-2 inhibitor. (Dikutip dari: Jahr JS, Donkor KF, Sinatra RS. Non selective nonsteroidal anti-inflamation drugs, COX-2 inhibitors and acetaminophen in acute perioperative pain In:Sinatra RS, Leon-Casasola O, Ginsberg B, Viscusi ER, editors. Acute pain management. New York:Cambridge University Press;2009.p.332-65).
Mekanisme efek antiinflamasi dari anestetik lokal tidak bergantung
pada blokade saluran ion Na+ yang merupakan mekanisme efek anestesi
dari obat ini. Secara detail mekanisme kerja efek antiinflamasi anestetik
34
lokal tidak sepenuhnya dipahami, namun nampaknya melibatkan interaksi
yang reversibel dengan membran protein dan lemak yang mengatur
aktivitas metabolik sel, migrasi, eksositosis dan fagositosis. Anestetik lokal
dapat mengatur respon inflamasi dengan menghambat sinyal mediator
inflamasi. Anestetik lokal dapat menghambat protein G yang
mengakibatkan efek antiinflamasi. Kinerja antiinflamasi yang poten dari
anestetik lokal, lebih superior pada beberapa aspek dibandingkan dengan
kelompok antiinflamasi tradisional seperti OAINS dan steroid. Dimana
telah dibuktikan keberhasilannya dalam pengobatan luka bakar, sistitis
intertisial, prostitis ulseratif, dan infeksi herpes simpleks (Morgan dkk.,
2006).
Obat anestetik lokal bupivakain menghambat dihasilkannya impuls
dan konduksi impuls saraf, diduga dengan meningkatkan ambang untuk
eksitasi elektrik pada saraf, dengan memperlambat perambatan impuls
saraf, dan dengan mengurangi laju bangkitan potensial aksi. Secara
umum, terjadinya anestesia berhubungan dengan diameter, mielinisasi
dan kecepatan konduksi dari serabut saraf. Secara klinis, urutan hilangnya
fungsi nervus adalah sebagai berikut : (1) nyeri, (2) suhu, (3) raba, (4)
propriosepsi, dan (5) tonus otot rangka (Beloeil dkk., 2009).
Pada orang dewasa, penggunaan bupivakain pada epidural
1-2 cc/segmen untuk blok total. Merupakan suatu agen terpilih untuk
epidural. Agen anestesi yang umum digunakan sebagai analgesia adalah
bupivakain dan ropivakain dengan konsentrasi 0,125% - 0,25%. Pada
35
penempatan keteter tepat terhadap dermatom insisi, kecepatan infus
5-10 cc/jam umumnya dapat memberikan analgesia yang optimal (Morgan
dkk., 2006).
36
BAB III
KERANGKA TEORI
`
O.
MO
IL-10
TRAUMA PEMBEDAHAN
TRANSDUKSI (SENSITISASI PERIFER)
Pelepasan AA, K+,H
+,NOF, dan Bradikinin
PERSEPSI KORTEKS SEREBRI
TRANSMISI
SERABUT SARAF AFFEREN & EFFEREN
A-α,C, DAN A-δ
MODULASI (SENSITISASI SENTRAL) Aktivasi AMDA, AMPA,
Influks Ca+,Upregulasi NO2,PGE
Remodelling neural dan Glia
NYERI
PROSES NOSISEPSI JALUR NEURAL
RESPON INFLAMASI TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-10
IL-6
RESPON HUMORAL
PGE2
COX-2
PGE2
COX-2
ANALGESIA EPIDURAL
COX-2
INHIBITOR
37
BAB IV
KERANGKA KONSEP
VARIABEL ANTARA
TRAUMA PEMBEDAHAN
VARIABEL BEBAS
PARECOXIB 40 MG/IVKOMBINASI DENGAN EPIDURAL
BUPIVACAINE 0,125 %
VARIABEL BEBAS
NaCl 0,9 % 2 CC/IV KOMBINASI DENGAN EPIDURAL
BUPIVACAINE 0,125 %
JALUR NEURAL
TRANSDUKSI
TRANSMISI
JALUR HUMORAL
PELEPASAN SITOKIN
INFLAMASI
COX-2
MODULASI
PERSEPSI
VARIABEL TERGANTUNG
Kadar Sitokin :
•IL-6
•IL-10
•Rasio IL-6: IL-10
•Intensitas nyeri
•ASA PS
IMT
TINGGI BADAN
LAMA OPERASI
UMUR
KONSUMSI ANESTETIK
LOKAL
VARIABEL KENDALI
Variabel Bebas
Variabel Antara
Variabel Kendali
Variabel Tergantung
38
BAB V
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji acak tersamar
ganda.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RS. dr. Wahidin Sudirohusodo mulai bulan
Agustus-Oktober 2013.
C. Populasi Penelitian
Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah pasien yang
akan menjalani prosedur pembedahan elektif laparotomi ginekologi di
ruangan bedah sentral RS dr. Wahidin Sudirohusodo.
D. Sampel dan Cara Pengambilan Penelitian
Sampel diseleksi secara acak konsekutif dari semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan setuju ikut serta dalam penelitian
ini.
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria inklusi
a. Akan menjalani pembedahan elektif laparotomi ginekologi.
39
b. American Society of Anesthesiologist Physical Status (ASA PS)
1-2.
c. Perempuan.
d. Usia 20-50 tahun.
e. Tinggi badan diatas 150 cm.
f. IMT 18,5-25 kg/cm2.
g. Setuju ikut serta dalam penelitian.
h. Setuju dilakukan teknik anestesi dan analgesia epidural.
i. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawatnya.
2. Kriteria eksklusi
a. Adanya kontra indikasi tindakan pemasangan kateter epidural.
b. Riwayat alergi terhadap obat yang digunakan.
c. Menderita penyakit kardiovaskular, sirosis hepar dan gagal
ginjal.
d. Penggunaan OAINS terakhir kurang dari 5 hari sebelum
operasi.
3. Kriteria drop out
a. Komplikasi pembedahan.
b. Durasi operasi lebih dari 3 jam.
c. Anestesi epidural yang tidak optimal.
d. Diberikan rescue lebih dari tiga kali pasca bedah.
40
F. Perkiraan Besaran Sampel
Menurut buku Sudigdo (2002) untuk besaran sampel minimal untuk
uji klinis pada data numerik (misalnya kadar) dengan uji hipotesis terhadap
2 proporsi (standar dan perlakuan) :
n1 = n2= 2 (zα+zβ)s 2
(xa-xo)
Catatan s= simpangan baku dari pustaka
xa-x0 : clinical judgment
n1 = n2= 2 (1,96+0,842)0,5 2
(0,4)
n1=n2=24,5 →25 per kelompok.
G. Ijin Penelitian dan Rekomendasi Persetujuan Etik
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta rekomendasi
persetujuan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis
pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua
penderita yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan
dan menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian
secara sukarela. Bila karena suatu alasan, penderita berhak
mengundurkan diri dari penelitian ini.
41
H. Metode Kerja
1. Alokasi subyek
Subyek penelitian terdiri dari :
a. Kelompok perlakuan yang pada periode prabedah
laparotomi ginekologi menerima parecoxib 40 mg IV dan
analgesia epidural bupivakain 0,125% pascabedah
secara kontinyu.
b. Kelompok kontrol yang pada periode prabedah
menerima NaCl 0,9% (plasebo) dan analgesia epidural
bupivakain 0,125% pascabedah secara kontinyu.
2. Cara penelitian
a. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian menjalani
prosedur persiapan operasi elektif yang berlaku.
b. Malam hari prabedah pasien diberikan premedikasi
alprazolam tablet 0,5 mg.
c. Pengambilan sampel darah untuk memeriksa kadar IL-6 dan
IL-10 sebelum perlakuan.
d. Pada kelompok perlakuan akan diberikan parecoxib 40 mg IV
dan NaCl 0,9% 2 cc pada kelompok kontrol 35 menit
prabedah.
e. Pasien dilakukan pemasangan kateter epidural pada
interspace Th12-L1 dan kateter diarahkan cephalad 3-4 cm.
Test dose lidokain 2% 3 cc + adrenalin 1 : 200.000 untuk
42
mengetahui letak kateter epidural dan menilai kemungkinan
insersi intravaskular.
f. Setelah test dose pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol diberikan anestetik lokal bupivakain 0,5%
1-2 cc/dermatom via kateter epidural dengan target blok
Th4-S2 35 menit prabedah, dilanjutkan intermitten 50%
volume awal setiap 90 menit.
g. Diberikan sedasi dengan midazolam 0,1 mg/kgBB titrasi
dengan target skala Ramsay 3-4. .
h. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar IL-6 dan
IL-10 pada jam ke- 2 dan 24 pascabedah.
i. Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan NRS pada
jam ke-2 dan ke 24 pascabedah.
i. Bila terdapat keluhan nyeri dengan nilai NRS lebih dari 4,
maka diberikan analgetik tambahan (rescue) berupa
bupivakain 0,125% sebanyak 3 cc via epidural.
j. Selama observasi, kebutuhan analgetik tambahan, efek
samping dan tanda vital dicatat.
43
I. Alur Penelitian
Pasien yang sesuai kriteria inklusi
Pengukuran kadar IL-6 dan IL-10
Analisis dan pengolahan data
1. Pengukuran kadar IL-6 2. Pengukuran Kadar IL-10 3. Penilaian NRS
Rescue bupivakain 0,125 % 3 cc via kateter epidural bila NRS>4
Analgesia dengan bupivakain
0,125% 5 cc/jam via epidural
Pembedahan selesai
Dosis pemeliharaan anestesi epidural dengan bupivakain 0,5% 50% volume initial dose setiap 90 menit
Pembedahan dimulai
Prosedur anestesi
1. Initial dose : anestetik lokal bupivakain 0,5% sebanyak 1-2
cc/dermatom
2. Sedasi : midazolam 0,1 mg/kgBB titrasi target Ramsay 3-4
Plasebo NaCl 0,9% IV (2cc) Parecoxib 40 mg IV (2 cc)
Kelompok kontrol Pemasangan kateter epidural pada interspace Th12-L1
Test dose : Lidokain 2% 3 cc + epinefrin 1 : 200.000
Kelompok perlakuan Pemasangan kateter epidural pada interspace Th12-L1
Test dose : Lidokain 2% 3 cc + epinefrin 1 : 200.000
≥35 menit prabedah
Jam ke-12
Plasebo NaCl 0,9% IV (2cc)
Parecoxib 40 mg IV (2cc)
44
J. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
1. Identifikasi Variabel
a. Parecoxib 40 mg IV dan analgesia epidural bupivakain 0,125%.
b. NaCl 0,9% dan analgesia epidural bupivakain 0,125%.
c. ASA PS.
d. Umur.
e. Tinggi badan.
f. Indeks Massa Tubuh (IMT).
g. Lama operasi.
h. Numerical Rating Scale (NRS).
i. Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan NRS pada jam
ke-2 dan ke 24 pascabedah.
j. Bila terdapat keluhan nyeri dengan nilai NRS lebih dari 4, maka
diberikan analgetik tambahan (rescue) berupa bupivakain
0,125% sebanyak 3 cc via epidural.
k. Selama observasi, kebutuhan analgetik tambahan, efek samping
dan tanda vital dicatat.
2. Klasifikasi Variabel
1. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya
1.1. Variabel kategorikal :
a) Variabel nominal
45
Parecoxib 40 mg IV dan analgesia epidural bupivakain
0,125%.
NaCl 0,9% dan analgesia epidural bupivakain 0,125%.
b) Variabel ordinal
ASA PS, NRS.
1.2. Variabel numerik :
a) Variabel ratio
Umur, tinggi badan, IMT, lama operasi, kadar IL-6,
IL-10, ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10.
4. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya
1) Variabel bebas
Kombinasi parecoxib 40 mg IV dan analgesia epidural
dengan bupivakain 0,125%.
2) Variabel tergantung
Kadar IL-6, kadar IL-10, ratio kadar antara IL-6 dengan
IL-10, NRS.
3) Variabel kendali
ASA PS, umur, tinggi badan, IMT, lama operasi.
4) Variabel antara
Jalur neural : transduksi, konduksi, transmisi, modulasi,
persepsi.
Jalur humoral : pelepasan sitokin, inflamasi, COX-2.
46
K. Definisi Operational dan Kriteria Objektif
1. Definisi Operational
1.1. Kelompok parecoxib
Kelompok pasien yang mendapatkan parecoxib 40 mg IV
(2 cc) 35 menit sebelum operasi, anestesi epidural dengan
bupivakain 0,5% 30 menit prabedah dan intra bedah,
selanjutnya mendapatkan pengelolaan nyeri pascabedah
dengan menggunakan analgesia epidural bupivakain 0,125%
secara kontinyu.
1.2. Kelompok kontrol
Kelompok pasien yang mendapatkan plasebo NaCl 0,9% IV
(2 cc) IV 35 menit sebelum operasi, anestesi epidural dengan
bupivakain 0,5% 30 menit prabedah dan intra bedah
selanjutnya mendapatkan pengelolaan nyeri pascabedah
dengan menggunakan analgesia epidural bupivakain 0,125%
secara kontinyu.
1.3. Operasi laparotomi ginekologi
Operasi elektif yang meliputi operasi laparotomi ginekologi.
1.4. NRS
Numerical Rating Scale diukur dengan meminta pasien memilih
angka dari 0 hingga 10 yang paling sesuai untuk menujukkan
47
derajat nyeri yang mereka alami, dimana angka 0 berarti tidak
nyeri dan angka 10 berarti nyeri yang paling berat.
1.5. Nyeri pascabedah saat istirahat
Nyeri yang dirasakan pasien saat istirahat yang diukur dengan
cara subyektif dengan menggunakan NRS.
1.6. Nyeri pascabedah saat bergerak
Adalah nyeri yang dirasakan subyek saat jari-jari kaki
digerakkan secara pasif pada sisi yang telah di operasi, cara
subyektif dengan menggunakan NRS.
1.7.Tinggi badan
Dihitung dengan menggunakan alat ukur tinggi badan dengan
satuan cm.
1.8. Umur
Dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam
status penderita dan dikonfirmasi dengan penderita.
1.9. Lama operasi
Adalah rentang waktu antara insisi kulit sampai jahitan terakhir
kulit, satuan yang digunakan adalah menit.
48
1.10. Pengukuran kadar IL-6
Pemeriksaan kadar IL-6 menggunakan serum dengan human
IL-6 HS Elisa, pada saat prabedah, 2 jam pascabedah, dan
24 jam pascabedah.
1.11. Pengukuran kadar IL-10
Pemeriksaan kadar IL-10 menggunakan serum dengan
human IL-10 HS Elisa, pada saat prabedah, 2 jam
pascabedah, dan 24 jam pascabedah.
1.12. Pengukuran ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10
Pengukuran ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 pada saat
prabedah, 2 jam pascabedah, dan 24 jam pascabedah.
1.13. IMT
Indeks massa tubuh didefinisikan sebagai massa tubuh
individu dibagi dengan kuadrat dari tinggi badannya.
1.14. Jumlah total analgetik tambahan
Analgetik tambahan berupa bupivakain 0,125% 3 cc
(3,75 mg) via epidural diberikan pada semua pasien bila
mereka mengeluh nyeri sedang sampai berat (NRS lebih >4).
Jumlah total analgetik tambahan yang diberikan selama 24
jam dihitung pada masing-masing kelompok terapi.
49
2 Kriteria Objektif
2.1. Tinggi badan
Dinyatakan dalam satuan cm.
2.2. Lama operasi
Dinyatakan dalam satuan menit.
2.3. ASA PS 30 :
1) Sehat, tidak ditemukan masalah medis.
2) Menderita penyakit sistemik ringan.
3) Menderita penyakit sistemik berat, namun tidak
mengakibatkan berkurangnya kapasitas hidup.
4) Menderita penyakit sistemik yang berat dan dapat
mengancam nyawa.
5) Morbid, tidak memiliki harapan hidup dalam 24 jam.
6) Donor organ.
2.4. IMT 30 :
Dinyatakan dalam kg/m2.
< 18,5 kg/m2 : gizi kurang.
18,5 – 25 kg/m2 : normal.
>25 - <30 kg/m2 : lebih.
>30 - <35 kg/m2 : obesitas.
> 35 kg/m2 : obesitas morbid.
50
2.5. Kadar IL-6
Dinyatakan dalam pikogram (pg), meningkat bila nilai IL-6
lebih tinggi dari prabedah, tetap bila sama dengan nilai IL-6
prabedah, dan menurun bila nilai IL-6 lebih rendah dari pra
bedah.
2.6. Kadar IL-10
Dinyatakan dalam pg, meningkat bila nilai IL-10 lebih tinggi
dari prabedah, tetap bila sama dengan nilai IL-6 prabedah,
dan menurun bila nilai IL-10 lebih rendah dari pra bedah.
2.7. Ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10
Dinyatakan dalam pg, meningkat bila nilai ratio kadar antara
IL-6 dengan IL-10 lebih tinggi dari prabedah, tetap bila sama
dengan nilai ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 prabedah,
dan menurun bila nilai ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10
lebih rendah dari prabedah.
2.8. Skala nyeri berdasarkan nilai NRS 30 :
- 0 = tidak nyeri
- 1 - 3 = nyeri ringan
- 4 - 6 = nyeri sedang
- 7 - 10 = nyeri berat.
51
2.9. Jumlah analgetik tambahan
Jumlah total konsumsi bupivakain 0,125% tambahan selama
24 jam, yang lebih besar menunjukkan kualitas analgetik yang
lebih rendah, dinyatakan dalam mg.
2.10. Frekuensi pemberian analgetik tambahan
Jumlah pemberian analgetik tambahan yang diberikan dalam
satuan kali per 24 jam.
2.11. Skala Ramsay 30 :
1. Sadar atau gelisah atau keduanya.
2. Kooperatif, orientasi penuh.
3. Berespon terhadap perintah.
4. Berespon cepat terhadap rangsang glabella atau suara
yang keras.
5. Berespon lambat terhadap rangsang glabella atau suara
yang keras.
6. Tidak berespon terhadap rangsangan.
L. Pengelolaan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk
narasi, tabel atau grafik. Analisa statistik yang digunakan piranti lunak
statistik yaitu sebagai berikut: (1) Kadar IL-6, IL-10, dan ratio kadar antara
IL-6 dengan IL-10 dengan uji Mann-Whitney U dan Wilcoxon Signed Rank
52
Test. (2) Velocity menggunakan Levane test (3) Nilai NRS dengan uji
Mann-Whitney U.
M. Jadwal Penelitian
1. Persiapan
Penyusunan proposal 4 minggu.
2. Pelaksanaan
a. Pengumpulan data : 6 minggu
b. Analisa data dan penyusunan : 1 minggu
c. Pelaporan : 1 minggu.
3. Perencanaan waktu
a. Seminar proposal : minggu II Agustus 2013.
b. Pengumpulan data : minggu III Agustus - minggu IV
Oktober 2013.
c. Analisa dan penyusunan data : minggu I November 2013.
d. Pelaporan : minggu II November 2013.
4. Personalia Penelitian
1. Pelaksana : dr. Zulfikar Tahir
2. Pembimbing materi : Dr.dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-
KAP-KMN dan Dr.dr. Syafri K. Arif,
Sp.An-KIC-KAKV.
3. Pembantu pelaksana : Peserta PPDS Anestesiologi UNHAS
53
N. Rencana Anggaran
Tabel 2. Rencana anggaran penelitian
Unit Harga
satuan
Jumlah Harga
A. Alat:
I/V line No. 18 14.798 50 591.920
Intravenous Set 22.375 50 895.000
Syringe5cc 1.307 50 52.280
Syringe3cc 1.827 50 73.080
Epidural set 233.351 50 9.334.040
ECG electrodes 5.000 150 600.000
A.Jumlah AnggaranAlat 9.666.320
B. Bahan
Crystalloids –RL 8.191 26 327.640
Crystalloids –NaCL 9.808 26 392.320
Bupivakain 0.5% 127.060 26 5.082.400
Reagen pemeriksaan IL-6 9.000.000 2 18.000.000.
Reagen pemeriksaan IL-10 9.000.000 2 18.000.000.
Parecoxib 150.000 25 1.950.000
Midazolam 50.000 50 1.300.000
B. Jumlah Anggaran
Bahan
34.132.360
Penyajian
Foto copy 100 1500 150.000
Jilid 10.000 20 200.000
Tinta computer 400.000 1 400.000
Alat tulis 50.000 1 (set) 50.000
Konsumsi 1.000.000
C. Jumlah Anggaran
Penyajian 1.800.000
Jumlah Anggaran
(A+B+C)
45.598.680
54
BAB VI
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2013 sampai dengan
Oktober 2013 di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Dilakukan
terhadap 50 pasien yang bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi
kriteria inklusi. Kemudian dari 50 pasien tersebut dibagi dalam 2 kelompok
secara acak agar variasi individu terbagi secara merata pada kedua
kelompok. Semua pasien menjalani pembedahan laparotomi ginekologi
dengan jenis anestesi epidural. Selanjutnya kelompok yang menerima
kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia epidural bupivakain
0,125% disebut kelompok parecoxib dan kelompok yang menerima
analgesia epidural bupivakain 0,125% dengan plasebo disebut kelompok
kontrol.
A. Karakterisitik Sampel Penelitian
Karakterikstik sampel kedua kelompok berupa umur, IMT, durasi
pembedahan, konsumsi anestetik lokal intrabedah, serta sebaran
diagnosis dan tindakan yang dilakukan. Hasil uji homogenitas antara
kedua kelompok dapat dilihat dari tabel 3 dan tabel 4.
Dari tabel 3 dan tabel 4 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan
perbedaan bermakna dari data demografi pada kedua kelompok
penelitian. Sehingga karakteristik dari 50 sampel penelitian dinyatakan
homogen.
55
Tabel 3. Perbandingan sebaran umur, IMT, durasi pembedahan dan anestetik lokal
pada kedua kelompok
Variabel
Kelompok Parecoxib
(n=25) Kelompok Kontrol (n=25)
p
Min Maks Rerata±SD Min Maks Rerata±SD
Umur 35 54 44,16±5,10 36 55 44,76±5,61 0,733
IMT 20 23 21,72±0,89 20 23 21,36±0,91 0,186
Durasi
pembedahan 60 130 101,60±15,46 40 150 106,60±18,41 0,251
Anestetik
local 220 265,5 248,5±18,03 220 272,5 246,53±17,02 0,818
Uji Mann-Whitney U test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. Tidak ada
perbedaan yang bermakna
Tabel 4. Perbandingan sebaran diagnosa dan tindakan pada kedua kelompok
Variabel
Kelompok Parecoxib
(n = 25)
Kelompok Kontrol (n = 25) p
n % n %
Diagnosa Tumor ovarium 8 32 11 44
0,561 Tumor uterus 17 68 14 56
Tindakan
Histerektomi 20 80 21 82
0,836 Miomektomi 3 12 3 12
Salfingooferektomi 2 8 1 4
Uji Chi–Square test. Data disajikan dalam bentuk persentase. Tidak ada perbedaan yang bermakna.
B. Kadar IL-6
Untuk mengamati perbandingan kadar IL-6 sebagai respon
inflamasi, dilakukan pengukuran kadar IL-6 secara serial, yaitu pada saat
prabedah, 2 jam, dan 24 jam pascabedah. Hasil analisa dari pengukuran
kadar IL-6 pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 5.
56
Tabel 5. Perbandingan kadar IL-6 pada kedua kelompok
Variabel
Kadar IL-6 (pg)
p Kelompok Parecoxib
(n=25) Kelompok Kontrol
(n=25)
Min Maks Rerata±SD Min Maks Rerata±SD
Awal 1,25 19,79 7,78±7,25 0,84 17,81 5,02±4,69 0,282
2 jam pascabedah
1,68 20,08 14,78±5,89 1,24 20,06 14,17±6,31 0,764
24 jam pascabedah
6,25 20,48 16,53±4,24 1,41 20,5 14,61±6,21 0,421
Uji Mann-Whitney U test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. Tidak ada perbedaan yang bermakna.
Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar IL-6 prabedah pada kelompok
parecoxib memiliki rerata 7,78 pg/mL dengan nilai simpang baku
±7,25 pg/mL, untuk 2 jam pascbedah adalah 14,78±5,89 pg/mL dan 24 jam
pascabedah adalah 16,53±4,24 pg/mL.
Pada kelompok kontrol, kadar IL-6 prabedah adalah 5,02±4,69
pg/mL, untuk 2 jam pascabedah adalah 14,17±6,31 pg/mL, dan pada
24 jam pascabedah 14,61±6,21 pg/mL.
Pada tabel 4 terlihat bahwa tidak ada perbedaan kadar IL-6 yang
signifikan antara kedua kelompok, baik pada awal pengukuran 2 jam
pascabedah, maupun pada 24 jam pascabedah.
57
Grafik 1. Perbandingan kadar IL-6 pada kedua kelompok. Data disajikan dalam
bentuk rerata±SD.
Pada gambar 8 menunjukkan adanya perbedaan pada kedua
kelompok, namun pada uji statistik dinyatakan tidak bermakna.
Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat perubahan kadar IL-6 pada
masing-masing kelompok di waktu penilaian 2 jam pascabedah dan
24 jam. Pada kelompok parecoxib terdapat perbedaan signifikan dengan
rerata kadar IL-6 antara waktu pengukuran 2 Jam dengan waktu awal dari
7,78 pg/mL dengan simpang baku ±7,25 pg/mL menjadi 14,78 pg/mL
dengan simpang baku ±5,89 pada 2 jam pascabedah (p<0,05). Kadar IL-6
4 jam meningkat 90% dari nilai awal. Terdapat perbedaan signifikan rerata
kadar IL-6 antara waktu pengukuran 24 jam dengan waktu awal (p<0,05).
Kadar IL-6 24 jam meningkat dari rerata 7,78 pg/mL menjadi 16,53 pg/mL
(peningkatan 112,5%).
Pada kelompok kontrol didapatkan perbedaan signifikan rerata
kadar IL-6 antara waktu pengukuran 2 jam pascabedah dengan waktu
awal (p<0,05). Kadar IL-6 4 jam meningkat dari 5,02 pg/mL dengan
simpang baku ±4,69 pg/mL menjadi 14,17 pg/mL dengan simpang baku
0 2 4 6 8
10 12 14 16 18 20
Awal 2 jam pascabedah
24 jam pascabedah
Kad
ar IL
-6 (
pg)
Kelompok parecoxib
Kelompok kontrol
58
±6,31 (peningkatan 182,3%). Terdapat pula perbedaan signifikan rerata
kadar IL-6 antara waktu pengukuran 24 jam dengan waktu awal (p<0,05).
Kadar IL-6 24 jam meningkat dari 5,02 pg/mL menjadi 14,61 pg/mL
(peningkatan 191,0%).
Tabel 6. Perbandingan kadar IL-6 antar waktu pengukuran pada masing-masing
kelompok
Kelompok Kadar IL-6 (pg)
p Waktu Min Maks Rerata±SD
Parecoxib
Awal 1,25 19,79 7,78±7,25 0,002
*
2 jam pascabedah 1,68 20,08 14,78±8,29
Awal 1,25 19,79 7,78±7,25 0,000
*
24 jam pascabedah 6,25 20,48 16,53±4,24
Kontrol
Awal 0,84 17,81 5,02±4,69 0,000
*
2 jam pascabedah 1,24 20,06 14,17±6,31
Awal 0,84 17,81 5,02±4,69 0,000
*
24 jam pascabedah 1,41 20,5 14,61±6,21
Uji Wilcoxon-Signed test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. *p <0,05, bermakna
secara signifikan.
C. Kadar IL-10
Hasil analisis dinamika IL-10 serum pada kedua kelompok dapat
dilihat pada tabel 7. Perbedaan kadar IL-10 serum pada kedua kelompok
pada setiap waktu pengamatan dianalisis dengan Mann Whitney U Test
karena data kadar IL-10 tidak berdistribusi normal pada masing-masing
kelompok.
Tabel 7 menunjukkan bahwa selama waktu pengamatan pada
kelompok parecoxib, kadar IL-10 bervariasi antara 27,23-52,03 pg/mL
dengan rerata 32,57 pg/mL dengan nilai simpang baku ±5,44 pg/mL;
sedangkan pada kelompok kontrol bervariasi 24,71-58,17 pg/mL dengan
rerata 32,58 pg/mL dengan nilai simpang baku ±9,16 pg/mL. Pada
59
keadaan prabedah, nilai rata-rata kadar IL-10 pada kelompok parecoxib
hampir sama dengan kelompok kontrol. Rerata kadar IL-10 prabedah
hingga 2 jam pascabedah tidak berubah, dan 24 jam pascabedah dengan
hasil analisis Mann Whitney U Test menunjukkan tidak ada perbedaan
yang bermakna (p>0,05).
Tabel 7. Perbandingan kadar IL-10 pada kedua kelompok
Variabel
Kadar IL-10 (pg)
p Kelompok Parecoxib
(n=25) Kelompok Kontrol
(n=25)
Min Maks Rerata±SD Min Maks Rerata±SD
Awal 27,23 52,03 32,57±5,44 24,71 58,17 32,58±9,16 0,095
2 jam pascabedah
26,12 83,67 40,23±11,79 25,48 77,88 42,62±14,73 0,907
24 jam pascabedah
24,9 51,77 34,27±6,44 27,23 63,32 38,21±9,73 0,071
Uji Mann-Whitney U test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. Tidak ada perbedaan
yang bermakna.
Gambar 9 menunjukkan dinamika rerata kadar IL-10 pada kedua
kelompok selama waktu pengamatan. Rerata kadar IL-10 prabedah pada
kedua kelompok adalah sama dan setelah 2 jam, rerata IL-10 mengalami
peningkatan. Pada pengamatan 24 jam pascabedah, rerata kadar IL-10
pada kedua kelompok mengalami penurunan.
Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat perubahan kadar IL-10 pada
masing-masing kelompok di waktu penilaian 2 jam dan 24 jam
pascabedah. Pada kelompok parecoxib terdapat perbedaan signifikan
dengan rerata kadar IL-10 antara waktu pengukuran 2 Jam dengan waktu
awal dari 32,57 pg/mL dengan simpang baku ±7,25 pg/mL menjadi 40,23
pg/mL dengan simpang baku ±11,79 pg/mLpada 2 jam pascabedah
60
(p<0,05). Rerata kadar IL-10 antara waktu pengukuran 24 jam dengan
waktu awal tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Grafik 2. Perbandingan kadar IL-10 pada kedua kelompok. Data disajikan dalam
bentuk rerata±SD.
Pada kelompok kontrol didapatkan perbedaan signifikan rerata
kadar IL-10 antara waktu pengukuran 2 jam pascabedah dengan waktu
awal (p<0,05). Kadar IL-10 2 jam meningkat dari 32,58 pg/mL dengan
simpang baku ±5,44 pg/mL menjadi 42,62 pg/mL dengan simpang baku
±14,73 pg/mL. Terdapat pula perbedaan signifikan rerata kadar IL-10
antara waktu pengukuran 24 jam dengan waktu awal (p<0,05). Kadar
IL-10 24 jam meningkat dari 32,58 pg/mL menjadi 38,21 pg/mL.
0
10
20
30
40
50
60
Awal 2 jam pascabedah
24 jam pascabedah
Kad
ar IL
-10
(p
g)
Kelompok parecoxib
Kelompok kontrol
61
Tabel 8. Perbandingan kadar IL-10 antar waktu pengukuran pada masing-masing
kelompok
Kelompok Kadar IL-10 (pg)
p Waktu Min Maks Rerata±SD
Parecoxib
Awal 27,23 52,03 32,57±5,44 0,002
*
2 jam pascabedah 26,12 83,67 40,23±11,79
Awal 27,23 52,03 32,57±5,44 0,349
24 jam pascabedah 24,9 51,77 34,27±6,44
Kontrol
Awal 24,71 58,17 32,58±9,16 0,000
*
2 jam pascabedah 25,48 77,88 42,62±14,73
Awal 24,71 58,17 32,58±9,16 0,005
*
24 jam pascabedah 27,23 63,32 38,21±9,73
Uji Wilcoxon-Signed test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. *p < 0,05., bermakna secara signifikan
D. Ratio Kadar antara IL-6 dengan IL-10
Tabel 9. Perbandingan ratio kadar IL-6 dengan IL-10 pada kedua
kelompok
Variabel
Ratio kadar IL-6 dengan IL-10
p Kelompok Parecoxib
(n=25) Kelompok Kontrol
(n=25)
Min Maks Rerata±SD Min Maks Rerata±SD
Awal 0,04 0,62 0,23±0,21 0,02 0,68 0,16±0,16 0,295
2 jam pascabedah
0,04 0,71 0,39±0,18 0,04 0,73 0,37±0,20 0,59
24 jam pascabedah
0,2 0,79 0,48±0,14 0,04 0,7 0,40±0,19 0,14
Uji Mann-Whitney U test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. Tidak ada
perbedaan yang bermakna
Tabel 9 menunjukkan bahwa selama waktu pengamatan pada
kelompok parecoxib, ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 serum
bervariasi antara 0,04-0,79 pg/mL dengan rerata antara 0,23-0,48 pg/mL;
sedangkan pada kelompok kontrol bervariasi 0,02-0,73 pg/mL dengan
rerata antara 0,16-0,40 pg/mL. Pada saat prabedah rerata ratio kadar
hampir sama pada kedua kelompok. Setelah 2 jam, rerata pada kedua
62
kelompok meningkat, tetapi peningkatan median pada kelompok
parecoxib sedikit lebih rendah daripada kelompok kontrol, terutama pada
pengamatan 24 jam pascabedah, namun berdasarkan hasil analisis
Mann-Whitney U Test menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
(p>0,05).
Gambar 10 menunjukkan dinamika rerata ratio kadar antara IL-6
dengan IL-10 serum pada kedua kelompok selama waktu pengamatan.
Rerata ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 sama pada kedua kelompok
prabedah. Dua jam pascabedah keduanya mengalami peningkatan akan
tetapi kelompok parecoxib lebih rendah. Pada pengamatan 24 jam
pascabedah, rerata ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 pada kedua
kelompok meningkat lagi secara perlahan.
Grafik 3. Perbandingan ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 pada kedua
kelompok. Data disajikan dalam rerata±SD.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Awal 2 jam pasacabedah
24 jam pascabedah
Rat
io IL
-6 :
IL-1
0
Kelompok parecoxib
Kelompok kontrol
63
E. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri pada penelitian ini diamati dengan menggunakan
NRS saat istirahat maupun bergerak pada 2 jam pascabedah, 12 jam,
dan 24 jam pascabedah, selama rentang waktu 24 jam pascabedah bila
NRS > 4 akan diberikan tambahan analgetik.
Dari tabel 10 didapatkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
rerata skor NRSi 2 jam pascabedah diantara kedua kelompok sampel
(p>0,05), demikian pula pada penilaian NRSi 12 jam dan 24 jam
pascabedah. Tidak ada perbedaan signifikan rerata NRSb 2 jam
pascabedah diantara kedua kelompok sampel (p>0,05), begitu pula pada
uji signifikansi statistik pada skor NRSb pada masing-masing kelompok
sampel.
Tabel 10. Perbandingan sebaran NRSi dan NRSb pada kedua kelompok
Variabel
Kelompok Parecoxib (n = 25)
Kelompok Kontrol (n = 25) p
Min Maks Rerata Min Maks Rerata
NRSi jam ke-2 0 0 0 0 0 0 1,000
NRSb jam ke-2 0 0 0 0 0 0 1,000
NRSi jam ke-12 1 3 2 2 2 2 1,000
NRSb jam ke-12 1 3 3 2 3 3 0,967
NRSi jam ke-24 1 2 2 1 2 2 1,000
NRSb jam ke-24 1 3 2 1 2 2 0,106
Uji Mann-Whitney U test. Data disajikan dalam bentuk rerata. Tidak ada perbedaan yang bermakna.
64
Grafik 4. Perbandingan rerata NRSi dan NRSb pada kedua kelompok. Data disajikan dalam bentuk rerata. ns : non significant.
F. Kebutuhan Analgetik
Kebutuhan analgetik pada penelitian ini dijelaskan dalam jumlah
analgesia epidural selama pemantauan pascabedah hingga 24 jam dan
jumlah proporsi pasien yang mendapatkan rescue analgetik dalam 24 jam
pada masing-masing kelompok.
Tabel 11. Perbandingan sebaran rescue analgetik pada kedua kelompok
Rescue
Kelompok Parecoxib (n = 25)
Kelompok Kontrol (n = 25) p
n % n %
Mendapat 2 8 7 18 0,138
Tidak mendapat 23 92 18 72
Uji Chi–Square test. Data disajikan dalam bentuk persentase. Tidak ada perbedaan yang bermakna.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
NRSi jam ke-2
NRSb jam ke-2
NRSi jam
ke-12
NRSb jam
ke-12
NRSi jam
ke-24
NRSb jam
ke-24
NR
S
Waktu pengukuran
Kelompok parecoxib
Kelompok kontrol
ns
ns ns
ns ns ns
65
Grafik 5. Perbandingan sebaran rescue analgetik pada kedua kelompok. Data
disajikan dalam bentuk persentase.
Tabel 11 menunjukkan pada kelompok parecoxib terdapat 2 dari 25
pasien (28%) yang mendapatkan rescue sedangkan kelompok kontrol,
sebanyak 7 dari 25 pasien mendapatkan rescue (28%). Perbandingan
proporsi dalam mendapatkan rescue analgetik antara 2 kelompok tidak
bermakna secara statistik.
Tabel 12 menunjukkan rerata kebutuhan analgetik pascabedah
kelompok parecoxib adalah 128,06 mg dengan simpang baku ±12,01 mg
sedangkan pada kelompok kontrol dengan rerata 132,29 mg dan simpang
baku ±8,06 mg. Dimana dengan uji statistik kedua kelompok tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna.
0
20
40
60
80
100
Kelompok Parecoxib
Kelompok Kontrol
Per
sen
tase
Mendapat rescue
Tidak mendapat rescue
ns
ns
66
Tabel 12. Perbandingan kebutuhan analgetik bupivakain pada kedua kelompok
Variabel
Bupivakain (mg)
p Parecoxib
(n=25) Kontrol (n=25)
Min Maks Rerata±SD Min Maks Rerata±SD
Bupivakain pascabedah
108 145,5 128±12,01 107,5 145,5 132,29±8,06 0,252
Uji Mann-Whitney U test. Data disajikan dalam bentuk rerata±SD. Tidak ada perbedaan yang bermakna.
Gambar 12 menunjukkan adanya perbedaan kebutuhan analgetik
bupivakain pascabedah selama 24 jam namun menurut statistik tidak
bermakna (p>0,05).
Grafik 6. Perbandingan kebutuhan analgetik bupivakain pascabedah pada kedua
kelompok. Data disajikan dalam rerata±SD. ns: non significant
125
126
127
128
129
130
131
132
133
Kelompok Parecoxib Kelompok Kontrol
Tota
l (m
g)
ns
67
BAB VII
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan
kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia epidural 0,125%
terhadap ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 dan intensitas nyeri
pascabedah laparatomi ginekologi.
A. Kadar IL-6
Pembedahan dihubungkan dengan terjadinya kerusakan jaringan
yang menyebabkan suatu kaskade yaitu terkait nosisepsi dan respon
inflamasi baik lokal dan sistemik, diiringi dengan peningkatan sitokin
proinflamasi, termasuk didalamnya IL-623. Sitokin proinflamasi IL-6 adalah
mediator yang menduduki porsi terbanyak dalam respon fase protein akut
terhadap kerusakan jaringan akibat pembedahan. Diantara respon tubuh
terhadap pembedahan, dilaporkan bahwa kadar IL-6 adalah merupakan
indikator stres pembedahan yang sensitif. Konsentrasi IL-6 dalam sirkulasi
secara normal rendah dan bisa saja tidak dapat dideteksi (Hudspith dkk.,
2003).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar IL-6 awal yang
bervariasi pada 2 kelompok, namun perbedaan antara keduanya tidak
bermakna. Selain berhubungan dengan inflamasi akibat trauma atau
pembedahan, beberapa peneliti menghubungkan kadar IL-6 plasma
dengan tumor, yaitu Coward dkk yang menghubungkannya dengan tumor
68
ovarium34 dan Ravishankaran dkk dengan tumor payudara33. Setelah
terjadi trauma, konsentrasi IL-6 dalam plasma dapat dideteksi dalam 60
menit dan puncaknya antara 4-6 jam, mulai menurun antara 24-48 jam
pascatrauma namun dapat bertahan hingga 10 hari. Interleukin-6 ini
merupakan penanda yang paling sesuai dengan derajat kerusakan
jaringan, semakin lama kadar IL-6 dalam plasma besar morbiditas
pascabedah (Jun-Hua dkk., 2006).
Teori mengenai kadar konsentrasi IL-6 sejalan dengan hasil kedua
kelompok. Pada penelitian ini,yang telah dilakukan pengambilan serum
darah untuk melihat kadar IL-6 pada sebelum pembedahan sebagai data
dasar, dilanjutkan 2 jam dan 24 pascabedah, ditemukan bahwa dinamika
kadar IL-6 mengalami kenaikan pada jam ke 2 dan 24 pascabedah
dibandingkan kadar IL-6 sebelum pembedahan (p<0,05).
Pada gambar 8 menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-6 pada
kedua kelompok dimana peningkatan terjadi pada 2 jam pascabedah dan
semakin meningkat pada 24 jam pascabedah. Hal ini sejalan yang dengan
hasil penelitian Esme dkk mendapatkan kadar puncak IL-6 pada 24 jam
pascabedah9.
Pada masing-masing kelompok menunjukkan adanya peningkatan
kadar IL-6 pada 2 jam dan 24 jam pascabedah, dimana pada kelompok
parecoxib peningkatan pada 2 jam pascabedah adalah 90% dari nilai awal
dan pada 24 jam meningkat 112,5% dari nilai awal. Pada kelompok
kontrol, kadar IL-6 2 jam pascabedah meningkat 182,3% dan pada 24 jam
69
meningkat 191% dari rerata awal kadar IL-6 yang diukur. Hasil penelitian
menunjukkan peningkatan pada kelompok parecoxib lebih rendah
dibanding kelompok kontrol, namun saat dilakukan uji statistik, perbedaan
tersebut tidak bermakna. Pola peningkatan kadar IL-6 ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Beilin dkk pada pasien yang menjalani bedah
abdomen bawah dengan menggunakan teknik analgesia epidural
preemptif yang dilanjutkan dengan PCEA didapatkan bahwa kadar IL-6
meningkat selama 24 jam pertama pascabedah (p<0,03) namun lebih
rendah dibandingkan kelompok yang mendapatkan PCA dengan morfin,
dan kelompok yang mendapatkan IOR (Beilin dkk., 2003).
Hasil penelitian pada 2 jam pascabedah tidak sejalan dengan
penelitian preemptif analgesia oleh Xu dkk pada pemberian parecoxib
40 mg IM yang menjalani pembedahan oftamologi dengan anestesi
umum, dimana bahwa kadar IL-6 plasma pada pascabedah dini menurun
(p<0,01). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kadar IL-6 pascabedah sangat
berhubungan dengan besarnya kerusakan dan trauma yang terjadi, selain
itu lokasi pembedahan yang hanya melibatkan nyeri somatik akan
memberikan hasil yang berbeda dengan pembedahan yang melibatkan
nyeri somatik dan visera sebagaimana pada penelitian ini35. Pada
penelitian oleh Aida dkk menunjukkan bahwa analgesia preemtif terbukti
efektif pada pembedahan yang hanya melibatkan nyeri somatik seperti
bedah ekstremitas dan mastektomi, namun tidak efektif pada
pembedahan gastrektomi, appendiktomi, dan histerektomi. Aida
70
menjelaskan bahwa nosiseptif pada visero-peritoneal sangat berpengaruh
pada nyeri pascabedah yang melibatkannya. Organ viseral dan
peritoneum dipersarafi secara heterosegmental dan secara segmental
oleh nervus spinalis (Aida dkk., 1999).
Penelitian oleh Buvanendran dkk (2006) menunjukkan bahwa tidak
ditemukan perbedaan kadar IL-6 plasma pada kelompok yang
mendapatkan COX-2 inhibitor dan kelompok kontrol pada pasien yang
menjalani pembedahan arthroplasti sendi panggul, namun penurunan
bermakna pada kadar IL-6 cairan serebrospinalis.
B. Kadar IL-10
Kerusakan jaringan akibat pembedahan menimbulkan reaksi
inflamasi lokal yang akan mengiringi peningkatan kadar sitokin
proinflamasi. Sitokin tersebut dapat menginduksi sensitisasi sistem saraf
pusat dan perifer untuk menimbulkan hiperalgesia. Akibat adanya umpan
balik antara nosiseptif dan sitokin proinflamasi, maka tidak mustahil nyeri
menyebabkan kadar sitokin proinflamasi meningkat. Sementara itu, kadar
sitokin antiinflamasi juga meningkat untuk mempertahankan hemostasis
termasuk IL-10 (Tang Ching., 2003).
Neidhardt dkk (1992) menyatakan bahwa trauma menyebabkan
peningkatan pelepasan IL-10 yang tergantung pada keparahan cedera.
Naito dkk menyatakan bahwa IL-10 menghambat produksi PGE2 pada
monosit yang distimulasi oleh endotoksin dan tergantung pada dosisnya.
71
Shimizu dkk juga menemukan bahwa OAINS meningkatkan pelepasan
IL-10 pada makrofag perotonium murine yang terinfeksi oleh
Mikobacterium avium secara in vitro. Perubahan kadar IL-10 akibat
pemberian OAINS tampaknya menginduksi efek antiinflamasi dengan cara
menghambat produksi PGE2 melalui pelepasan IL-10.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar IL-10 pada kelompok
parecoxib maupun kontrol meningkat pada 2 jam dan 24 jam pascabedah,
namun tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada kedua
kelompok. Kami mengamati bahwa nilai maksimum IL-10 pada kedua
kelompok terjadi pada dua jam pascabedah dan ini menandakan adanya
suatu mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dengan
sitokin proinflamasi. Hal ini kemungkinan disebabkan dengan analgesia
epidural maupun kombinasi epidural-parecoxib ternyata tidak
menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi secara dramatis, sehingga
kadar sitokin antiinflamasi kedua kelompok juga meningkat secara stabil.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad MR (2012), yang menyatakan bahwa kadar IL-10 pada kelompok
epidural preemptif bupivakain 0,125% dan plasebo sama-sama meningkat
namun tidak bermakna secara statistik.
Kato dkk (1997) yang melakukan penelitian pada pasien yang
menjalani pembedahan pembedahan abdomen atas dengan Combine
Epidural Genaeral Anesthesia (CEGA) mendapatkan bahwa kadar sitokin
antiinflamasi IL-10, IL-8, dan IL-6 meningkat selama dan setelah
72
pembedahan, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar plasma IL-10
dapat berfungsi sebagai indikator yang berguna dari besarnya stres
pembedahan selama periode pembedahan. Yang menarik adalah
terdapatnya hubungan antara kadar plasma puncak dari tiga sitokin
yang berbeda yaitu, IL-6, IL-8, dan IL-10. Interleukin-10 telah terbukti
menghambat sintesis IL-6 dan IL-8 oleh monosit. Dari penelitian ini
menunjukkan bahwa IL-10 bertindak sebagai antagonis alami dari sitokin
proinflamasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahdy dkk (2007) yang
membandingkan efek pemberian natrum diklofenak pada pasien yang
menjalani pembedahan mayor dengan anestesi CEGA didapatkan bahwa
kadar IL-6 menurun sedangkan kadar IL-10 meningkat secara bermakna
pada kelompok pasien yang mendapatkan natrium diklofenak.
Peningkatan kadar IL-10 diduga sebagai akibat pemberian diklofenak,
dimana peningkatan IL-10 selanjutnya akan menurunkan kadar IL-6.
Kim dkk (2001) melakukan penelitian pada 22 pasien yang
menjalani pembedahan histerektomi abdominal, menemukan bahwa pada
kelompok analgesia kombinasi morfin dan ketorolak didapatkan kadar
sitokin IL-6 meningkat setelah pembedahan dan tetap bertahan selama 24
jam sementara kadar Il-10 mencapai puncaknya 2 jam pascabedah dan
menurun dengan cepat. Didapatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan
kadar IL-6 pada 24 jam pascabedah sementara IL-10 berbeda signifikan
pada 4 jam pascabedah. Sitokin antiinflamasi IL-10 berperan penting
73
dalam mengurangi produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan. Sitokin
antiinflamasi juga meningkat selama pembedahan dalam sirkulasi darah
untuk mempertahankan keseimbangannya dengan sitokin proinflamasi.
Efek antiinflamasi IL-10 dan sintesis PGE2 tampaknya saling
mempengaruhi. Perubahan kadar IL-10 akibat pemberian OAINS
tampaknya menginduksi efek antiinflamasi dengan cara menghambat
produksi PGE2 melalui pelepasan IL-10.
C. Ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10
Sitokin antiinflamasi IL-10 telah diketahui dapat menurunkan
produksi IL-6 oleh monosit manusia. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa IL-10 diinduksi oleh sitokin proinflamasi dan
endotoksin, dan bahwa IL-10 mengurangi respon sitokin. Neidhardt dkk
telah meneliti bahwa trauma menyebabkan pelepasan sitokin IL-10
dimana kadar yang dilepaskan tergantung pada tingkat keparahan
cedera (Xu dkk., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahdy dkk (2007) terhadap
pengaruh natrium diklofenak terhadap kadar IL-6 dan IL-10 pada pasien
yang menjalani pembedahan urologi didapatkan bahwa pemberian
natrium diklofenak dapat mengurangi kadar IL-6 secara signifikan
dibanding plasebo pada 12 jam pascabedah, sementara kadar IL-10
ditemukan bermakna dibanding plasebo pada 6 jam pascabedah.
Penurunan kadar IL-6 diduga oleh karena penurunan produksi
74
prostaglandin dan cyclic Adeno Monophosphate (cAMP) akibat pemberian
natrium diklofenak, yang mengakibatkan penurunan kadar IL-6.
Peningkatan kadar IL-10 diduga juga akibat penurunan kadar
prostaglandin.
Berdasarkan atas fungsi fisiologis, IL-6 dikategorikan sebagai
sitokin proinflamasi sedang IL-10 diklasifikasikan sebagai sitokin
antiinflamasi. Untuk mempertahankan homeostasis imun, diperlukan
keseimbangan antara efek kedua sitokin. Ketidakseimbangan antara
proinflamasi dan antiinflamasi sitokin dikaitkan dengan berkurangnya
kelangsungan hidup (Kim dkk., 2001).
Kim dkk (2001) meneliti efek pemberian ketorolak terhadap kadar
IL-6 dan IL-10 dalam plasma pada 22 pasien yang menjalani pembedahan
abdominal histerektomi dan menyimpulkan bahwa penggunaan ketorolak
dapat mengubah respon sitokin dan menyebabkan peningkatan respon
imun selama periode pascabedah. Pada kedua kelompok, didapatkan
bahwa kadar IL-6 meningkat segera pascabedah dan masih konsisten
hingga 24 jam, sedang kadar IL-10 mencapai puncak dalam 2 jam
pascabedah tetap konsisten kadarnya hingga 24 jam pascabedah.
Penelitian yang dilakukan oleh Wu dkk (2003) mengenai efek
parecoxib 80 mg pada 306 pasien yang menjalani pembedahan katup
mitral dengan cardio pulmonal bypass (CPB), mendapatkan bahwa
parecoxib dapat menurunkan kadar sitokin proinflamasi IL-6. Kadar serum
IL-6 pada kedua kelompok mencapai puncaknya pada 2 jam setelah akhir
75
CPB. Pasien pada kelompok parecoxib menunjukkan kadar plasma IL-10
lebih tinggi secara signifikan pada akhir CPB dibanding kelompok
plasebo.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan diatas, terdapat
perbedaan dari hasil penelitian yang kami lakukan mengenai efek
parecoxib 40 mg terhadap kadar ratio antara IL-6 dengan IL-10. Pada
penelitian ini, kami mendapatkan bahwa pada kelompok parecoxib, ada
perbedaan ratio kadar IL-6 dan IL-10 yang lebih tinggi dibanding kontrol,
walaupun dari statistik tidak bermakna.
D. Intensitas nyeri
Inflamasi perifer menyebabkan aktifasi jalur otak ke medulla
spinalis, yang menuju hiperalgesia, hal ini tergantung dari aktifasi
mikroglia dan astrosit di medulla spinalis. Secara anatomi astrosit dan
mikroglia jelas diaktifasi oleh inflamasi perifer, hal ini terbukti dengan
meningkatnya ekspresi dari aktifasi glia-spesific marker. Pelepasan sitokin
IL-6 diduga terlibat dalam aktifasi mikroglia ini (Buvanendran., 2009).
Beberapa penemuan menyatakan bahwa kemungkinan IL-6 ikut
serta dalam modulasi nyeri. Produksi IL-6 diproduksi ketika adanya trauma
jaringan, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dan masuk ke SSP yang
mana konsentrasinya sejalan dengan luasnya kerusakan jaringan
kemudian dalam 24-36 jam jumlahnya dapat menurun kembali.
Berdasarkan teori ini maka dapat dijelaskan bahwa IL-6 dapat
76
menyebabkan allodinia dan hiperalgesia melalui produksi PG baik perifer
maupun sentral (Jongh dkk., 2003).
Saat ini adalah merupakan suatu pilihan dalam mencegah
hipersensitifitas terhadap nyeri inflamasi adalah dengan menghambat
produksi PGEs baik perifer maupun sentral dengan pemberian COX-2
inhibitor (Samad dkk., 2002).
Pada hasil penelitian ini didapatkan NRSi dan NRSb prabedah dan
pascabedah tidak berbeda antara dua kelompok (p>0,05). Sehingga dapat
dikatakan bahwa secara klinis tidak ada perbedaan NRSi maupun NRSb
pada waktu pengamatan yaitu 2 jam, 12 jam, dan 24 pascabedah.
Proporsi pasien yang memerlukan rescue lebih banyak pada
kelompok kontrol dibandingkan kelompok parecoxib namun tidak
bermakna secara statistik. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Xu dkk (2010) dan Esme dkk (2011)
bahwa pemberian COX-2 inhibitor memiliki intensitas nyeri yang lebih
rendah dibanding grup kontrol. Namun dengan mempertimbangkan bahwa
kedua kelompok mendapatkan analgetik epidural pascabedah, penelitian
ini sejalan dengan penelitian oleh Beilin dkk yang menunjukkan bahwa
analgesia epidural kombinasi antara anestetik lokal dan opioid dapat
mempertahankan Visual Analog Scale (VAS) 1-3 (nyeri ringan), seperti
yang terlihat pada kedua kelompok penelitian ini.
Konsep multimodal analgesia telah diperkenalkan lebih dari satu
dekade yang lalu sebagai suatu teknik untuk meningkatkan efek analgesia
77
dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan
penggunaan opioid. Strategi ini mengutamakan tercapainya analgesia
yang optimal dengan cara penambahan analgesia yang bekerja sinergis
dari kelas analgetik yang berbeda dan mekanisme yang berbeda. Hal ini
menyebabkan dosis obat individual berkurang dan menurunnya efek yang
tidak diharapkan dari obat tertentu yang digunakan pada perioperatif. Saat
ini American Society of Anesthesiologist Task Force on Acute Pain
Management menganjurkan penggunaan analgesia multimodal ini
(Buvanendran dkk., 2009).
Pemikiran penggunaan teknik analgesia multimodal ini untuk
mengurangi respon stres akibat pembedahan, menurunkan nyeri saat
bergerak, mempercepat penyembuhan pascabedah dan meningkatkan
perbaikan klinis seiring dengan meminimalkan efek samping
(Buvanendran dkk., 2009).
78
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dinamika ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 kombinasi parecoxib
40 mg IV dengan analgesia epidural bupivakain 0,125% sama
dengan analgesia epidural tunggal.
2. Kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia epidural
bupivakain 0,125% dapat menurunkan kebutuhan anestetik lokal
pascabedah dan rescue analgesia epidural pada pasien yang
menjalani pembedahan laparatomi ginekologi
B. Saran
1. Saran akademik
a. Perlu adanya penelitian lanjutan pada penggunaan kombinasi
COX-2 inhibitor dan analgesia epidural dengan waktu pengamatan
yang lebih sering dan panjang.
b. Perlu adanya penelitian lanjutan pada penggunaan kombinasi
COX-2 inhibitor dan analgesia epidural dengan pengukuran kadar
biomarker yang lain.
79
c. Perlu adanya penelitian lanjutan pada penggunaan kombinasi
COX-2 inhibitor dan analgesia epidural dengan jenis pembedahan
yang lebih spesifik.
2. Saran klinik
a. Menggunakan kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan modalitas
lain, termasuk analgesia epidural bupivakain 0,125% ini pada jenis
pembedahan lain sebagai analgesia multimodal.
b. Menggunakan kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia
epidural bupivakain 0,125% ini sebagai analgesia preventif pada
penanganan nyeri pascabedah.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. R. 2012. Peran analgesia epidural preemtif terhadap intensitas nyeri, respon hemodinamik serta dinamika kadar sitokin proinflamasi dan antiinflamasi pada pasca bedah ekstremitas bawah. Disertasi Doktoral, Universitas Hasanuddin.
Aida, S., Baba, H., Yamakura, T., Taga, K., Fukuda, S., Shimoji, K. 1999. The effectiveness of preemtive analgesia varies according to the type of surgery: a randomized, double-blind study. Anesth Analg. 89: 711-16.
Apfelbaum, J. L., Chen, C., Mehta, S. S. & Gan, T. J. 2003. Postoperatif pain experience: result from a national survey suggest postoperatif continues to be undermanage. Anesth Analg, 97, 534-540.
Bajaj, P., Ballary, C. C., Dongre, N. A., Baliga, V. P. & Desai, A. 2004. Role of parecoxib in pre-emtive analgesia comparison of the efficacy and safety of pre- and postoperative parecoxib in patients undergoing general surgery. J Indian Med Assoc, 102, 272-278.
Beilin, B., Bessler, H., Mayburd, E., Smirnov, G., Dekel, A., Yerdeni, I. & Shavit, Y. 2003. Effect of preemtive analgesia on pain and cytokine production in postoperative period. Am Societ Anesth, 98, 151-155.
Beloeil, H., Gentili, M. & Mazoit, J. X. 2009. Effect of peripheral block on inflammation-induced prostaglandin E2 and cyclooxygenase expression in rats. Anesth Analg, 109, 943-950.
Buvanandran, A., Kroin, J., Berger, R., Hallab, N., Saha, C., Negrescu, C., Moric, M., Caicedo, M. & Tuman, K. 2006. Upregulated of prostaglandin E2 and interleukins in the central nervous system and peripheral tissue during and after surgery in humans. Anesthesiol, 104, 403-410.
Buvanendran, A. & Kroin, J. S. 2009. Analgesia multimodal for controlling acute postoperative pain. Curr Opin Anaesthesiol., 22, 588-593.
Cheer, S. M. & Goa, K. L. 2001. Parecoxib (parecoxib sodium). Drugs, 61, 1142-1148.
Coward, J., Kulbe, H., Chakravarty, P., Leader, D., Vassileva, V., Leinster, A., et al. 2011. Interleukin 6 as a therapeutic target in human ovarian cancer. Clin Cancer Res. 17(18): 6083-96.
81
Esme, H., Kesli, R., Apliogullari, B., Duran, F. M. & Yoldas, B. 2011. Effect of flurbiprofen on CRP, TNF-α, IL-6, and postoperative pain of thoracotomy. Int J Med Sci, 8, 821-221.
Fitzerald, G. A. & Patrono, C. 2001. Coxib, selective inhibitors of ciclooxygenase-2. N Eng J Med, 345, 433-442.
Hudspith, M., Munglani, R. 2003. Sites of analgesia. In: Bountra C, Munglani R, Schmidt WK. Pain current understanding, emerging therapies, and novel approaches to drug discovery. New York: Marcel-Decker Inc. p. 205-34.
Jongh, R., Vissers, K. C., Meert, T. F., Booij, L., Deyne, C. & Heylen, R. J. 2003. Role of interleukin-6 in nociception and pain. Anesth Analg, 96, 1096-1103.
Jun-hua, Z. & Yu-guang, H. 2006. Immune system: a new look at pain. Chin Med J, 119, 930-938.
Kato, M., Honda, I., Suzuki, H., Murakami, M.1997. Interleukin-10 production during and after upper abdominal surgery. J Clin Anesth, 10, 184-188.
Katz, J. & Clarke, H. 2008. Preventive analgesia and beyond: current status. evidence, and future directions. In: Rice, A. S., Justins, D., Newton, T., Howard, R. F. & Miaskowski, C. A. (eds.) Clinical pain management. 2nd ed. London: Hodder Arnold.
Kawahito, Y. 2007. Clinical implication of cyclooxygenase-2 inhibitor. Inflamm Reg, 27, 552-557.
Kawasaki, Y., Zhang, L., Cheng, J.-K. & Ji, R.-R. 2008. Cytokine mechanisms of central sensitization: distinct and overlapping role of interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor- in regulating synaptic and neuronal activity in the superficial spinal cord. J. Neurosci, 28, 5189-5194.
Kim, M. H., Hahm, T. O. 2001. Plasma levels of interleuki-6 and interleukin-10 are affected bt ketorolac as an adjunct to patient-controlled morphine after abdominal hysterectomy. The Clin J Pain. 17: 72-7.
Kleinman, W. & Mikhail, M. 2006. Regional anesthesia & pain management. In: Morgan, G. E., Mikhail, M. S. & Murray, M. J. (eds.) Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.
82
Mahdy, M., Galley, F., Wahed, A. 2002. Differential modulation of interleukin-6 and interleukin-10 by diclofenac in patients undergoing major surgery. Br J Anaesth, 88, 797-802.
Matsuoka, T. & Narumiya, S. 2008. Roles of protanoids in inflamation, allery, and imumunity. Inflamm Reg, 28, 423-433.
Miller, R. D. 2006. Bupivacaine. Miller's anaesthesia. 6th ed. New York: Elsevier Churchill Livingstone.
Morgan, E. M., Mikhail, M. S. & Murray, M. J. 2006a. Local anesthetic. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.
Morgan, E. M., Mikhail, M. S. & Murray, M. J. 2006b. Pain management. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.
Naito, Y. 1992. Response of ACTH, cortisol and cytokines during and after surgery. Anesthesiol. 77: 345-53.
Oliviera, C. M. B., Sakata, R. K., Issy, A. M., Gerola, L. R. & Salomao, R. 2011. Cytokines and pain. Rev Bras Anestesiol, 61, 255-26.
Padi, S. S., Jain, N. K., Singh, S. & Kulkarni, S. K. 2004. Pharmacological profile of parecoxib: a novel, potent injectable selective cyclooxygenase-2 inhibitor. Eur J Pharmacol, 491, 69-76.
Ravishankaran, P., Karunamthi, C. 2011. Clinical significance of perioperative serum IL-6 and CRP level in breast cancer patient. World J Surg Onc, 9, 18.
Reuben, S. & Buvanendran, A. 2009. The role of preventive analgesia multimodal and impact on patient outcome. In: Sinatra, R. S., Leon-Casasola, O. A. d., Ginsberg, B., Viscusi, E. R. & McQuay, H. (eds.) Acute pain management. 1st ed. New York: Cambridge University Press.
Samad, T. A., Sapirstein, A. A. & Woolf, C. J. 2002. Prostanoid and pain : unraveling mechanism and revealing therapetic targets. Trens Mol Med, 8, 390-396.
Senard, M., Deflandre, E. P. & Ledoux D. 2010. Effect of celecoxib combined with thoracic epidural analgesia on pain after thoracotomy. Br J Anaesth, 105, 196-200.
Stoelting, R. K. & Hillier, S. C. 2006. Local anesthetic. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
83
Tang, C. 2004. The effect of epidural clonidine on perioperative cytokine response, postoperative pain and bowel function in patinet undergoing colorectal surgery. Anesth Analg. 9: 502-7.
Taniguchi, T., Koido, Y., Aiboshi J. 1998. The ratio of interleukin-6 to interleukin-10 correlates with severity in patients with chest and abdominal trauma. J Clin Anesth, 10, 184-188.
Tekieh, E., Manaheji, H., Zaringhalam, J., Maghsoudi, N., Alani, A. & Zardoof, H. 2011. Increased serum interleukin-6 level time-dependently regulates hyperalgesia and spinal mu opioid reseptor expression during CFA-induced arthritis. ECLI Journal, 10, 23-33.
Vadivelu, N., Whitney, C. J. & Sinatra, R. S. 2009. Pain pathway and acute pain processing. In: Sinatra, R. S., Leon-casasola, O., Ginsberg, B. & Viscusi, E. R. (eds.) Acute pain management. New York: Cambridge University Press.
White, P. F., Sacan, O. & Tufanogullari. 2007. Effect of short term postoperative celecoxib administration on patient outcome after outpatient laparascopic surgery. Can J Anaesth, 54, 342-348.
Xu, L. L., Shen, J. J., Zhou, H. Y. 2010. Effects of parecoxib sodium preemtive analgesia on perioperative cytokine responses and stress responses in patients undergoing ophtalmology surgery. Chin J Med Gen. 90: 1893-96.
Yokoyama, M., Itano, M. & Katayama, H. 2005. The effects of continuous epidural anesthesia and analgesia on stress response and immune in patients undergoing radical esophagectpmy. Anesth Analg, 101, 1521-1527.
84
Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik
85
Lampiran 2 . Contoh pernyataan persetujuan pasien
PERNYATAAN PERSETUJUAN PASIEN
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama/Umur :
A l a m a t :
No. Rekam Medis :
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya telah mendapatkan
penjelasan dan kesempatan bertanya hal-hal yang belum saya mengerti
tentang penelitian ini. Penjelasan tersebut meliputi manfaat dan
keuntungan serta efek samping dari pemberian kombinasi analgetik
parecoxib 40 mg IV dan epidural bupivakain 0,125% yang akan saya
dapatkan selama penelitian ini.
Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat ini adalah mual.
Bila terjadi hal demikian peneliti akan memberikan obat-obatan dan
melakukan tindakan untuk menangani efek samping tersebut. Namun,
secara teoritis, perlakuan pemberian obat ini memiliki efek samping yang
minimal.
Setelah mendapat penjelasan tersebut, dengan ini saya menyatakan
secara sukarela ikut serta dalam penelitian ini dan saya berhak
mengundurkan diri bila ada alasan sehubungan dengan kesehatan saya.
Demikian pula jika terjadi ketidaksesuaian, saya akan menelaah kembali
untuk mencari jalan keluar yang terbaik tentang ketidaksesuaian tersebut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan
penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Makassar, Agustus 2013
Saksi, Tanda Tangan Yang Menyatakan,
1. ………………………..... ………………..
2. …………………………. ……………….. (……………………….)
Penanggung Jawab Medik, PenanggungJawab Penelitian, dr. Syafruddin Gaus, Ph. D, Sp. An, KMN dr. Zulfikar Tahir Tlp. 081241949960 Telp.08124296455 Jl. Thomas Alfa Edison Jl.Sunu Komp Unhas Blok Ex-4
86
Lampiran 3. Contoh lembar pengamatan
Lembar Pengamatan
Data Pribadi Pasien
Nama pasien : BB : Kg
Umur : thn TB : cm
Jenis Kelamin : IMT : Kg/m2
Alamat : No.Sampel :
No Rekam Medis :
Data Klinis
1. Diagnosis MRS :
2. ASA PS :
3. Mulai Anestesi :
4. Mulai Pembedahan :
5. Selesai Pembedahan :
Jumlah rescue dalam 24 jam : kali
Total kebutuhan analgetik tambahan selama 24 jam : mg
Kepuasan Pasien :
1. Puas
2. Tidak puas
87
Lanjutan lampiran 3
PENGAMATAN
Waktu
Prabedah 2 Jam
pascabedah
24 jam
pascabedah
Kadar IL-6 ( pg/ml)
Kadar IL-10 ( pg/ml)
TD (mm Hg)
N ( kali / menit)
Suhu (°C)
Pernapasan
Modified Bromage skor
NRSi
NRSb
Efek samping yang muncul :
Rescue Bupivakain 0,25% 3 cc
Jam NRS sebelum NRS sesudah
88
Lampiran 4. Contoh surat
Kepada Yang Terhormat
Teman Sejawat Dokter Ahli Obstetri dan Ginekologi
Di -
Tempat
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan akan dilakukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Analgesia Multimodal Bupivakain 0,125% dan Parecoxib 40 mg
terhadap ratio antara IL-6 dengan IL-10 dan intensitas nyeri pada
Pembedahan Laparotomi Ginekologi”. Penelitian ini bertujuan untuk
menilai respon sitokin IL-6, IL-10, ratio antara IL-6 dengan IL-10 dan
intensitas nyeri pada kombinasi analgesia multimodal dengan epidural
bupivakain 0,125% dan parecoxib 40 mg intravena. Tugas ini dijalankan
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di bagian Ilmu
Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran
UNHAS.
Dengan ini kami meminta persetujuan untuk melakukan penelitian
pada pasien yang dokter rawat.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Makassar, Agustus 2013
Peneliti,
dr. Zulfikar Tahir