4. ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Film Ngenest · Film drama komedi “Ngenest” ini telah...
Transcript of 4. ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Film Ngenest · Film drama komedi “Ngenest” ini telah...
Universitas Kristen Petra
56
4. ANALISIS DATA
4.1 Gambaran Umum Film Ngenest
Film drama komedi “Ngenest” ini telah diadaptasi berdasarkan tiga novel
karya Ernest Prakasa yang berjudul sama yaitu Ngenest 1-3: Ketawain Hidup a la
Ernest. Film ini diproduksi oleh Starvision Plus dengan berdurasi 95 menit.
Sedangkan, untuk penulis naskahnya dikerjakan langsung oleh Ernest sendiri
bersama Jenny Jusuf. Selain sebagai penulis naskah, Ernest juga berperan sebagai
pemain utama, sekaligus sutradara. Kehadiran film ini telah berhasil memperoleh
sebanyak 785.786 tiket yang mampu membuatnya menduduki posisi enam dari 10
besar film terlaris yang dirilis pada tahun 2015 (Muvila.com).
Gambar 4.1 Poster Film “Ngenest”
(Sumber: http://www.filmbioskopindonesia.com/sinopsis-film-ngenest-
2016/)
Meskipun debut Ernest Prakasa sebagai sutradara di industri film masih
terbilang baru, melalui film buatannya “Ngenest” telah mampu memborong 3
piala sekaligus yaitu pemenang penghargaan sebagai penulis skenario terbaik,
pendatang baru pria terbaik, dan pendatang baru wanita terbaik dalam ajang
Universitas Kristen Petra
57
penghargaan Indonesia Movie Awards 2016 (IBOMA) pada 17 Maret 2016
(Mediaselebriti.com, 2016).
Film ini telah diproduksi oleh PT. Kharisma Starvision Plus atau yang
dikenal dengan Starvision atau starvision Plus. Beberapa tokoh yang terlibat
dalam pembuatan film ini adalah Ernest Prakarsa (penulis dan sutradara), Chand
Parwez Servia, Fiaz Servia (produser), Andhika Triyadi (penata musik), Cesa
David Luckmansyah (penata gambar) dan lain-lainnya. Selain itu, meski baru
seminggu dirilis film “Ngenest” telah meraih pendapatan kotor sebesar 19 milyar
(indotelko.co, 2016, par.4).
Beberapa pemain yang diceritakan di dalam film ini adalah Ernest, Meira,
Patrick, Abdul (Adjis Doaibu), Fariz (Ardit Erwanda), Bowo (Fico Fachriza),
Ipeh (Amel Carla), dan beberapa tokoh tambahan lainnya seperti orang tua Meira
yang diperankan oleh Budi Dalton dan Ade Fitria Sechan, orang tua Ernest (Ferry
Salim dan Olga Lydia), Willy (Ge Pamungkas), Irene (Anggie) sebagai teman
kantor Ernest, Nadia (Regina Rengganis) sebagai kekasih Patrick, Vania (Franda)
sebagai mantan kekasih Ernest, Jaya (Awwe), Bakri (Bakriyadi Arifin), Arie
Kriting, Mohadkly Acho, Henky Solaiman, Elkie Kwee dan lain-lain.
Gambar 4.2 Para pemain dalam Film “Ngenest”
(Sumber: http://www.muvila.com/foto/film/intip-para-pemain-ngenest-di-lokasi-
syuting-151107l-page1.html)
Universitas Kristen Petra
58
4.1.1 Sinopsis film “Ngenest”
Dalam film drama komedi “Ngenest” ini menceritakan tentang Ernest,
yang ditentukan oleh nasib terlahir di dalam sebuah keluarga Cina. Dilihat dari
penampilan fisiknya Ernest memang cukup mencerminkan seperti orang Cina
kebanyakan yaitu berkulit putih, dan mempunyai mata sipit. Ernest bertumbuh di
masa Orde Baru, yang dimana diskriminasi terhadap etnis Cina masih terasa
begitu kental. Salah satunya seperti tindakan bullying yang telah menjadi
makanan sehari-hari bagi kaum minoritas seperti etnis Cina.
Semenjak hari pertama memasuki bangku sekolah dasar (SD), ia langsung
disambut dengan perlakuan bully dari teman-teman pribuminya yaitu menjadikan
Ernest sebagai bahan ejekan karena menurut mereka ia harusnya berada di kelas
1C (Cina) bukan 1B. Bukan itu saja, Ernest juga mengalami korban tindakan bully
lainnya seperti makanan bekal yang ia bawa dimakan oleh teman-temannya dan
diejek dengan sebutan “roti Cina”. Tetapi Ernest juga beruntung telah mendapat
teman baik bernama Patrick, yaitu sesama keturunan Cina yang selalu menjadi
malaikat penolongnya ketika ia menjadi korban bully.
Hal ini sepertinya terus berlanjut hingga Ernest berada di SMP. Ia juga
tetap mendapat perlakuan bully dari teman-temannya yaitu Fariz, dan kawan-
kawan. Sebelumnya, ia juga sempat menjadi korban palak dari gerombolan anak
seniornya di bus supaya memberikan isi tasnya, dan dompet. Bahkan, ia juga
berupaya untuk mencoba cara yang berbeda yaitu dengan berusaha berkawan
dengan teman-teman pribuminya (para pembully), dengan harapan apabila ia
berhasil berbaur maka ia akan terlepas menjadi korban bully.
Meskipun hal ini sempat ditentang oleh sahabatnya Patrick, Ernest tetap
melakukan caranya tersebut. Sayangnya, berbagai upaya yang sudah dilakukan
tidak berhasil. Malahan yang ada ia justru ditinggal sendiri di konser punk dalam
keadaan pingsan, hanya dimanfaatkan oleh Fariz, dan kawan-kawan supaya
mendapat tiket masuk gratis. Akhirnya, Ernest berpikir dan menyimpulkan bahwa
cara terbaik adalah ia harus memutuskan rantai diskriminasi dengan menikahi
seorang perempuan pribumi, dengan harapan kelak ia akan memiliki seorang anak
pribumi dan apa yang telah dialaminya tidak terjadi pada keturunannya.
Universitas Kristen Petra
59
Setelah menyelesaikan studinya di SMA, Ernest melanjutkan kuliah di
universitas yang ia inginkan yaitu di Universitas Padjajaran, Bandung Fakultas
HI. Selama menjalani kuliah di bandung, Ernest sempat menjalin hubungan
bersama perempuan keturunan Cina juga yaitu bernama Vania. Tetapi sayangnya,
hubungan mereka akhirnya putus. Patrick, sahabatnya sejak SD kembali
menanyakan impian Ernest yang berencana mencari perempuan pribumi.
Sampai memasuki tahun ketiga ia kuliah, akhirnya Ernest berkenalan
dengan Meira, seorang gadis keturunan Sunda/Jawa di tempat kursus bahasa
mandarin. Perkenalan mereka berlangsung cukup lancar, tetapi masalah kembali
muncul ketika Ernest bertemu dengan ayah Meira yang tidak suka apabila
anaknya berpacaran dengan seorang Cina. Hal ini dikarenakan ayahnya
mempunyai pengalaman pernah hamper bangkrut akibat ditipu oleh rekan
bisnisnya yang juga Cina. Oleh karena itu, hubungan mereka sempat ditentang.
Tetapi akhirnya, Ernest telah berhasil memenangkan hati calon mertuanya
dan kemudian mereka menikah. Demi membahagiakan kedua orang tua Ernest,
mereka memutuskan untuk menikah dengan menggunakan adat Cina. Sepertinya
setelah mewujudkan impiannya untuk menikahi perempuan pribumi masih belum
menyelesaikan pergumulannya. Ernest mulai khawatir dan takut bagaimana bila
nanti anak mereka terlahir persis dengan penampilan seperti dirinya yaitu bermata
sipit. Selain itu, ia juga berpikir bagaimana bila ia tetap gagal untuk mencegah
anaknya dari bullying. Segala ketakutan inilah yang membuat Ernest menunda-
nunda keinginan untuk memiliki keturunan. Di sisi lain, Meira juga mendapat
desakan dari orang tuanya untuk segera memiliki anak. Begitu juga dengan mama
Ernest yang terus menanyakan kapan memberikan cucu untuknya.
Setelah mengalami pertengkaran, akhirnya Ernest mengalah karena takut
kehilangan istrinya, Meira. Dua tahun berikutnya usai menikah, Meira hamil.
Semakin membesarnya perut Meira, semakin besar juga rasa takut yang terus
menghantui Ernest. Puncak ketakutannya ketika Meira sudah mendekati waktu
melahirkan, tekanan yang dirasakannya semakin tinggi, dan ia menjadi stres
sehingga banyak kesalahan yang ia lakukan selama di kantor hingga membuatnya
ditegur oleh bosnya. Bahkan, Ernest juga sempat kehilangan konsentrasi ketika ia
sedang melakukan perjalanan untuk hadir dalam meeting urusan kantor bersama
Universitas Kristen Petra
60
rekan kerjanya sehingga menabrak pengendara motor di depannya. Tidak kuat
menghadapi tekanan yang bertubi-tubi tersebut membuat Ernest melarikan diri ke
tempat dimana ia dan sahabatnya Patrick biasa bersembunyi ketika mereka kecil.
Sementara itu, Meira khawatir dengan suaminya Ernest yang tidak dapat
dihubungi karena telponnya tidak aktif dan berusaha mencarinya ke teman kantor,
dan sahabatnya, Patrick. Sedangkan pada saat itu, Meira sedang mengalami
kontraksi dan harus segera ke rumah sakit. Hingga akhirnya, Patrick menemukan
Ernest di tempat persembunyian mereka, dan menyadarkan Ernest untuk segera
pergi ke rumah sakit. Dengan terburu-buru, Ernest segera berangkat dan
sesampainya disana ia menemani istrinya melahirkan. Meira melahirkan seorang
bayi perempuan bermata sipit. Meskipun anaknya tampak sangat Cina seperti
dirinya, ia tetap bahagia karena kehadiran anaknya telah memberikan keberanian
untuknya dalam menghadapi hidup, apapun itu tantangannya.
4.1.2 Profil Sutradara film “Ngenest”
Gambar 4.3 Ernest Prakasa
Sutradara “Ngenest”
(Sumber: http://www.biodataartis.net/2015/11/profil-dan-biodata-ernest-
prakasa.html)
Lahir di Jakata pada 28 Januari 1982. Ernest Prakasa merupakan salah satu
nama komika yang sedang berjaya di dunia film Indonesia. Pria berketurunan
Tionghoa ini mulai dikenal oleh banyak orang semenjak ia berhasil menjadi juara
Universitas Kristen Petra
61
ketiga di ajang program Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) yang pertama di
sebuah stasiun televisi swasta. Selain itu, namanya juga dikenal sebagai seorang
komedian Tionghoa-Indonesia yang sering menjadikan kehidupan etnisnya
sebagai bahan materi stand up comedy.
Sebelum terjun ke dalam dunia lawak, Ernest sempat memulai karirnya
justru di industri musik dengan bergabung bersama Universal Music dan
kemudian melanjutkan eksistensinya di dunia musik di label Sony Music. Setelah
sukses dalam ajang kompetisi yang membuat namanya dikenal, ia memutuskan
untuk terjun dan fokus total pada profesinya sebagai komika. Kemudian bersama
komika Indonesia lainnya seperti Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, Isman H.
Suryaman dan Ryan Adriandhy, Ernest mendirikan sebuah komunitas pelawak
tunggal pertama di Indonesia yang sampai saat ini mempunyai sub-komunitas
lebih dari 15 provinsi.
Selain menjadi seorang komika, Ernest Prakasa juga mencoba masuk ke
dalam dunia akting dan menulis. Hasil karyanya yang sudah terbit antara lain,
Dari Merem ke Melek: Catatan Seseorang Komedian (2012), Illucinati (2014),
Ngenest - Ngetawain Hidup Ala Ernest (2013), Ngenest 2 - Ngetawain Hidup Ala
Ernest (2014), Ngenest 3 – Ngetawain Hidup Ala Ernest (2015). Beberapa film
Indonesia yang pernah ia bintangi adalah Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014),
Comic 8 (2014), CJR The Movie (2015), dan Comic 8: Casino Kings (2015).
Dikenal sebagai komika sekaligus aktor, Ernest Prakasa mencoba langkah
besar melalui film buatannya yaitu berjudul “Ngenest”. Dalam film ini, ia
memegang tiga peran penting sekaligus, yakni sebagai pemeran Ernest ketika
dewasa, penulis skenario, sekaligus sutradara film. Seperti halnya yang dilakukan
oleh Raditya Dika (Malam Minggu Miko, Marmut Merah Jambu, Single, dan
lainnya), dan Kemal Palevi (Youtubers). Film ini sendiri diadaptasi dari trilogi
novel yang Ernest buat dengan judul yang sama dan diangkat berdasarkan kisah
nyatanya sebagai seorang minoritas.
Universitas Kristen Petra
62
4.1.3 Profil Pemeran Film “Ngenest”
4.1.3.1 Kevin Anggara sebagai Ernest semasa remaja
Gambar 4.4 Kevin Anggara / Ernest semasa remaja
(Sumber: http://www.muvila.com/film/artikel/inilah-pemeran-ernest-prakasa-
remaja-dalam-film-ngenest--150822k.html)
Lahir di Jakarta pada 16 Maret 1997. Pemilik nama asli Kevin Anggara
Wirawan merupakan seorang blogger di kevinanggara.com, dan bisa juga disebut
sebagai penulis karena ia sudah menerbitkan 3 judul buku, salah satunya Student
Guidebook for Dummmies. Namun, namanya mulai dikenal oleh banyak orang
semenjak ia menjadi instagramer karena suka membuat video-video di instagram.
Selain itu, Kevin juga adalah seorang youtubers karena ia juga mempunyai hobi
membuat video di youtube, vlog, dan lain-lain.
Melihat ketenaran Kevin Anggara melalui dunia maya ini, membuat
produksi Starvision langsung meloloskan tanpa ada audisi untuk menjadi salah
satu pemain dari film buatannya “Ngenest” yang diarahkan oleh Ernest Prakasa
sendiri. Sebelumnya, pemilihan nama Kevin ini sebenarnya adalah hasil dari
rekomendasi teman-teman Ernest di media sosial ketika mencari pemain dengan
kriteria Chinese dan komedian. Setelah itu ia coba memberikan kandidat tersebut
ke Starvision untuk mendapat persetujuan dan hasilnya mereka setuju.
Dalam film “Ngenest” ini Kevin berperan menjadi seorang Ernest saat
remaja, yang berada di bangku SMP dan SMA. Meskipun dulunya belum pernah
terlibat dalam dunia akting, tetapi melalui film perdananya ini ia langsung
mendapat penghargaan sebagai Pendatang Baru Pria Terbaik dalam Indonesia
Universitas Kristen Petra
63
Box Office Movie Awards (IBOMA) 2016. Baginya perjuangan selama berakting
sebagai Ernest muda waktu dibully tidak sia-sia.
4.1.3.2 Brandon Salim sebagai Patrick semasa remaja
Gambar 4.5 Brandon Nicholas Salim / Patrick semasa remaja
(Sumber: http://www.biodataartis.net/2015/08/biodata-lengkap-brandon-nicholas-
salim.html)
Lahir di Jakarta, pada 19 September 1996. Pemilik nama asli Brandon
Nicholas Salim, atau yang biasa disapa dengan nama Brandon. Ia merupakan
seorang aktor. Sebelum terjun ke dalam dunia akting, Brandon memulai karirnya
sebagai gitaris sekaligus penulis lagu dalam bandnya yang bernama Lights On
semenjak tahun 2008. Namun namanya mulai dikenal oleh semenjak ia ikut
bermain sinetron Taman Langit di RCTI bersama Verrell Bramasta. Selain itu,
Brandon juga sering muncul menjadi salah satu bintang tamu di beberapa acara
televisi seperti YKS dan Show Imah.
Setelah itu, putra dari Ferry Salim ini kembali muncul dalam salah satu
daftar pemain film buatan komika Ernest Prakasa yang berperan menjadi sahabat
baik Ernest semasa remaja, bernama Patrick. Meskipun film “Ngenest” ini bukan
pertama kalinya bagi dia dalam bermain film tetapi tetap ada tantangannya yaitu
harus berperan menjadi seorang anak SMP. Ternyata dibalik urusan pembuatan
film ini, salah satu alasan Brandon bersedia menerima tawaran untuk berman film
ini karena ngefans dengan sosok Ernest Prakasa yang juga menjadi sutradara
sekaligus penulis naskah, dan pemeran utama di “Ngenest”.
Universitas Kristen Petra
64
4.1.3.3 Morgan Oey sebagai Patrick semasa dewasa
Gambar 4.6 Morgan Oey / Patrick semasa dewasa
(Sumber: http://www.21cineplex.com/slowmotion/ngenest-bikin-morgan-oey-
ketagihan-main-film-komedi,6450.html
http://www.biodataartis.net/2015/10/profill-dan-biodata-morgan-oey.html)
Lahir di Kalimantan Barat, pada 25 Mei 1990. Pemilik nama asli Handi
Morgan Winata mulai dikenal semenjak ia tergabung dalam boyband Smash
tahun 2010 lalu. Setelah tiga tahun, Morgan resmi keluar dari boyband yang
sudah membesarkan namanya dan mulai melebarkan karirnya di dunia perfilman
Indonesia. Beberapa judul film layar lebar yang pernah ia bintangi adalah
Assalamualaikum Beijing, Dreams, Air Mata Surga, dan lainnya.
Setelah sukses membintangi banyak film layar lebar, Morgan tertarik
untuk mencoba tantangan baru dengan beralih dari perannya yang selalu serius
menjadi bermain komedi. Dalam film “Ngenest”, ia mendapat kesempatan untuk
memerankan Patrick sebagai sahabat karib dari Ernest Prakasa semasa dewasa.
Semenjak mengikuti proses syuting film tersebut, Morgan menjadi ketagihan
untuk terjun ke dunia komedi lebih jauh.
Universitas Kristen Petra
65
4.1.3.4 Lala Karmela sebagai istri Ernest
Gambar 4.7 Lala Karmela / Meira
(Sumber: http://kisahartis.net/biodata-lala-karmela/
http://www.biodatartis.com/2012/12/profil-biografi-si-cantik-lala-karmela.html
http://wartakota.tribunnews.com/2015/12/28/lala-karmela-hampir-menolak-
ditawari-peran-di-film-ngenest)
Lahir di Bandung, pada 2 April 1985. Pemilik nama lengkap Karmela
Mudayatri Herradura Kartodirdjo merupakan seorang perempuan berdarah
campuran antara Filipina dan Indonesia. Namanya mulai dikenal oleh publik
semenjak ia menyanyikan lagu “Satu Jam Saja” yang menjadi soundtrack dari
salah satu film Indonesia. Sebelum terjun di dunia musik, ia sempat mengawali
karirnya dengan membintangi beberapa sinetron remaja seperti Senandung Masa
Puber, Di Sini Ada Cinta, dan Incredible Tales. Selain itu, ia juga sempat telibat
dalam jingle iklan coca cola, “bukalah semangat baru”.
Setelah lama vakum di dunia akting dengan alasan ingin berfokus dengan
karirnya sebagai penyanyi, Lala Karmela kembali hadir dalam dunia film. Salah
satunya tawaran untuk memerakan salah satu tokoh utamanya dalam film layar
lebar perdananya “Ngenest” yaitu Meira sebagai pacar sekaligus istri Ernest.
Meski sebelumnya sempat hampir menolak tawaran peran tersebut karena sedang
fokus mengerjakan skripsi, ia akhirnya tertarik untuk terlibat dengan alasan
kagum dengan isi ceritanya yang menarik. Debut aktingnya dalam film ini telah
berbuah manis dengan keberhasilan yang diraih pada ajang Indonesia Box Office
Movie Awards (IBOMA) 2016 sebagai Pendatang Baru Wanita Terbaik.
Universitas Kristen Petra
66
4.2 Profil Informan
4.2.1 Informan 1 Olivia
4.2.1.1 Profil: Olivia (Keturunan Tionghoa Asli Masa Orde Baru Berakhir)
Narasumber pertama adalah Olivia (bukan nama sebenarnya) yang saat ini
sedang menjalani profesi sebagai staff marketing dari salah satu perusahaan hotel
yang ada di Surabaya. Ia sudah menjalani profesi tersebut semenjak 2 tahun yang
lalu. Selain itu Olivia juga sibuk membantu menjaga toko perhiasaan orang
tuanya yang berada di pasar. Perempuan yang lahir di Jakarta pada tanggal 25
Januari 1985, saat ini telah berusia 31 tahun. Sebelum memutuskan berpindah ke
Surabaya untuk bekerja, ia tinggal bersama orang tua dan keempat kakak laki-
lakinya. Selain itu, ada juga Michael (bukan nama sebenarnya) yang merupakan
anak Olivia dari hasil korban perkosaan. Olivia merupakan anak kelima dari lima
bersaudara yang berasal dan berdomisili di Jakarta. Ia merupakan seorang
perempuan yang mandiri, tanggung jawab, dan penyayang keluarga. Hal ini
terlihat dari hubungan kedekatan antara Olivia dengan ibunya.
Secara garis keturunan dari orang tuanya, ia termasuk keturunan Tionghoa
suku Hakka atau di Indonesia lebih dikenal dengan bahasa “Khek” dengan
mengikuti nama marga ayahnya yaitu“Lim”. Sedangkan untuk ibunya memang
berasal dari keturunan Tionghoa tetapi masih ada campuran darah Inggris
sehingga tidak ada marga khusus yang membuat Olivia selalu diingatkan mencari
pasangan yang berasal dari keturunan Tionghoa asli supaya bisa tetap mendapat
marga, dan harus mengerti jelas keluarganya seperti apa misalnya berasal dari
suku (hokkian, hakka, kwantong, dan lain-lain).
Dalam kebiasaan sehari-harinya, Olivia juga masih menjalankan tradisi
atau adat yang dianut oleh keluarganya yaitu sampai saat ini tetap diharuskan
untuk menggunakan bahasa Mandarin di rumah. Hal ini sengaja diajarkan supaya
ketika masuk di dunia kerja lebih diperhatikan oleh orang-orang, terutama saat
berbicara dengan orang keturunan Tionghoa yang lebih tua. Termasuk juga ketika
beribadah, ia akan ikut ke gereja Kristen ayahnya yang jemaatnya didominasi oleh
orang keturunan Tionghoa semua. Olivia juga masih merayakan Imlek bersama
keluarga besarnya sehingga setiap kali akan imlek selalu ada tradisi khusus seperti
membakar lembaran kertas atau uang orang mati, dan baju- baju karena dianggap
Universitas Kristen Petra
67
supaya pendahulu tidak kekurangan uang, dan bajunya banyak. Ia juga masih
merayakan Hari Raya Cap Go Meh yang dipercaya sebagai tradisi dari penutup
serangkaian perayaan Imlek untuk keturunan Tionghoa.
Selain itu, Olivia mempercayai tentang hal yang sifat-sifatnya gaib seperti
ketika menjelang Imlek mereka sekeluarga akan meletakkan kain merah di bawah
bantal anaknya. Kepercayaan itu juga selalu diterapkan untuk keturunan generasi
selanjutnya. Di usianya yang sudah memasuki kepala 30 tahun ke atas, ia masih
belum menikah dan tidak mau menikah sampai saat ini. Oleh karena itu setiap kali
menghadiri acara pernikahan saudaranya orang tua Olivia selalu menyuruhnya
untuk makan kue dari pengantin supaya cepat dapat pacar dan yang belum
menikah bisa cepat menyusul. Menurut orang tuanya, kepercayaan mitos tersebut
memang benar dan harus dilakukan.
Sedangkan untuk masalah pergaulan, semenjak kecil Olivia dan semua
kakak laki-lakinya memang tidak diperbolehkan untuk terlalu dekat dengan orang
pribumi terutama untuk suku Jawa karena bagi orang tuanya stereotipe mengenai
orang Jawa adalah penjilat dan tidak tahu diri.
4.2.1.2 Setting Penelitian
Wawancara 1 : Minggu, 8 Mei 2016
Pertemuan pertama peneliti dengan Olivia di rumhanya, ketika informan
mempunyai waktu senggang untuk menanyakan kesediannya untuk diwawancarai
sebagai salah satu informan, dan peneliti menceritakan dahulu mengenai maksud
dari penelitian ini. Setelah ada persetujuan, peneliti mulai bertanya pada Olivia
untuk melengkapi kebutuhan data profil informan. Kemudian, peneliti dan
informan membuat janji untuk bertemu kembali karena pada saat itu informan ada
keperluan untuk pergi sehingga proses wawancara terpaksa harus berhenti dan
dilanjutkan di lain hari.
Wawancara 2: Minggu, pada tanggal 15 Mei 2016
Pada pukul 15.30 WIB, peneliti sudah sampai di rumah informan sesuai
dengan kesepakatan yang sudah ditentukan. Peneliti sengaja membuat janji
dengan Olivia untuk melakukan wawancara di kediamannya yang berada di
daerah Surabaya Barat dengan alasan supaya bisa lebih kondusif dan akrab
Universitas Kristen Petra
68
Pada saat peneliti tiba di kediamannya, Olivia dengan menggunakan kaos
oblong pink muda, dan menggunakan celana kulot sambil tersenyum langsung
mempersilahkan untuk masuk ke dalam ruang tamu, kemudian informan pergi
sebentar ke dapur untuk mengambilkan air putih. Setelah kembali ke ruang tamu,
peneliti memulai wawancara dengan Olivia dengan aroma bau dupa yang kuat.
Di rumah bertingkat dua ini, terlihat sekali ornamen serba merah yang ada
di setiap sudut ruangan. Setelah itu juga ada patung kucing keberuntungan
(Maneki Neko), dan hiasan keramik China berupa piring, mangkuk, teko yang
menghiasi seisi ruang tamunya. Bahkan, juga tampak tersedia meja berisi lengkap
untuk sembayang pada leluhurnya, dan di samping pintu rumah juga terdapat hio
yang menandakan bahwa keluarganya masih kental dengan tradisi adatnya.
4.2.2 Informan 2 Denny
4.2.2.1 Profil: Denny (Keturunan Jawa Masa Orde Baru Berakhir)
Denny (bukan nama sebenarnya) merupakan seorang pria yang berasal
dari suku Jawa berusia 31 tahun. Anak kedua dari dua bersaudara ini lahir di
Surabaya pada tanggal 1985. Saat ini ia sedang menjalani profesi sebagai seorang
wartawan di salah satu stasiun televisi lokal yang berada di Surabaya. Ia sudah
menekuni pekerjaannya selama hampir 11 tahun. Secara garis keturunan dari
orang tua, Denny masih ada unsur “Kejawen” yang cenderung relatif taat dengan
agama Islam yang dianutnya sehingga disebut sebagai Islam “Kejawen”. Sebelum
memutuskan kembali untuk tinggal bersama dengan orang tuanya, ia sempat
pernah berkeluarga dan belum mempunyai anak tetapi akhirnya setelah dua tahun
mereka telah bercerai. Hal ini dikarenakan Denny merasa terlalu tegesa-gesa
dalam memutuskan menikah padahal masa perkenalan sangat singkat sehingga
terjadi kegagalan di komunikasi.
Denny merupakan orang yang tegas, santai tetapi tetap mementingkan
adanya komunikasi. Dalam kepercayaan kejawen ini masih sangat kental dengan
aturan yang mengharuskan melaksanakan adat dan budaya yang tidak menentang
agamanya, dan menjauhi larangan-larangan yang ada. Beberapa kebiasaan atau
adat yang masih dianut oleh Denny adalah seperti mencium tangan sebagai tanda
hormat pada orang tua, ketika berbicara dengan orang lain atau yang lebih tua
Universitas Kristen Petra
69
secara halus dan tidak dengan nada meninggi, menunduk dalam menyampaikan
sesuatu. Selain melakukan shalat 5 waktu, ia juga masih menjalankan hari-hari
penting yang ada dalam Kejawen; Suran (Tahun Baru 1 Sura), melaksanakan Hari
Raya Islam, melakukan ziarah pada malam-malam tertentu sesuai dengan
kalender Jawa, melakukan kirim do’a atau yassin tahlil, dan lain-lainnya. Semua
kebiasaan yang dilakukan di atas merupakan upayanya sebagai seorang pewaris
dari keturunan Jawa untuk menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi.
Sedangkan untuk ajaran yang selalu diterapkan oleh orang tuanya untuk
tetap menjaga warisan leluhurnya, Denny selalu diberi pesan oleh kedua orang
tuanya untuk tidak qodho (dalam bahasa ngoko di dalam Jawa) yaitu tidak
memanggil yang lebih tua dengan sapaan yang tidak pada tempatnya, tetap taat
pada agama yang dinanut, dan dianjurkan untuk mencari pasangan yang berasal
dari suku dan keyakinan yang sama. Di dalam keluarganya Denny dididik secara
demokratis sehingga cara orang tuanya menyampaikan segala sesuatu bisa
diterima dan dipatuhi dengan baik, tidak memberontak ataupun membantah
terhadap nasihat yang diberikan untuknya. Hal tersebut karena dilatarbekalangi
oleh profesi dari kedua orang tuanya yang dahulu juga berasal dari dunia media
sehingga memberikan kebebasan sebebasnya untuk anaknya tetapi masih tetap
berada di dalam batas aturan yang ada.
4.2.2.2 Setting Penelitian
Wawancara 1 : Rabu, 27 April 2016
Sebelum bertemu dengan Denny untuk melakukan wawancara, peneliti
membuat janji dulu melalui sms untuk menemui informan. Peneliti akhirnya
sepakat untuk bertemu pada hari Rabu, 27 April 2016 pada pukul 04.30 WIB
setelah Denny menyelesaikan pekerjaannya. Saat sampai di kantor informan,
peneliti langsung mencari informan ke ruang kerjanya. Setelah bertemu dengan
informan, peneliti langsung dipersilahkan untuk duduk, dan mulai berbincang-
bincang seputar penelitian film. Peneliti sengaja untuk mencari tempat yang sepi
dengan tujuan supaya tidak banyak gangguan selama wawancara berlangsung.
Kemudian, peneliti dan informan membuat janji untuk bertemu kembali minggu
depan untuk melanjutkan proses wawancara selanjutnya.
Universitas Kristen Petra
70
Wawancara 2 : Rabu, 18 Mei 2016
Pada pukul 06.35 WIB, peneliti kembali melakukan proses wawancara
bersama informan. Wawancara yang kedua ini dilakukan di tangga darurat tempat
informan bekerja dengan alasan supaya tidak terganggu oleh teman-temannya
yang sedang melakukan persiapan live program. Ketika proses wawancara sedang
berlangsung Denny dengan menggunakan kaos hitam, dan celana jeans biru tua
beralas kaki sandal jepit sambil merokok menjawab pertanyaan yang peneliti
tanyakan.
Saat proses wawancara Denny juga sempat bercerita banyak yang sifatnya
pribadi sekali mengenai pengalaman yang pernah dialaminya berkaitan dengan
film yang peneliti tunjukkan. Hal ini juga tampak lewat mimik wajahnya yang
serius tetapi juga diselingi tertawa kecil karena jadi mengingat kejadian yang
tidak mengenakan dan membuka lama.
4.2.3 Informan 3 Vanessa
4.2.3.1 Profil: Vanessa (Keturunan Tionghoa Asli Masa Pasca Orde Baru)
Narasumber ketiga dalam penelitian ini adalah bernama Vanessa (bukan
nama sebenarnya), yang sekarang berusia 21 tahun. Saat ini ia sedang menempuh
pendidikan di salah satu universitas swasta Surabaya jurusan Ilmu Komunikasi
semester 8. Vanessa merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ia tinggal
bersama orang tua dan kakak laki-lakinya di Makassar tetapi ketika memasuki
masa kuliah Vanessa harus merantau ke Surabaya untuk melanjutkan studinya.
Perempuan yang lahir di Makassar pada tanggal 14 Maret 1995 ini merupakan
orang Indonesia asli yang memiliki keturunan Tionghoa. Vanessa merupakan
orang yang pendiam, serba tertata, dan mudah tertekan. Secara garis keturunan
dari orang tua, ia termasuk orang Tionghoa yang bersuku “Hokkian” (dalam
bahasa mandarin disebut fu jian ren) yang artinya adalah penduduk yang berasal
dari provinsi Fujian di bagian tenggara-selatan China.
Sedangkan untuk masalah kebiasaan atau adat yang masih dianut sampai
saat ini yang diturun temurunkan dari keluarga inti yaitu untuk menggunakan
nama belakang dari marga atau fam dari ayah “Oei” (dalam bahasa Hokkian),
yang dalam mandarin disebut Huang. Kata “Oei” dianggap masih ejaan lama
Universitas Kristen Petra
71
dalam kata serapan Bahasa Indonesia. Nama belakang Vanessa sendiri mengikuti
marga dari ayah Winarko, berasal dari kata dasar “Oei” yang kemudian
diterjemahkan ke dalam ejaan baru menjadi “Wi”. Dalam kesehariannya bersama
orang tua dan kakak laki-lakinya, ia menggunakan bahasa mandarin untuk
berkomunikasi. Meskipun sudah dipengaruhi oleh penggunaan bahasa Indonesia
dengan lingkungan sekitarnya di sekolah, teman-teman Vanessa masih lancar atau
fasih dalam percakapan bahasa mandarin karena sudah dibiasakan sejak kecil.
Selain itu, dalam memanggil anggota keluarga dengan sebutan khusus
yang diadopsi dari bahasa hokkian seperti kakek dari ayah (angkong) – nenek dari
ayah (amma), sedangkan untuk kakek dari ibu (guakong) – nenek dari ibu
(guama). Untuk kakak laki-laki dari ayah yang pertama (Tua)pe, dan kedua (Ji)pe.
Berbeda lagi untuk sebutan panggilan kakak perempuan dari ayah yaitu (Tua)ko.
Istilah “tua” menunjukkan paman atau bibi yang paling besar atau tua. Sebutan
untuk adik laki-laki dari ayah (Si)ce, (Be)ce, dan untuk adik perempuan ayah
(Be)ko. Istilah “be” menunjukkan paman atau bibi yang paling bungsu. Begitu
pula dengan saudara-saudari dari ibu juga mempunyai sebutan sendiri untuk
kakak laki-laki dari ibu: pertama (Tua)ku, kedua (Ji)ku, ketiga (Sa)ku, empat
(Si)ku, lima (Go)ku, dan seterusnya. Dalam bahasa Hokkian 2 artinya ji, 3 artinya
sa, 4 artinya si, 5 artinya go, dan seterusnya. Sedangkan untuk sebutan kakak
perempuan dari ibu (Tua)i.
Vanessa juga masih merayakan Imlek dan berkunjung ke rumah keluarga
besar. Namun, keluarganya tidak terlalu menerapkan mitos-mitos yang ada. Yang
dilakukan seperti menggunakan baju baru dan tidak boleh menyapu rumah saat
imlek. Hal ini dikarenakan keluarganya berasal dari agama Kristen Protestan.
Termasuk juga dalam tradisi dalam memberi dan menerima angpao saat Hari
Raya Imlek, ulang tahun, dan hari pernikahan seperti orang yang sudah menikah
harus memberikan angpao kepada orang yang belum menikah, anak yang sudah
menikah memberikan angpao kepada orang tuanya, dan yang belum menikah
menerima angpao dari orang yang sudah menikah.
Ajaran yang selalu diterapkan oleh orang tuanya terhadap Vanessa adalah
sebagai orang berketurunan Tionghoa dianggap cerdik dan giat dalam bekerja
sehingga harus bisa bijak dalam menggunakan ataupun mengatur uang. Ia juga
Universitas Kristen Petra
72
dianjurkan menggunakan Bahasa Mandarin dalam percakapan sehari-hari supaya
warisan Bahasa Mandarin masih tetap ada pada generasi muda saat ini. Hal
tersebut merupakan didikan dari orang tuanya yang harus ia ingat dan dibiasakan
karena melihat banyak anak keturunan Tionghoa generasi sekarang sudah tidak
menggunakan bahasa mandarin dalam kesehariannya, atau bahkan ada yang tidak
mengerti sama sekali. Begitu juga untuk masalah pasangan atau menikah,
terutama bagi perempuan ia dianjurkan untuk memperhatikan jarak umur
pasangan yang dianggap tidak baik seperti 3, 6, dan 9 tahun yaitu dengan cara
mencari laki-laki yang usianya lebih tua dan berasal dari keturunan yang sama.
Selain itu Vanessa juga diajarkan untuk memiliki usaha sendiri khususnya
dalam bidang bisnis daripada bekerja pada orang lain. Bagi orang tuanya, untuk
fresh graduate mencari pengalaman dulu masih diperbolehkan, tetapi yang tetap
harus dipatuhi adalah tidak disarankan bekerja pada orang lain sampai tua.
Alasannya karena lebih baik bekerja mengembangkan usaha sendiri daripada
bekerja mengembangkan usaha orang lain. Jadi, jika mempunyai usaha sendiri
maka kita sebagai pemilik atau orang sendiri yang akan menikmati hasilnya
tersebut. Oleh karena itu, banyak juga orang keturunan Tionghoa yang berpikiran
sama mengenai hal tersebut dan mewariskan hasil usaha mereka kepada anaknya
untuk dilanjutkan atau kelola keluarga sendiri.
4.2.3.2 Setting Penelitian
Wawancara 1 : Selasa, 26 April 2016
Wawancara yang dilakukan peneliti pada informan kedua bernama
Vanessa. Pertemuan untuk wawancara pertama kali dilakukan pada hari Selasa
tanggal 26 April, pukul 15.00 WIB di kos daerah Surabaya Timur. Sebelumnya
kami sudah membuat janji terlebih dahulu untuk melakukan wawancara di kos
supaya tidak terganggu dan jauh dari suara ramai. Sesampai di depan kamar kos
informan, peneliti mendapat sambutan yang ramah dengan logat Makassarnya
yang masih kental untuk menyuruh segera masuk.
Setelah dipersilahkan untuk duduk di kursi yang sudah disediakan, peneliti
memulai pertanyaan pada informan dan mengatur janji untuk bertemu kembali
melakukan proses wawancara.
Universitas Kristen Petra
73
Wawancara 2 : Senin, 16 Mei 2016
Pada pukul 18.15 WIB peneliti kembali datang ke kos Vanessa untuk
melanjutkan wawancara. Saat itu Vanessa menggunakan kaos kuning pucat, dan
untuk bawahannya menggunakan celana bali. Pada saat itu dengan ditemani
suasana langit yang mendung dan hujan, peneliti dan informan mulai melakukan
sesi tanya jawab yang berkaitan dengan pembahasan penelitian. Selama proses
wawancara berlangsung, Vanessa juga sambil makan snack ringan.
4.2.4 Informan 4 Nancy
4.2.4.1 Profil: Nancy (Keturunan Jawa Masa Pasca Orde Baru)
Narasumber keempat adalah Nancy (bukan nama sebenarnya) yang
sekarang berusia 20 tahun. Nancy adalah anak pertama dari dua bersaudara yang
lahir di Surabaya pada tanggal 13 Desember 1995. Nancy berdomisili di Surabaya
bersama ayah dan adik perempuannya saja karena sudah lama berpisah sejak ia
duduk di bangku SMP, dan sejak kecil memang lebih dekat dengan ayahnya. Saat
ini Nancy sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta Surabaya
Jurusan Hukum semester 6. Nancy merupakan orang yang terbuka, ramah dan
mudah beradaptasi dengan sekitarnya.
Secara garis keturunan dari orang tuanya, ia berasal dari suku Jawa yang
masih termasuk dalam silsilah dengan keturunan Raja Hamengkubuwono VI
sehingga masih ada darah keraton asli Yogyakarta. Meskipun berasal dari
keturunan Jawa yang masih memegang erat adatnya, ia tidak dididik secara
konservatif tetapi sudah lebih open minded. Hal ini dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan dari keluarga besar orang tuanya yang berasal dari salah satu
sekolah swasta katolik di Surabaya, yang mayoritas berisi keturunan Tionghoa
semua.
Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang profesi nenek dan
kakeknya yang dulunya sebelum meninggal pernah menjadi kepala sekolah salah
satu sekolah swasta katolik dan rektor salah satu universitas swasta. Nancy
bersama adiknya semenjak kecil selalu dididik oleh orang tuanya untuk membaur
sehingga mereka tidak pernah menjauhkan diri dari orang yang berbeda suku atau
Universitas Kristen Petra
74
sebagai orang Jawa tidak boleh berteman dengan orang Tionghoa atau begitu juga
sebaliknya.
Sedangkan, untuk masalah kepercayaan terhadap kebiasaan atau adat yang
masih dianut oleh Nancy sebagai keturunan Jawa adalah mencium tangan atau
salim ketika bertemu atau pamit untuk menujukkan rasa hormat terhadap orang
tua atau yang lebih tua. Baginya, hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang
telah diajarkan secara turun menurun. Menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil
yang halus untuk berbicara dengan orang tua sebagai tanda menghormati, dan
biasanya ketika ia mengunjungi keluarga besarnya yang berada di Yogyakarta,
Nancy juga dibiasakan untuk menggunakan bahasa bagongan seperti “henggeh”
artinya iya, “mboya” artinya “mboten” atau tidak, “puniki” artinya ini, dan masih
banyak lainnya.
Selain itu, untuk tanda mengucapkan syukur terhadap suatu kesuksesan,
keberuntungan yang terjadi biasanya tradisi yang dilakukan oleh Nancy sebagai
penganut agama Katolik adalah mengikutsertakan ucapan terima kasih ke dalam
intensi misa di gereja, pergi berkunjung (nyekar) ke tempat makam leluhur untuk
menghormati. Bahkan, di dalam rumahnya juga masih menujukkan suasana
keturunan Jawa yang masih kental yaitu warisan dari keluarga besarnya seperti
banyaknya patung berpasangan atau pengantin, yang menurut kepercayaan orang
Jawa apabila sedang banyak retaknya maka mereka sedang berkelahi atau “tidak
akur”.
Nancy juga selalu diajarkan oleh ayah dan keluarga besarnya mengenai
adat sebagai turunan dari suku Jawa yaitu harus bisa “njawa” atau berakhlak. Jadi
dalam bertutur kata harus halus, bersikap sopan dalam tingkah laku maupun budi
bahasa sebagai tanda menghormati orang lain atau yang lebih tua, menggunakan
pakaian yang sopan dan rapi ketika pergi bertamu ke tempat orang lain, apabila
melewati yang lebih tua agak membungkuk, dan ketika orang tua baru datang
harus membawakan barang bawaannya sebagai tanda santun, serta diajarkan
untuk mempersilahkan orang tua dahulu di meja makan. Setelah itu, ia juga
diajarkan ketika ada masalah dengan orang, maka harus tersenyum saja karena
bagi orang Jawa, senyum itu adalah senjata yang ampuh untuk membalas mereka.
Universitas Kristen Petra
75
4.2.4.2 Setting Penelitian
Wawancara 1 : Minggu, 24 April 2016
Pada pukul 15.40 WIB, peneliti bersama informan keempat bernama
Nancy sepakat untuk melakukan wawancara yang pertana di kediamaannya yang
berada di daerah Surabaya Selatan. Pada saat sesampai di depan rumahnya,
peneliti dipersilahkan untuk masuk dulu dengan pembantunya. Beberapa menit
selanjutnya, Nancy datang menyambut dengan senyum yang ramah. Peneliti
sengaja memilih untuk melakukan proses wawancara di kediaman informan
dengan alasan bisa lebih santai ketika melakukan wawancara. Setelah berbincang-
bincang, peneliti membuat janji lagi dengan informan untuk melakukan
wawancara di hari lain.
Wawancara 2 : Selasa, 17 Mei 2016
Pukul 19.20 WIB, peneliti kembali mendatangi kediaman informan untuk
melanjutkan proses wawancara. Pada wawancara yang kedua ini, bertempat di
teras depan rumah informan sambil menikmati teh hangat. Saat itu, Nancy dengan
menggunakan kaos merah dan bawahan running pants keluar dari kamar untuk
menemui dan menyapa peneliti yang baru datang.
Dari luar, rumah Nancy memang tampak seperti bangunan lama apalagi
ketika memasuki ruang tamu masih terlihat kental sekali dengan ornament khas
Jawa. Dalam ruang tamu, terlihat patung sepasang pengantin Jawa yang
diletakkan di beberapa sudut. Bahkan, meja dan kursi yang ada di ruang tamu juga
berasal dari kayu yang diukir-ukir.
4.3 Temuan Data
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai penerimaan informan dalam fim
Ngenest maka peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan informan
yang sudah dipilih. Selanjutnya peneliti, memilih adegan yang sesuai dengan
reaksi verbal ataupun non verbal yang ditampilkan oleh informan. Berikut
merupakan temuan data dan hasil wawancara dengan para informan :
Universitas Kristen Petra
76
4.3.1 Definisi diskriminasi
Informan 1 (Olivia) :
Olivia menceritakan bahwa ketika menyaksikan film layar lebar Ngenest
ini, dia menangkap ada lumayan banyak adegan yang menujukkan diskriminasi
etnis Tionghoa yang diperlihatkan secara jelas dari awal cerita film ini dimulai.
Dari banyaknya adegan tersebut, Olivia menarik kesimpulan bahwa diskriminasi
merupakan cara seseorang memperlakukan orang lain dengan berbeda dengan
menunjukkan adanya rasa tidak suka terhadap orang yang bersangkutan tersebut.
Saat peneliti menanyakan hal ini, terlihat wajah Olivia sangat serius, dan hanya
tersenyum sinis saja. Berikut merupakan salah satu kutipan dari Olivia :
“Kalo menurutku diskriminasi itu ya berarti perlakuan’e berbeda
seh, jadine kesan’e kayak gak dianggep gitu lah trus juga misale
karena aku ngerasa kamu kok gini ya akhire aku jadi males gak mau
sama kamu” (Wawancara, Olivia, 2016).
Olivia juga menjelaskan bahwa memang secara individu bisa terjadi tetapi
itu hanya bisa terlihat di dalam individu saja. Sedangkan menurutnya sebagian
besar lebih sering dilakukan oleh antar kelompok yang telah dipengaruhi oleh
pemikiran yang belum tentu benar mengenai sekelompok terhadap kelompok lain.
Bagi Olivia, dalam teks yang ada di dalam film Ngenest terlihat sekali bagaimana
nasib seorang anak dari keturunan etnis Tionghoa yang mendapat perlakuan
diskriminasi oleh teman-teman pribuminya hanya karena dia sebagai kaum
minoritas. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Olivia dengan intonasi yang
tinggi karena dia pernah mempunyai pengalaman pahit sebelumnya. Hal ini juga
mempengaruhi dia dalam menentukan sekolah, pergaulan dan pasangan. Berikut
merupakam kutipan dari Olivia :
“Soale kalo kelompok itu bakal lebih nunjukkin banget gak seneng’e
kayak apa makae pas di jamanku itu lak sering seh ada kerusuhan
apalagi buat keturunan kayak aku tionghoa ya terancam. Apalagi
mamaku pernah dibully di sekolah negeri jadine sama kayak di film
ini aku juga disuruh masuk sekolah swasta, trus sebisa mungkin
bergaul sama yag keturunan sama dan cari pasangan yang sama
biar ada marganya yang diturunin” (Wawancara, Olivia, 2016).
Universitas Kristen Petra
77
Informan 2 (Denny) :
Melalui film Ngenest, Denny menemukan gambaran yang jelas mengenai
banyaknya adegan yang menujukkan diskriminasi. Baginya, beberapa kalimat-
kalimat yang muncul telah mewakili bagaimana keresehan pada era itu dan itulah
yang memang sering terjadi di masyarakat. Pemahaman Denny sendiri mengenai
diskriminasi adalah tindakan yang merendahkan, atau membagi ke dalam sebuah
kelompok-kelompok tertentu. Berikut merupakan salah satu kutipan dari Denny :
“Diskriminasi itu merendahkan sebetulnya, lebih ke arah
pembedaan atau mengkotak-kotakan seseorang sih, jadi misal kita
berada di sekumpulan lingkungan yang isinya ada orang jawa 10,
orang tionghoa 3 dan orang madura 2 nah akhirnya muncul yang
namanya skala mayoritas dan minoritas trus buat jadi mengkotak-
kotakan” (Wawancara, Denny, 2016).
Denny juga sempat menceritakan bahwa secara konteks bahasan yang
dibawa itu sebenarnya adalah masalah serius tetapi ketika diimplementasikan ke
dalam film malah bisa menjadi sesuatu yang lucu dengan parodi-parodi yang ada.
Selain itu, bagi dia diskriminasi juga biasanya lebih sering dilakukan oleh suatu
kelompok dan sudah ada semenjak seseorang berada di tingkat sekolah dasar.
Kata Denny seperti yang ditunjukkan di dalam film ketika Ernest masih berada di
tingkat dasar tetapi sudah harus mengalami yang namanya bullying atau yang
tidak lain adalah bahasa keren dari diskriminasi untuk saat ini. Tindakan ini juga
biasanya karena dipengaruhi oleh lingkungan yag ada di sekitarnya, termasuk apa
yang dicerna, dilihat, dan status sosial. Denny juga mengatakan bahwa tindakan
yang dilakukan oleh kelompok mampu mempengaruhi mental seseorang untuk
menyangkal tentang siapa dirinya dan berusah menjadi sama seperti kelompok
tersebut. Berikut merupakan salah satu kutipan dari Denny :
“Ya karena sebetulnya di tingkatan SD aja diskriminasi itu sudah
ada, belum lagi kalo dia nanti sudah beranjak ke SMP atau
selanjutnya tapi juga balik lagi sih tergantung darimana sudut
pandang orang itu yang lihat jadi lebih situasional aja. Tapi untuk
masalah pergaulan bapak sama ibu tidak pernah mengajarkan aku
untuk memilih-milih sih jadi ya siapa aja bisa, sekolah juga bebas
karena kebetulan bapak dulunya juga masuk sekolah Kristen tapi
kita muslim” (Wawancara, Denny, 2016).
Universitas Kristen Petra
78
Informan 3 (Vanessa) :
Pada saat menyaksikan film Ngenest ini, Vanessa telah melihat ada
lumayan banyak adegan yang memperlihatkan diskriminasi etnis Tionghoa. Bagi
dia, secara teks yang ada di dalam film Olivia merasa bahwa adanya adegan yang
bully atau ejek-ejekan itu dia agak kurang suka karena kasar dan tidak seharusnya
sampai segitunya. Vanessa memahami diskriminasi itu berarti merasa bahwa
dirinya atau kelompoknya sendiri itu yang paling baik dibandingkan dengan
kelompok yang lain. Berikut kutipan yang diungkapkan oleh Vanessa:
“Diskriminasi itu menurutku kita merasa eksklusif dengan kaumnya
kita sendiri jadi kayak beranggapan kalo kelompoknya kita itu yang
paling baik, ekslusif, dan kelompoknya mereka itu tidak baik, dan
kita tidak pengen bersatu dengan mereka” (Wawancara, Vanessa,
2016)
Vanessa juga mengatakan bahwa diskriminasi bisa terjadi karena
dilakukan oleh antar kelompok. Menurutnya, sebelum diskriminasi terjadi maka
akan muncul yang namanya stereotipe terlebih dahulu dan itu tidak hanya
melibatkan satu orang saja melainkan karena merasa punya kubu atau kelompok
sendiri. Berikut merupakan kutipan dari Vanesa :
“Harusnya sih antara kelompok dengan individu sih, kayak di film
ini yang jadi sorotan diskriminasi cuma Ernest aja toh padahal
sahabatnya juga keturunan Tionghoa tapi ndak dibully. hmm...
mungkin karna Patrick lebih mirip pribumi secara fisik ya dan kalo
Ernest kan keliatan dari matanya sipit, sama kulitnya putih jadi ya
lebih bisa mempresentasikan kelompoknya itu tadi” (Wawancara,
Vanessa, 2016)
Informan 4 (Nancy) :
Menurut Nancy, adanya keberanian dengan memunculkan film ngenest ini
ke dalam layar lebar telah membuktikan bahwa di era yang sekarang sebuah
masalah yang dulunya begitu sensitif sudah bisa dikonsumsi oleh publik, dan
bahkan melalui teksnya dapat memperlihatkan secara jelas beberapa adegan yang
menunjukkan bahwa itu diskriminasi, seperti ya memang itu yang terjadi. Tetapi
baginya, pemahaman mengenai diskriminasi adalah berarti mengambil alih atau
merampas yang semestinya diperbolehkan juga untuk dirasakan oleh orang lain.
Universitas Kristen Petra
79
Hal ini diungkapkan oleh Nancy dengan nada tegas dengan diselingi tertawa.
Berikut merupakan salah satu kutipannya :
“Diskriminasi itu kalo setauku ya perebutan hak, kalo menjelek-
jelek’an seseorang itu mungkin masih level ringannya aja kalo yang
sudah di level berat ya itu tadi ketika sesuatu yang harusnya boleh
dilakukan tapi karna dia punya label ini itu jadi tidak boleh”
(Wawancara, Nancy, 2016).
Bagi Nancy, sebenarnya tindakan diskriminasi itu bisa dilakukan oleh
siapa aja bergantung pada kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya tetapi yang
jelas dan pasti akan dilakukan oleh mayoritas ke yang minoritas. Dia juga
menceritakan kalau di dalam film ini juga ditunjukkan bahwa yang mendapat
perlakuan berbeda adalah minoritas yaitu Ernest dan temannya. Mereka terpaksa
harus menerima perlakuan diskriminasi dari mayoritas pribumi yang ada di
sekolahnya. Tetapi Nancy merasa bersyukur meskipun dia berasal dari suku Jawa
dan sejak sekolah selalu berada di lingkugan yang mayoritas beretnis Tionghoa
semua tidak membuatnya dianggap sebagai minoritas oleh teman-temannya.
Berikut kutipan dari Nancy:
“Sepengalamanku di sekolah dulu juga aku ngeliatnya malah yang
dibully itu yang pribumi karena mungkin mereka secara basically
berbeda dari yang mayoritas, tapi beda lagi ya kalo di Jakarta kan
yang tionghoanya lebih sedikit soalnya mereka minoritas. Makanya
liat lingkungannya dulu” (Wawancara, Nancy, 2016).
4.3.2 Bentuk Diskriminasi
Informan 1 (Olivia) :
Setelah menonton, Olivia mengatakan bahwa di dalam film ini dia melihat
bagaimana etnis Tionghoa dibahas secara jelas sekali mulai dari karakter orang
Tionghoa itu seperti apa, kebiasaan atau budaya apa saja yang ada, dan termasuk
juga diskriminasi yang dirasakan oleh kaum mereka. Hal tersebut semakin jelas
terlihat melalui mimik wajahnya yang serius dan agak kesal ketika mengucapkan
bahwa ada banyak adegan yang tidak adil ditunjukkan antara perlakuan orang
pribumi ke tionghoa. Berikut salah satu kutipan dari Olivia :
“Ya lumayan banyak seh… kayak misale ngejek Ernest di depan
kelas soale dee masuk kelas 1B bukan 1C Cina Cipit, trus waktu
malakin makanan’e, trus juga pas keluarga’e dari yang pribumi
Universitas Kristen Petra
80
sempet gak ngebolehin soale pernah punya pengalaman buruk
ditipu sama orang Tionghoa” (Wawancara, Olivia, 2016).
Menurut Olivia, selain dari perkataan atau ucapan yang kerap dilontarkan
oleh teman-temannya ke Ernest seperti yang ada dalam film ini juga ada bentuk
lain yang bisa membuat terjadi diskriminasi tanpa disadari. Bentuk lain yang
dimaksudkan adalah lewat media sosial, mungkin sepele tapi bagi dia itu malah
bisa jadi alat yang ampuh untuk menyindir atau menghina seseorang. Berikut
merupakan kutipan dari Olivia :
“Ada seh kayak dari kata-kata misal’e, di film ini pas awal-awal kan
juga sempet ada seh. Ehmm….. mungkin menurutku lewat media
sosial ya bisa, salah satune instagram kan banyak post’an yang gak
bener kayak misal’e frontal gapapa tapi kan keliatan mana frontal
biasa, guyonan apa punya maksud tertentu. Trus aku juga pernah
liat kasus dipublish di facebook tentang orang tionghoa dianggep
sengaja nabrak pribumi dan itu diprovokasi padahal polisi aja
bilang enggak. Maka’e sekarang gak kata-kata atau fisik ae yang
termasuk diskriminasi tapi meddia sosial juga bisa” (Wawancara,
Olivia, 2016)
Informan 2 (Denny) :
Menurut Denny, setelah menyaksikan bersama teman-temannya di
bioskop yang dia lihat dalam film ini adalah ingin menyampaikan bahwa sebisa
mungkin yang namanya perbedaan itu tidak ada tetapi yang terjadi memang
perbedaan itu benar-benar ada dan meskipun dari diri kita suka tidak suka ataupun
mau tidak mau tetap ada. Sebenarnya bagi dia hal ini bisa menjadi sedikit
berkurang apabila secara pribadi ada keinginan untuk tenggang rasa satu sama
lain. Denny menjelaskan bahwa dari sekian banyaknya adegan yang mengandung
adanya unsur diskriminasi, dia tidak bisa mengingat semuanya secara jelas hanya
saja yang menurutnya paling frontal. Berikut kutipan dari Denny:
“Wah ya banyak banget kalo adegan, tapi salah satu yang aku inget
itu waktu ada adegan yang ngomongnya ekstrim… kalo gak salah
inget sih kayak kata-kata mata sipit yang diucapin Meira waktu
ditelpon Ernest pertama kali, trus juga banyak bahasa-bahasa yang
sering digunakan di kehidupan sehari-hari dan itu ngena banget
apalagi untuk yang pernah ngalami ya” (Wawancara, Denny, 2016).
Denny menceritakan bahwa sebenarnya untuk masa sekarang ini bentuk
dari diskriminasi sudah berkurang malahan hampir tidak ada, entah itu dilihat dari
Universitas Kristen Petra
81
sudut pandang manapun karena bentuknya juga semakin samar-samar dan
perbedaan mengenai SARA sudah menjadi bahan candaan sehingga tidak
membuat sakit hati. Terkadang bisa saja masih ada tetapi itu hanya karena
ditentukan dari dasar kelompok, pergaulan atau harga diri saja. Termasuk juga
masalah dekat atau tidaknya seseorang dalam pergaulan bisa mempengaruhi
seseorang dalam menerima perlakuan diskriminasi. Berikut kutipan dari Denny :
“Mungkin yang masih ada ya…kan kebanyakan pengusaha di
Surabaya itu 80% dari keturunan Tionghoa dan buruhnya berasal
dari orang Jawa atau ya pribumi dan yang bisa berdekatan dengan
mereka kalo tidak sesama etnisnya sendiri ya ada dari berbeda suku
tapi punya kemampuan di atas rata-rata. Ohya, soal bercandaannya
anak Surabaya ini kadang ngawur karena kaitannya bisa macem-
macem mulai dari agama, suku kek” (Wawancara, Denny, 2016).
Informan 3 (Vanessa) :
Menurut Vanessa, pertama kali yang masih dia ingat waktu berada di
bangku bioskop melihat film ini adalah satu hal yang muncul di pikirannya yaitu
begitu terasa rasis sekali sampai terlihat jelas juga diskriminasinya itu seperti apa.
Menurutnya, adegan-adegan dari diskriminasi yang diperlihatkan dalam film
Ngenest ini, secara konteksnya dia menangkap bahwa ingin semakin menguatkan
bahwa perlakuan yang dilakukan oleh orang pribumi ke orang Tionghoa itu untuk
membuktikan rasa tidak sukanya mereka karena mempunyai anggapan yang tidak
baik mengenai orang Tionghoa seperti anggapan bahwa orang Tionghoa itu
sombong, pelit, dan beda dengan kelompoknya.Seringkali juga muncul kata-kata
yang sebenarnya mungkin hanya ingin dibuat lucu tetapi bagi Vanessa hal ini
justru kesannya seperti menghina. Salah satu adegan yang masih dia ingat adalah
ketika Ernest sempat diejek lebih mirip dengan vampire Cina kesetrum genset
oleh teman-teman pribuminya. Berikut merupakan kutipan dari Vanessa :
“Waktu Ernest pergi ke konser itu kan dia sampe ditinggal toh sama
temen-temennya, trus dikucilin waktu sd, diambil makanannya dan
dipalakin di dalam bis… ya mungkin kan di satu sisi memang
diskriminasi yang dirasakan orang Tionghoa di film ini harus
dibuka untuk diperlihatkan karena itu kan cerminan dari kehidupan
kita. Cuma kok saya pikir ini kan sebuah film, kalo saya liat ini
mungkin bisa jadi positif tetapi untuk yang tidak tau bukannya untuk
belajar malah bisa tambah parah karna menganggap hal ini betul
makanya jadi makin membully orang” (Wawancara, Vanessa, 2016)
Universitas Kristen Petra
82
Sedangkan Vanessa juga menceritakan mengenai bentuk lain dari
diskriminasi di masa sekarang itu sudah seperti apa, dia mengungkapkan dengan
sedikit tersenyum sambil membenarkan posisi duduknya bahwa untuk saat ini
bentuknya sudah lebih lembut. Baginya, adanya perubahan ini juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungkan dan keluarganya juga karena saat ini Vanessa sedang
jauh dari orang tuanya sehingga dia lebih bisa terbuka dengan sekitar bahwa
semua orang tidak bisa digeneralisasikan. Berikut kutipan dari Vanessa :
“Secara tidak sadar ya dari tutur atau perkataan itu misalnya
mengolok cina, cina gitu. Meskipun menganggap bercanda tapi kan
itu sebenernya sudah termasuk diskriminasi juga, sesama temenku
Tionghoa pun juga sering gitu kalo semisal ada yang pelit langsung
dibilang eh dasar kamu Cina tapi sambil ketawa” (Wawancara,
Vanessa, 2016).
Data Informan 4 (Nancy) :
Menurut Nancy, ketika sedang menonton film ini dia melihat bahwa ada
stereotipe-stereotipe yang terus dimunculkan mengenai Tionghoa seperti misalnya
ditunjukkan jika orang Tionghoa itu pelit, dan identikkan dengan selalu
berdagang. Selain itu, bagi Nancy konteks diskriminasi yang terjadi di dalam film
ini karena sebagai wujud dari terbentuknya stereotipe yang sudah lebih dahulu
ada dari turun-temurun yang mewariskan generasi selanjutnya untuk berpikiran
yang sama tanpa melihat kebenaran terlebih dahulu. Hal ini semakin dipertegas
dari balik senyum sambil menutupi hidungnya. Berikut kutipan dari Nancy :
“Misalnya kayak adegannya Ernest ngobrol sama temennya itu kan
lagi bicarain tentang anaknya yang bonyok digebukin temen-temen
sekolahnya, itu aja uda nunjukkin diskriminasi banget kalo orang
Tionghoa itu buat pulang ke rumah dengan aman aja susah mesti
ngerasain namanya digebukin dulu” (Wawancara, Nancy, 2016).
Menurut Nancy memang konteks diskriminasi yang ada di dalam film
diperlihatkan bagaimana dilakukan melalui bentuk fisik, atau juga verbal. Tetapi
dia berpikiran bahwa untuk masa yang sekarang sepertinya hal tersebut sudah
tidak bisa dipermasalahkan, tetapi juga kembali lagi tergantung dari orangnya
yang menerima diskriminasi. Hal ini juga karena pengaruh dari pemerintahan
yang sudah tidak separah dulu, semenjak pimpinan Gus Dur Bangsa Tionghoa
Universitas Kristen Petra
83
mulai disuarakan dan akhirnya berlanjut hingga sampai saat ini. Berikut
merupakan kutipan dari Nancy :
“Apa ya…. kalo sekarang mungkin cuman nyebut kamu cina kamu
jawa itu menurutku biasa aja sih karena mungkin segumbulanku
juga gitu semua dan uda deket jadi ya menurutku itu bukan
diskriminasi lagi dan pikiran jaman sekarang lebih terbuka aja sih.
Tapi mungkin juga masih ada yang beranggepan itu diskriminasi
tapi itu kemungkinan besar karna didikan atau pernah ngalamin
orba dulunya gatau lagi tapi kan itu tergantung sama orangnya
sih” (Wawancara, Nancy, 2016)
Nancy juga menceritakan bahwa dari faktor keluarga sangat berpengaruh
sekali dalam membentuk dirinya untuk terbuka dalam memandang segala sesuatu,
dan tidak membatasi lingkup dirinya dari siapapun. Selain dalam keluarga,
pergaulan yang ada di sekitarnya juga membantu dia untuk membuka pikirannya
untuk tidak menyudutkan seseorang yang berasal dari keturunan yang berbeda,
jadi semua itu sama aja dasarnya. Hal itu yang mempengaruhi Nancy untuk tidak
mempermasalahkan apalagi menganggap diskriminasi ketika jadi bahan sindirian
di kelas karena dia orang Jawa. Berikut kutipan dari Nancy:
“Jadi waktu itu guruku kan orang Tionghoa, nah dia pernah
bilang ke temen sebelahku yang juga Tionghoa biar jangan sampe
kalah sama wana gitu, mungkin kalo aku pribadi sih biasa aja asal
ga bener-bener disenggol banget tapi yang lain kan belum tentu
juga bisa sama kayak aku nerimanya…itu juga karena kebetulan
temenku juga banyak yang Tionghoa jadi kadang suka lucu aja
kalo mereka ngerasani orang Jawa ke aku kayak seakan akan aku
ini bukan orang Jawa, kadang bingung juga harus jawab gimana”
(Wawancara, Nancy, 2016)
4.3.3 Dampak dari Diskriminasi
Data Informan 1 (Olivia) :
Menurut Olivia, apabila seseorang mengalami perlakuan diskriminasi dari
orang lain biasanya akan mengalami trauma berat, dan menjadi dendam karena
sudah terlanjur menempel di kepala pernah diperlakukan secara tidak baik
sehingga akan cenderung memilih untuk membatasi diri dari orang lain. Tetapi
yang Olivia tangkap lewat film Ngenest ini adalah kepahitan yang terus menerus
dirasakan dan melekat pada diri Ernest inilah yang membuatnya jadi mengalami
ketakutan sendiri untuk mempunyai anak, dan dia juga merasa susah untuk punya
Universitas Kristen Petra
84
temen kecuali hanya Patrick yang sama-sama berasal dari etnis Tionghoa.
Bahkan, bagi Olivia adanya perlakuan diskriminasi yang dirasakan oleh Ernest
mampu merubah pandangannya mengenai orang pribumi dan orang Tionghoa
seperti menolak untuk masuk sekolah yang mayoritas Tionghoa semua, dan juga
sampai akhirnya terobsesi mencari perempuan pribumi supaya anaknya kelak
tidak dibully. Olivia juga mengatakan bahwa dalam film ini dengan menujukkan
gambaran konteks diskriminasi ini bisa memberikan efek trauma.
Menurutnya ada pengaruh juga yang diperoleh dalam kesehariannya
setelah menonton film ini, Olivia mengatakan iya dengan nada agak ketus dan
sambil menghela nafas panjang. Berikut adalah kutipan dari Olivia :
“Sebenere sebelum nonton aku sudah punya trauma sendiri seng
bikin jadi ngerasa takut apalagi untuk ngobrol sama orang pribumi
atau orang yang kulit’e lebih gelap dari aku, apalagi setelah aku
tau ternyata film ini bahas masalah serius tapi malah dibuat bahan
ketawane orang-orang ya malah bikin aku makin sakit hati lah. Aku
juga sekarang lebih menutup diri karna aku merasa kayak dihantui
sendiri dan aku juga gak berpikiran untuk pengen menikah sih”
(Wawancara, Olivia, 2016).
Olivia juga sempat mengatakan bahwa seorang Ernest ini termasuk anak
muda yang aneh karena terlalu memikirkan pendapat dari orang lain mengenai
etnisnya sebagai keturunan Tionghoa itu seperti apa. Padahal menurutnya, Ernest
sudah mendapat perlakuan yang kurang enak dari kelompok mayoritas tersebut.
Berikut kutipan dari Olivia :
“Aku ae yang cuma diceritain mama pernah ngerasain dibully
soale punya kulit paling putih trus dibilang mayat hidup tapi sek
tetep berjuang cari pasangan yang suku’e sama, ini malah sampe
nikah sama orang diluar keturunan’e dee. Lek aku jadi Ernest wes
gak tak reken omongan’e mereka apalagi yang mulai duluan juga
mereka jadi aku mending milih buat gak ngedeket aja daripada
harus ditanggepi percuma bikin jengkel sendiri toh juga tetep aja
salah gak salah orang tionghoa mesti kena imbas’e juga kok”
(Wawancara, Olivia, 2016)
Data Informan 2 (Denny) :
Menurut Denny, apabila seseorang mengalami perlakuan diskriminasi dari
orang lain dampak yang akan diperoleh adalah psikologisnya menjadi terganggu.
Apalagi jika diskriminasi yang dirasakan tersebut terjadi secara terus menerus,
Universitas Kristen Petra
85
dan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya itu akan lebih membahayakan.
Bahkan, keluarga pun juga termasuk mempengaruhi dalam pembentukan awal
mental seorang anak. Seperti yang ada di dalam film Ngenest ini, Denny melihat
bahwa Ernest telah mengalami ketakutan yang terus terbawa sampai menikah dan
membuatnya untuk terus menunda memiliki anak, dan membuat dirinya menjadi
menyangkal sebagai orang Tionghoa. Secara konteks diskriminasi yang ada, hal
itu memberikan tekanan pada Ernest karena perlakuan yang diberikan oleh teman-
teman pribuminya sebegitu mempengaruhiya. Bagi Denny, setelah menonton film
ini tidak ada pengaruh yang diperoleh dalam keseharian, karena dia hanya
penasaran bagaimana kalo dijadikan sebuah film itu akan menjadi seperti apa.
Berikut merupakan kutipan dari Denny :
“Mungkin karena dari didikan keluargaku yang demokratis itu
jadinya ya cuma sekedar nonton film itu aja untuk tau seperti apa
sih kalo kejadian-keadian yang ada di dalam seputar dunia kita
sehari-hari itu dibikin jadi film dan bakal gimana sih diterima
masyarakat tapi ya nyatanya memang ngena untuk sebagian besar
orang” (Wawancara, Denny, 2016)
Denny sambil tersenyum mengatakan bahwa sosok Ernest yang dilihatnya
itu adalah orang yang down to earth sehingga tidak terlalu mempermasalahkan
dia mau bergaul dengan siapa saja. Meskipun di dalam film terlihat secara jelas
dari ekspresinya bahwa Ernest telah mengalami tekanan yang berat, dan sempat
mengalami yang namanya krisis kepribadian sampai mempertanyakan tentang
banyak hal. Tetapi setelah lama akhirnya dia bisa menerima dirinya sendiri dan
berusaha untuk menikmati hidupnya yang terlahir sebagi orang Tionghoa. Berikut
merupakan kutipan dari Denny :
“Kalopun aku tidak mendapat perlakuan yang sama persis seperti
Ernest, tapi aku tetap pernah mengalami rasanya diskriminasi itu
gimana jadi ya aku marah, jengkel tapi untungnya sih aku tidak
sampe merasa di titik oh Tuhan itu tidak adil… Sampai saat ini aku
juga masih memegang teguh ajaran agamaku dan lebih memilih
untuk tersenyum dan pergi aja karena kalo makin tak ladenin yang
ada malah mereka yang puas berhasil kayak yes korbanku kena”
(Wawancara, Denny, 2016)
Universitas Kristen Petra
86
Data Informan 3 (Vanessa) :
Menurut Vanessa, apabila seseorang telah diperlakukan secara tidak adil
oleh orang lain maka orang yang menjadi korban dari diskriminasi tersebut juga
akan ikut melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Seperti yang ditunjukkan
di dalam film ini ketika Ernest mendapat tekanan karena merasa tidak diterima
sehingga membawa dampak untuk dirinya sendiri jadi tidak mau menerima apa
adanya sebagai orang Tionghoa karena merasa serba terbatas ketika ingin
melakukan sesuatu, dan hanya dipandang sebelah mata. Bagi Vanessa, perlakuan
yang Ernest terima juga mampu membuat dirinya jadi membenci kaumnya sendiri
tetapi untungnya tidak sampai merusak hubungan relasi dengan keluarga dan
teman-teman sesama Tionhoa. Menurut Vanessa secara pribadi konteks yang ada
pada film ini tidak mempengaruhinya dalam keseharian karena karena semenjak
kecil dia sudah berada di pergaulan yang lingkungannya adalah mayoritas dari
keturunan Tionghoa semua, termasuk selama menempuh pendidikan berada di
swasta. Berikut merupakan kutipan dari Vanessa :
“Malahan kadang karna saya terlalu lama berada di lingkungan
yang sesama dari keturunan saya trus jadi waktu liat yang berbeda
dari etnis saya secara tidak sadar merasa aneh dengan mereka.
Tapi itu dulu sih, sekarang saya lebih terbuka karna sudah jauh
dari pengaruh orang tua dan menurut yang saya lihat tidak semua
orang Pribumi itu jahat dan orang Tionghoa baik karena orang
Tionghoa juga ada yang kayak bandit-bandit gitu” (Wawancara,
Vanessa, 2016).
Bagi Vanessa, Ernest termasuk orang yang berpikiran pendek sampai
menunda mempunyai anak karena takut bermata sipit seperti dirinya dan memilih
menghilang dari kenyataan dengan mengabaikan istrinya sampai menjelang
kelahiran. Selain itu yang Vanessa lihat dalam teks film ini, Ernest juga tetap
memberikan respon yang positif pada teman-temannya bukannya jengkel atau
benci sama mereka yang sudah memberikan perlakuan diskriminasi tetapi malah
dia lebih menyalahkan dirinya sendiri, berkeinginan untuk menjadi sama dengan
mereka (pribumi), dan berusaha untuk terus menyangkal bahwa dirinya sebagai
orang Tionghoa. Tetapi meskipun Ernest merasa jengkel dengan kaumnya sendiri,
dia tetap menjalankan budayanya sebagai keturunan Tionghoa ketika menikah.
Berikut merupakan kutipan dari Vanessa :
Universitas Kristen Petra
87
“Mungkin memang Ernest lebih milih untuk menerobos aja dan
nekat menikah sama pribumi, trus juga masuk ke negeri untuk
ajang pembuktian kan, tapi kalo saya akan diam saja tidak
membalas hanya berusaha untuk menghapuskan batasan yang ada
bahwa orang Tionghoa tidak seperti yang mereka bayangkan”
(Wawancara, Vanessa, 2016).
Data Informan 4 (Nancy) :
Menurut Nancy, apabila seseorang memperlakuan orang lain secara tidak
adil dapat memberikan dampak mendasar seperti hilangnya rasa self esteem atau
kepercayaan diri yang dimiliki seseorang. Selanjutnya, orang yang merasakan
diskriminasi juga merasa tidak terima, dan berkeinginan untuk memperlakukan
orang lain sama seperti yang dirasakannya. Hal ini akhirnya menjadi sebuah rantai
yang terus menerus berlanjut dan tidak ada habisnya. Bagi Nancy, secara konteks
diskriminasi yang ditampilkan melalui film Ngenest ini menunjukkan bagaimana
seorang Ernest merasakan menjadi bagian dari minoritas atau outgroup bahan
bullying. Nancy juga menceritakan bahwa ada dampak unik yang Ernest rasakan
karena dia malah menjadi rishi dengan bangsanya sendiri sampai terobsesi untuk
mempunyai keturunan yang tidak seperti orang Tionghoa sehingga akhirnya dia
berusaha untuk mencari jodoh dari keturunan pribumi. Menurutnya, adanya
perlakuan diskriminasi yang ada dalam film ini tidak mempengaruhi
kesehariannya karena didikan dari faktor keluarganya yang sudah diterapkan.
Berikut adalah kutipan dari Nancy :
“Kalo di film ditunjukkan gimana Ernest sampe parno untuk punya anak
karna pengalaman pahit semasa kecilnya hingga berimbas ke istrinya,
tapi kalo aku pribadi gak berpengaruh apa-apa sih karena dari kecil
mungkin uda dibiasain buat gak beda-bedain sekitarku” (Wawancara,
Nancy, 2016)
Nancy menceritakan bahwa Ernest merupakan seorang orang yang punya
rasa ingin tahunya lumayan besar tapi sebenarnya ga seberapa masalah karena dia
juga lucu-lucu aja menurutku. Tetapi bagi Nancy, apa yang dia tangkap
berdasarkan teks pada film Ngenest ini Ernest bukan orang berontak, atau radikal
seperti pada jaman Orde Baru waktu itu tetapi dia lebih memilih untuk mengatasi
permasalahan diskriminasinya dengan mencari caranya sendiri untuk bisa keluar
dari stereotipe yang sudah dibuat oleh orang pribumi. Berikut merupakan kutipan
dari Nancy :
Universitas Kristen Petra
88
“Mungkin kalo di film ini Ernest lebih pengen orang pribumi itu
ngerubah stereotipe kelompoknya mereka sampe usaha cari cara
jadi kayak mereka biar dibilang sama.. kalo semisalnya itu aku ya
aku gak akan ada niatan sampe memusuhi sih karena mboh ya
dengan usiaku yang sekarang ini aku mikir kalo yang namanya beda
dari kita itu pasti ada yasudah toh biatin apalagi sampe cari temen
buat ngebales segala” (Wawancara, Nancy, 2016)
4.3.4 Penyebab dari Diskriminasi
Data Informan 1 (Olivia) :
Menurut Olivia, ketika menceritakan mengenai apa penyebab dari
terjadinya diskriminasi dia mengatakan bahwa sebenarnya semua yang ada itu
tidak mungkin terjadi secara begitu saja tetapi dimulai dari pemikiran setiap orang
yang akhirnya menciptakan situasi dan menjadi mengalir secara begitu saja.
Seperti yang telah ditunjukkan dalam film Ngenest tersebut, bagi dia Ernest
mengalami perlakuan diskriminasi karena berasal dari keturunan Tionghoa. Hal
ini karena adanya sterotipe yang kurang baik mengenai orang keturunan Tionghoa
di mata orang pribumi, maka dari itu dia terpaksa harus merasakan dibedakan
oleh kaum pribumi. Terutama di masa itu yang dianggap orang-orang dari
Tionghoa sendiri suka mengeksklusifkan diri. Berikut adalah kutipan dari Olivia :
“Pengalaman buruk yang pernah dialami seh lek menurutku trus
juga biasa’e ada kayak cuci otak dulu yang bikin orang itu jadi ikut
kebawa soale bangsa terus-terus’an dikasih tunjuk tentang asumsi
yang belum tentu kejadian sampe akhire jadi mancep wes di setiap
pemikiran’e orang” (Wawancara, Olivia, 2016)
Olivia mengatakan bahwa diskriminasi sampai kapanpun itu akan tetap
ada dan tidak akan pernah bisa hilang apalagi ini berada Indonesia meskipun
Bhinneka Tunggal Ika tetapi tetap saja tidak bisa dihilangkan begitu saja karena
sudah terlanjur ada garis di antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Berikut merupakan kutipan dari Olivia :
“Kalo menurutku ya jauh wes lebih mending sekarang lah ya
daripada jamanku dulu, bukti’e sekarang aja masalah serius kayak
gitu ae wes dianggep kayak enteng, guyonan padahal gatau toh
mereka kalo itu gak lucu blas apalagi buat aku pribadi yang
ngerasain gimana sereme’e keadaan banyak orang pribumi seng
anti sama Cina” (Wawancara, Olivia, 2016)
Universitas Kristen Petra
89
Data Informan 2 (Denny) :
Menurut Denny, tindakan diskriminasi dapat terjadi karena disebabkan
oleh berbagai macam faktor, termasuk juga seperti darimana asal muasal dasarnya
permasalahan yang terjadi tetapi bagi Denny yang menjadi faktor utamanya
adalah karena lingkungan. Selain itu, sebenarnya mempunyai atribut yang bisa
bergaul dan tidak juga bisa mempengaruhi bagaimana seseorang bisa di terima di
suatu kelompok. Denny juga menceritakan kalau dia menangkap konteks
diskriminasi yang ada pada film bisa terjadi karena sudah terbentuk terlebih
dahulu pandangan yang buruk mengenai keturunan Tionghoa sehingga kaum
pribumi akan cenderung menggap mereka berbeda dengan kelompoknya.
Berikut adalah kutipan dari Denny :
“Sebetulnya sulit ya kalo ditanya penyebabnya karena apa, tapi aku
yakin kalo diskriminatif atau bullying itu muncul karena lingkungan
sih jadi kalo memang lingkungannya itu tidak mendukung terjadinya
diskriminatif ya bakal tereduksi sendiri karena seleksi alam tapi kalo
memang mendukung betul ya secara sadar atau tidak sadar, ataupun
tersirat maupun tidak tersirat ya pasti akan terpelihara dan semakin
kuat” (Wawancara, Denny, 2016)
Denny juga mengatakan bahwa untuk saat ini sepertinya terjadinya
diskriminasi sudah terasa lebih baik. Menurutnya, hal ini juga karena dipengaruhi
oleh faktor pendidikan sehingga sudah lumayan bisa tereduksi dengan baik. Dia
juga sempat menceritakan bahwa selain pendidikan, faktor dari pergaulan yang
ada di lingkungan pendidikannya juga mempengaruhinya karena beberapa dari
temannya merupakan keturunan Tionghoa tetapi di antara mereka tidak ada
namanya saling memisahkan diri, atau bahkan sampai menganggap berbeda itu
tidak terjadi. Berikut merupakan kutipan dari Denny :
“Kalo kita melihat kota besar kayak Surabaya gini kan uda jarang
terjadi karena skala mayortitasnya itu uda sama jadi seperti aku
pribumi, kamu non pribumi trus kita kerja di satu perusahaan yang
sama, gajiku dapet 3 juta, kamu juga 3 juta. Yaudah tidak ada
bedanya kan, kita satu kantin dan satu bolo. Nah beda lagi kalo di
kota kecil mungkin diskriminasi masih ada semisal karena aku anak
lurah ya jadi aku tidak akan sembarangan untuk pilih teman”
(Wawancara, Denny, 2016)
Universitas Kristen Petra
90
Data Informan 3 (Vanessa) :
Menurut Vanessa, melalui film Ngenest ini menunjukkan bahwa
perlakuan diskriminasi dikarenakan adanya nilai-nilai penting yang tidak sesuai
dengan antara kelompok etnis Tionghoa dan pribumi sehingga membuat cara
memandangnya juga beda, itupun juga karena mengikuti mindset yang sudah
ditanamkan sejak orang tua lahir yang terus dibawa sampai generasi selanjutnya
dan biasanya cenderung pemikiran yang negatif. Hal itulah yang akhirnya
digunakan untuk melihat orang lain dan terjadi yang namanya ketidaksesuaian.
Tetapi Ernest tidak menggunakan cara berpikir itu, dia tidak langsung
memberikan judge pada mereka (kaum pribumi) tetapi mencari tahu dulu apa
yang membuatnya diperlakukan sebegitunya bahkan dia sampe mencoba masuk
ke dalam dunia pribumi. Bagi Vanessa, tindakan diskriminasi dapat terjadi karena
disebabkan oleh setiap individu yang selalu melihat apa yang menjadi kekurangan
dari seseorang dan apa yang menjadi kelebihan dari dirinya sendiri hingga
akhirnya karena rasa iri hati itu tadi akhirnya memasang label terhadap seseorang
tersebut atau disebut dengan labelling dan setelah itu baru terjadi yang namanya
diskriminasi. Berikut kutipan dari Vanessa :
“Jadi ya sebelumnya itu karena pola pikirnya yang sudah ada dulu
seperti berprasangka negatif tentang orang itu yang akhirnya
diturun-temurunkan menjadi meluas dan ada juga provokator yang
akhirnya membuat sebuah stereotipe atau labelling terhadap
seseorang dan berujung muncul adanya batasan-batasan tertentu”
(Wawancara, Vanessa, 2016).
Vanessa mengatakan bahwa diskriminasi yang terjadi di Indonesia
sebenarnya sudah membaik karena ada beberapa hal yang dahulunya sangat ketat
sekali peraturananya, tetapi sekarang sudah lebih terlihat saling terbuka dan
menghargai satu sama lain. Kata Vanessa, hal ini karena dipengaruhi dari cara
berpikir kita yang sudah lebih maju sehingga bisa meredam sendiri dari apa yang
telah kita lihat, dan rasakan sendiri, tidak asal menilai begitu aja. Menurutnya,
dari faktor lingkungan yang ada di sekitarnya juga sangat membantu dia dalam
menilai seseorang yang bukan berasal dari keturunan Tionghoa. Berikut
merupakan kutipan dari Vanessa :
“Ya sudah agak membaik sih karena seingetku waktu jamannya
Megawati memerintah dulu di Makassar tarakan itu Tionghoanya
Universitas Kristen Petra
91
lebih kerasa daripada di Surabaya jadi waktu Imlek tidak boleh
diekspos, dan dulunya juga bukan tanggal merah tapi sekarang
sudah jadi tanggal merah, trus nda boleh ada barongsai juga.
Bahkan di kampus negeri seperti Universitas Indonesia sudah mulai
ada jurusan sastra Tionghoa” (Wawancara, Vanessa, 2016).
Data Informan 4 (Nancy) :
Nancy mengatakan bahwa sebenarnya tindakan diskriminasi itu bisa
muncul karena adanya prasangka dan mindset terlebih dahulu yang sudah
ditentukan berdasarkan apa yang telah dialami atau pengalaman pribadinya.
Berikut merupakan kutipan dari Nancy :
“Menurutku sendiri ya karna prasangka dan mindset seseorang itu
terbentuk lebih dulu, kan gak ada sih ceritanya orang yang dilahirin
tiba-tiba uda rasis gitu makanya bergantung juga dari didikan
sekitarnya dan yang pasti dari orang tuanya. Gak itu aja, tapi dari
situ juga akhirnya muncul anggapan menyamaratakan semua orang
yang berasal dari keturunan sama” (Wawancara, Nancy, 2016).
Bagi Nancy mengenai tindakan diskriminasi yang terjadi di Indonesia,
untuk wujudnya dapat terus berubah mengikuti jaman yang ada. Seperti saat ini
sesuatu yang benar-benar menujukkan diskriminasi buat Nancy adalah kalau
sudah mulai menyangkut permasalahan tentang hak seseorang yang seharusnya
dimiliki, tetapi hanya karena mempunyai label dan latar belakang tertentu menjadi
korban dari tindakan diskriminasi . Berikut adalah kutipan dari Nancy :
“Sebenernya diskriminasi yang sekarang itu sudah berubah bentuk
sih, jadi kalo misalnya dulu ilok-ilok’an kata Cina Jawa itu sudah
dibilang diskriminasi tapi sekarang itu justru kayak biasa aja malah
yang lebih keliatan banget diskriminasinya itu di pemerintahan,
terutama ke orang Tionghoa selalu dipersulit” (Wawancara, Nancy,
2016).
4.4 Analisis Data dan Interpretasi Data
4.4.1 Pemaknaan Diskriminasi di Mata Generasi Berbeda
Setiap individu pasti mempunyai pandangan yang berbeda tentunya
mengenai pemahaman diskriminasi etnis Tionghoa yang ada pada film Ngenest,
tetapi menurut gambaran dari para informan yang telah peneliti temukan mereka
memiliki pemahaman yang kurang lebih hampir sama pada dasarnya. Secara
keseluruhan mereka mengatakan bahwa diskriminasi merupakan cara yang
Universitas Kristen Petra
92
dilakukan seseorang dengan memperlakukan orang lain secara berbeda hanya
karena merasa dirinya atau kelompoknya yang paling baik. Di sisi yang lain, salah
satu informan menambahkan bahwa tindakan itu diskriminasi berarti
menunjukkan merendahkan dan akhirnya berujung memunculkan yang namanya
skala mayoritas dan minoritas. Namun berbeda halnya dengan tanggapan yang
diberikan Nancy bahwa diskriminasi sesungguhnya itu ketika sudah sampai
merebut atau merampas hak dari seseorang karena punya label tertentu jadi tidak
diperbolehkan.
Berdasarkan pemahaman yang sudah diuraikan di atas tersebut, semua
informan dapat menangkap dan memakani teks tentang diskriminasi dalam film
Ngenest yang ada bahkan mereka juga bisa memberikan detail yang jelas
berdasarkan cultural setting masing-masing. Apabila dilihat secara pengalaman
pribadinya, Olivia pernah menjadi salah satu korban perkosaan Mei 1998 yang
menyebabkan dirinya mengalami trauma berat dan membenci orang yang berkulit
lebih gelap dari dirinya. Selain itu, karena hubungan kedekatan dengan ibunya
akhirnya secara pola pikir menjadi ikut berpengaruh seperti ajaran dari orang
tuanya yang melarang untuk berteman dengan orang diluar keturunannya, dan
penglaman orang tuanya yang dahulu pernah mengalami bully juga ikut
mempengaruhi dirinya dalam memaknai konteks diskriminasi menyangkut
persoalan suku/etnis yang ada di dalam film ini. Berikut merupakan penuturan
Olivia terhadap diskriminasi dalam film Ngenest :
“Ya soale mama pernah kepaitan dibilang mayat hidup sama orang
Jawa atau orang yang kulit’e lebih gelap waktu di sekolah negeri
jadi pemikirane wes buruk sama orang pribumi yang akhire ngimbas
ke aku apalagi aku pribadi juga ngerasain gimana serem’e keadaan
di jaman banyak pribumi yang anti Cina padahal aku gak ngerti
apapun pas itu dan malah ikutan kena yaudah semakin gasuka sama
mereka” (Wawancara, Olivia, 2016).
Berbeda dengan pendapat Denny yang juga merasakan di masa
berakhirnya Orde Baru dalam memaknai film Ngenest ini, dia lebih dipengaruhi
oleh konteks keluarganya yang dididik secara demokratis, dan kepercayaan adat
dan budaya “kejawen” yang dianutnya sehingga cenderung taat dengan aturan
yang ada. Meskipun secara pengalaman, Denny pernah mengalami perang batin
dengan adanya perbedaan di antara orang Tionghoa dan Jawa karena direndahkan
Universitas Kristen Petra
93
dan dianggap tidak pantas oleh orang Tionghoa maka hal itu sempat membuatnya
untuk membenci keturunan Tionghoa yang bermata sipit. Tetapi karena
lingkungannya akhirnya mulai tereduksi dan mulai memahami bahwa tidak
semuanya orang yang berasal dari keturunan Tionghoa itu sama. Apalagi sampai
sat ini, ia sendiri juga berteman dengan mayoritas keturunan Tionghoa. Oleh
karena itu, secara lingkungan tersebut yang ikut mempengaruhinya dalam
memaknai konteks diskriminasi yang ada di dalam film ini untuk lebih bisa
menerima.
Sedangkan, untuk Vanessa dan Nancy juga lebih dilatarbelakangi oleh
faktor lingkungan yang ada di sekitarnya, dan keluarga. Mereka terbiasa lama
dibesarkan dan bersama dengan lingkungan temannya yang berasal dari etnis
Tionghoa juga sehingga mereka lebih berpikir secara terbuka dan ikut
berpengaruh dalam menerima dan memaknai konteks diskriminasi yang ada
dalam film “Ngenest”. Berikut salah satu pernyataan dari Nancy :
“Kalo aku pribadi ya biasa aja kalo gak bener-bener disenggol
banget karena aku dari kecil juga uda dibiasain buat gak beda-
bedain sekitar… dan aku juga bersyukur meskipun pribumi yang
minoritas di pergaulanku yang mayoritas Tionghoa gak ngebuat
aku dikucilkan sih” (Wawancara, Nancy, 2016).
Hal lain yang melatarbelakangi kedua informan yang ada di atas dalam
mempengaruhi memberikan pemaknaan konteks diskriminasi di film Ngenest
adalah karena mereka juga tidak lahir di masa Orde Baru sehingga merasakan
Pasca Orde Baru yang sudah tidak begitu kental diskriminasinya. Pernyataan dari
berbagai informan tersebut secara keseluruhan hampir menyerupai dengan
pengertian mengenai diskriminasi terkait masalah suku/etnis yang ternyata juga
sejalan dengan Theodorson & Theodorson (dalam Fulthoni, 2009, p.3) bahwa
diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau
kelompok yang biasanya didasari oleh suku/etnis. Biasanya selalu diidentikan
dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak mayoritas yang dominan ke minoritas
yang dianggap lemah sehingga muncul perilaku yang kurang baik.
Tidak hanya itu, perbedaan pemaknaan yang diberikan oleh setiap
informan juga karena dipengaruhi masa kelahiran yang berbeda yaitu Masa Orde
Baru berakhir (1998) dan Pasca Orde Baru. Hal tersebut juga membuat informan
Universitas Kristen Petra
94
jadi memiliki pengalaman dan pengetahuan yang berbeda tentang diskriminasi
etnis Tionghoa. Untuk orang-orang yang mengalami dan lahir pada Masa Orde
Baru (1966-1998) dulunya pernah merasakan diskriminasi dalam bidang
pemerintahan yang pada saat itu untuk perayaan Imlek saja tidak boleh diekspos,
barongsai pun juga tidak diperbolehkan untuk ada. Tidak hanya itu, tetapi kerap
kali juga banyak kebencian yang diluapkan melalui kerusuhan-kerusuhan karena
adanya kontroversi antara orang Tionghoa dan Pribumi.
Sementara itu untuk mereka yang lahir setelah Orde Baru (1998-Sekarang)
cenderung lebih terbuka dengan adanya perbedaan sehingga untuk masa sekarang
sudah jauh lebih baik dengan menetapkan Imlek sebagai tanggal merah, dan
barongsai juga sudah diperbolehkan. Bahkan, yang lebih menarik lagi adalah
salah satu kampus Negeri di Jakarta sudah ada jurusan Sastra Tionghoa.
Hal ini juga sejalan dengan Tan (2008, p.273-274) bahwa semenjak
pemerintahan Soekarno diskriminasi terhadap orang etnis Tionghoa sudah ada
dan kehadirannya dinamakan sebagai hubungan “cinta dan benci” (love and hate
relationhsip) antara minoritas etnis Tionghoa dan mayoritas etnis Indonesia.
Tetapi semenjak pasca tragedi Mei 1998, Indonesia telah mengalami reformasi
dan demokratisasi antara orang-orang Tionghoa-Indonesia jadi lebih tercairkan
dengan adanya asimilasi sehingga bukan lagi mencari cara untuk mengatasi atau
menyingkirkan perbedaan yang ada di Orde Baru tetapi lebih ke arah “hidup
dengan” perbedaan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa klasifikasi warga
Negara antara pribumi dan non pribumi selama rezim Orde Baru masih tetap
tertinggal sehingga orang Tionghoa tidak pernah mampu melepaskan identitas
mereka sebagai “orang asing” dan kelompok etnis itu akan tetap ada (Hoon, 2012,
p.4-5).
4.4.2 Pelecehan Verbal Melalui Film Sudah Bukan Hal Tabu
Setelah para informan menonton film “Ngenest”, mereka menyampaikan
bahwa secara konteks diskriminasi etnis yang diperlihatkan sebagian besar
didominasi oleh bentuk verbal. Secara verbal sendiri biasanya bisa melalui tulisan
dan lisan. Bagi semua informan, mereka lebih banyak menangkap bentuk
diskriminasi verbal secara lisan di dalam film Ngenest karena mereka juga tidak
Universitas Kristen Petra
95
menemukan secara jelas melalui verbal tulisan. Dalam pesan verbal sendiri ada
sifatnya yang konkrit dari Bahasa Indonesia seperti misalnya kata “Eh ada Cina”
yang bukan dimaksudkan untuk menyebut bangsa Tionghoa tetapi lebih ke sapaan
yang sengaja menyindir untuk mengejek. Tidak hanya itu saja, tetapi juga ada
maksud tersirat yang bukan berasal dari Bahasa Indonesia seperti misalnya kata
“Cipit” yang sebenarnya diambil dari “Sipit”.
Terkait dengan hal tersebut, ada informan yang menyampaikan bahwa
bentuk diskriminasi verbal lisan yang muncul di dalam film ini sebenarnya sudah
tidak bisa dianggap sebagai bagian dari diskriminasi lagi karena semakin lama
bentuknya sudah semakin memudar. Bahkan, untuk masa sekarang perbedaan
mengenai SARA juga sudah dijadikan sebagai bahan bercanda. Sedangkan
informan yang lain juga menambahkan bahwa di dalam sesama orang Tionghoa
sendiri juga sering mengolok secara verbal lisan apabila salah satu dari mereka
dianggap sebagai pelit karena merasa hal itu konteksnya hanya bercanda saja.
Namun, juga kembali lagi dari faktor lingkungan yang ada di sekitarnya seperti
misalnya hubungan relasi yang mereka jalin juga bisa mempengaruhi seseorang
dalam menerima perlakuan diskriminasi verbal lisan tersebut, itulah pernyataan
yang diungkapkan oleh informan yang lain menurut pemahamannya sendiri. Jadi,
untuk sekarang juga sudah bukan masanya lagi untuk merasa sakit hati karena
verbal lisan. Sama halnya dengan ungkapan yang disampaikan oleh Nancy bahwa
sudah tidak perlu dipermasalahkan karena itu sudah bukan diskriminasi kecuali
apabila sudah mulai membawa masalah hak orang lain itu baru namanya
diskriminasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan informan yang mengatakan
sebagai berikut :
“Apa ya…. kalo sekarang mungkin cuman nyebut kamu cina kamu
jawa itu menurutku biasa aja sih karena mungkin segumbulanku
juga gitu semua dan uda deket jadi ya menurutku itu bukan
diskriminasi lagi dan pikiran jaman sekarang lebih terbuka aja sih.
Tapi mungkin juga masih ada yang beranggepan itu diskriminasi
tapi itu kemungkinan besar karna didikan atau pernah ngalamin
orba dulunya gatau lagi tapi kan itu tergantung sama orangnya sih”
(Wawancara, Nancy, 2016)
Jika secara keseluruhan memang ketiga informan yang ada di atas
sebelumnya mengatakan bahwa verbal lisan yang sekarang memang ada
Universitas Kristen Petra
96
hanya untuk sekedar bercanda karena pandangan yang sudah lebih terbuka.
Berbeda dengan tanggapan yang Olivia sampaikan dalam memaknai verbal
secara lisan di dalam film Ngenest sebagai hal konkrit yang menganggap hal
itu sengaja dilakukan untuk menyindir orang lain, dan secara tidak langsung
itu adalah bagian dari diskriminasi.
Selain itu, para informan juga mengerti bahwa ketika mulai Ernest
kecil sampai dewasa diskriminasi secara verbal itu tetap ada di film ini
tetapi mereka merasa tidak ada perbedaan karena apa yang dikatakan
sewaktu kecil sampai besar sama. Hanya saja ketika sudah dewasa, secara
diskriminasi verbal lisan yang disampaikan menjadi lebih halus melalui
stereotipe-stereotipe yang dibentuk mengenai orang Tionghoa.
Dalam memaknai dan menerima teks dalam film ini di antara mereka
berbeda karena jika ketiga informan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang sudah lebih terbuka terhadap perbedaan, dan mereka juga
sudah terbiasa dengan teman-teman yang berasal dari keturunan yang lain
(diluar keturunan Tionghoa) yang juga sering membawa masalah etnis
menjadi bahan bercandaan, tetapi mereka tidak menanggapi hal tersebut
secara serius sebagai hinaan. Sedangkan untuk Olivia, lebih dilatarbelakangi
oleh faktor keluarganya yang secara pengalaman ibunya pernah mengalami
bully dulunya sehingga membiasakan anak-anaknya untuk berteman dengan
sesama Tionghoa saja yang akhirnya membuatnya menutup diri dari
keturunan lain. Selain itu juga karena pengaruh pengalaman traumatis Mei
1998 yang terus terbawa hingga dewasa membentuk dirinya menganggap
segala sesuatunya menjadi serius termasuk dalam memaknai film Ngenest
ini, Olivia menganggap pelecehan verbal sebagai hal konkrit yang sengaja
dilakukan untuk menghina atau menyudutkan seseorang.
Berdasarkan pernyataan informan di atas, ada beberapa adegan-
adegan yang mendukung sebagai berikut :
Universitas Kristen Petra
97
Gambar 4.8 Potongan adegan Ernest kecil ingin masuk ke dalam kelas
Cuplikan percakapan dalam film Ngenest :
Fariz dkk : “Weh diem tuh ada anak Cina… hahaha anak Cina”
Ernest kecil : “Saya Ernest… saya mau ke kelas 1B”
Fariz dkk : “Eh cung yakin lu kelas 1B bukannya lu kelas 1C Cina.. yah
(tertawa) atau ngak cipit”
Gambar 4.9 Potongan adegan ketika bekal makanan Ernest kecil diejek roti
“Cina” oleh temen-temen pribuminya
Gambar 4.10 Potongan adegan Ernest remaja ke konser punk bersama Fariz dkk
Universitas Kristen Petra
98
Cuplikan percakapan dalam film Ngenest :
Ernest remaja : “Woiii… sori sori gue terlambat, eh gue uda mirip kan sama Billy
Joe?”
Fariz dkk : “Lu mah lebih mirip kayak vampire kesetrum genset… (tertawa)”
4.11 Potongan adegan Ernest dewasa bertemu keluarga Meira
Cuplikan dari percakapan di atas:
Papa Meira : “Kamu Cina ya?”
Ernest : “Iya om. Saya memang keturunan Cina”
Papa Meira : “Tuh kan cuman mastiin aja… siapa tau dia orang Arab tapi
berwajah oriental”
Dari adegan-adegan yang ada di atas menjelaskan bahwa di dalam film ini
memperlihatkan mengenai diskriminasi verbal lisan secara frontal yaitu dengan
berbicara ekstrim mengenai fisik seseorang. Pernyataan yang diungkapkan oleh
berbagai informan juga menyimpulkan bahwa bentuk diskriminasi secara verbal
lisan yang ditunjukkan dalam film Ngenest sebagian besar terjadi di lingkungan
sekolah dan keluarga. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikatakan oleh
Liliweri (2005, p.223) bahwa institusi perkawinan dan keluarga seperti melarang
menikah antaretknik/antarras, serta institusi pendidikan juga termasuk dalam
contoh tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok etnik/ras tertentu.
Hal ini juga ditambahkan oleh Dabady dan Blank (2004, p.56) adanya pelecehan
Universitas Kristen Petra
99
verbal dan non verbal merupakan langkah awal yang bisa menghubungkan bahaya
dan perbuatan antarras.
4.4.3 Trauma Masa Lalu Membentuk Pribadi Seseorang
Menurut gambaran para informan akan ada banyak dampak yang terjadi
dalam perlakuan diskriminasi. Setelah menonton film “Ngenest”, pemahaman
yang dimiliki oleh setiap informan mayoritas sama bahwa pengalaman mampu
membentuk pola pemikiran seseorang dalam mempengaruhi menilai orang lain.
Pemaknaan yang diberikan dalam teks film ini juga dipengaruhi oleh cultural
setting yang berbeda masing-masing informan. Bagi salah satu informan,
pengalaman dari seseorang biasanya terlebih dahulu ditentukan oleh lingkungan
yang ada di sekitarnya karena diskriminasi bisa saja tidak terjadi apabila
lingkungannya tidak mendukung. Berbeda halnya, apabila lingkungan yang ada
mendukung maka secara sadar atau tidak sadar yang namanya diskriminasi akan
terus terpelihara dan semakin kuat.
Hal ini karena dipengaruhi oleh faktor pengalaman yang dulunya pernah
merasa direndahkan bahwa orang Jawa dianggap hanya ingin memanfaatkan
posisi dan uang yang dimiliki oleh pihak orang tua mantannya yang berasal dari
Tionghoa. Berikut merupakan ungkapan yang dinyatakan oleh Denny untuk
memperkuat :
“Kalopun aku tidak mendapat perlakuan yang sama persis seperti
Ernest, tapi aku tetap pernah mengalami rasanya diskriminasi itu
gimana jadi ya aku marah, jengkel tapi untungnya sih aku tidak
merasa di titik oh Tuhan itu tidak adil… Sampai saat ini aku juga
masih memegang teguh ajaran agamaku dan lebih memilih untuk
tersenyum dan pergi aja karena kalo makin tak ladenin yang ada
malah mereka yang puas berhasil kayak yes korbanku kena”
(Wawancara, Denny, 2016)
Sedangkan, untuk informan yang lain menyampaikan bahwa diskriminasi
ada karena diawali dengan pemikiran yang muncul dari latar belakang seseorang
yang pernah mempunyai pengalaman buruk, atau juga bisa dari hasil cuci otak
yang diperoleh dari asumsi-asumsi yang terus diperlihatkan ke masyarakat sekitar
sehingga akhirnya terus menempel di pemikiran setiap masing-masing individu
untuk menilai orang lain. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya latar belakang
Universitas Kristen Petra
100
pengalaman pribadinya. Berikut merupakan pernyataan salah satu informan lain
yang memperkuat :
“Sebenere sebelum nonton aku sudah punya trauma sendiri seng
bikin jadi ngerasa takut apalagi untuk ngobrol sama orang pribumi
atau orang yang kulit’e lebih gelap dari aku, apalagi setelah aku
tau ternyata film ini bahas masalah serius tapi malah dibuat bahan
ketawane orang-orang ya malah bikin aku makin sakit hati lah. Aku
juga sekarang lebih menutup diri karna aku merasa kayak dihantui
sendiri dan aku juga gak berpikiran untuk pengen menikah sih”
(Wawancara, Olivia, 2016).
Pernyataan yang diungkapan oleh informan yang ada di atas tersebut
sejalan dengan Bachrun dan Hartono (dalam Hoon, 2012,p.2) yang mengatakan
bahwa pengalaman pascatrauma orang-orang Tionghoa mampu membuat mereka
mengalami krisis identitas sesudah kerusuhan terjadi. Sama halnya yang telah
diungkapkan oleh Zho Fuyuan bahwa peristiwa traumatis bulan Mei mampu
menyebabkan “pukulan psikologis” yang menyedihkan bagi etnis Tionghoa.
Berbagai informan diatas juga mengungkapkan bahwa diskriminasi ada
bukan karena terjadi begitu saja tetapi karena disebabkan oleh pengalaman yang
berasal dari pemikiran seseorang. Hal ini sejalan dengan Abu Ahmadi yang
mengatakan bahwa diskriminasi terjadi disebabkan oleh faktor pribadi, latar
belakang sosio-kultural dan situasional. Selain itu, informan yang ada diatas juga
memberikan penjelasan bahwa tindakan diskriminasi juga mampu memberikan
dampak secara psikologis terganggu dan membawa trauma yang akhirnya lebih
memilih untuk mengabaikan, serta menjadi dendam. Pernyataan ini sejalan
dengan Quiquero (2013, p.8) yang menjelaskan bahwa intimidasi yang dirasakan
seseorang mampu menyebabkan dampak secara fisik dan emosional seperti
perasaan sedih, cemas, depresi, khawatir. Terutama dalam mempengaruhi
lingkungan sosialnya seperti muncul prasangka pribadi mengenai orang lain, rasa
benci dan dendam, dan berusaha untuk menarik diri.
4.4.4 Terdapat Pro dan Kontra Dalam Memaknai Film “Ngenest”
Dalam penelitian ini, sebuah teks film Ngenest menjadi salah satu media
perantara untuk menyampaikan pesan yang ingin diberikan kepada penonton.
Setiap penonton pasti mempunyai perbedaan pendapat dalam memaknai dan
Universitas Kristen Petra
101
menerima pesan yang ada. Apalagi melihat tema yang diangkat ke dalam layar
lebar cukup berat yaitu permasalahan fenomena sosial menyangkut SARA yang
kerap kali masih sering memancing adanya kontroversi di Indonesia. Salah satu
informan menanggapi bahwa sejak awal menyaksikan tayangan ini sudah merasa
tidak suka karena konteks diskriminasi yang dibawa dibuat dalam komedi padahal
ceritanya mengenai nasib seseorang minoritas yang mengalami kejadian ditindas.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu informan yang mengatakan
sebagai berikut:
“Ya karena gak semestine kejadian pahit kayak gitu malah dijadiin
film cuman buat ketawaan’e orang-orang seng nonton kan gak lucu
sama sekali… dari awal dimulai aja aku uda gak suka bikin gak
nyaman dan sampe pertengahan akhire tak tinggal pulang duluan ae
soale wes males aku daripada makin bikin sakit hati nginget
pengalamanku dulu seng gak enak” (Wawancara, Olivia, 2016).
Berbeda pendapatnya dengan informan lain yang mengatakan bahwa film
Ngenest ini adalah good movie. Hal ini dikarenakan secara konteks diskriminasi
memang menunjukkan adanya pertentangan mengenai nilai moral masyarakat
yang sebenarnya adalah masalah serius tetapi berhasil diselingi dengan bercanda.
Berikut merupakan salah satu pernyataan dari Denny yang memperkuat :
“Meskipun pake bercanda tapi di beberapa scene juga dimunculin
beeberapa kalimat-kalimat yang sebetulnya mewakili masyarakat
banget dalam arti keresahan di era itu yang memang kerap terjadi
di masyrakat. Jadi ya waktu nonton itu memang gak yang wahhh
gimana gitu sih tapi lebih ketawa aja kayak iya ya sama kayak gitu
yang terjadi di masyarakat…. trus diimplementasikan di film jadinya
lucu juga dengan parodi-parodi” (Wawancara, Denny, 2016).
Pernyataan yang di atas juga ditambahkan oleh tanggapan dari informan
yang lainnya bahwa melalui teks film Ngenest juga bisa membuka mata setiap
orang secara perlahan-lahan. Selain itu, pesan yang disampaikan juga bagus
karena meskipun masih banyak terjadi berbagai bentuk dari stereotipe-stereotipe
atau prasangka mengenai suku/etnis tetapi apabila dibawa dengan tertawa sudah
bukan jadi hal yang tidak enak lagi.
Namun di sisi lain, ada juga informan yang menyampaikan bahwa
melalui teks film ini bisa memberikan pelajaran yang baik dan positif seperti
misalnya bukan karena perbedaan yang membuat jadi terpisah dan terpecah tetapi
Universitas Kristen Petra
102
lebih bergantung pada bagaimana orang itu memandang dan menyikapi perbedaan
tersebut. Tetapi sebenarnya di dalam teks film ini juga ada banyak adegan yang
menunjukkan bully atau ejek-ejekan yang terlalu kasar sehingga kelihatan frontal
sekali padahal juga ada anak-anak yang menonton waktu itu dan takutnya juga
bukannya belajar malahan justru bisa semakin memperburuk dengan mencontoh
tindakan tersebut untuk digunakan membully orang lain.
Pernyataan dari seluruh informan menyimpulkan bahwa mereka semua
bisa memberikan pendapat yang beragam mengenai isi pesan yang disampaikan
dalam teks film ini. Hal ini dikarenakan setiap dari mereka merupakan audiens
yang aktif yang tidak hanya menerima teks begitu saja dari media, tetapi juga ikut
memaknai teks yang mereka terima sesuai dengan konteks budaya yang ada
(Hadi, 2009, p.3). Selain itu, pernyataan dari mereka juga sejalan dengan teori
yang diungkapkan oleh (Sobur, 2004, p.127) bahwa tanpa disadari, apa yang telah
disaksikan dapat mempengaruhi cara berpandang kita dan di balik sebuah pesan
yang akan disampaikan dalam film untuk khalayak juga sangat mempengaruhi
dan membentuk masyarakat.
4.5 Triangulasi Data
4.5.1 Triangulasi Data Informan 1
Peneliti mewawancarai Olivia, yang merupakan anak kelima dari lima
bersaudara. Sebagai anak yang dididik dalam keluarga yang sangat taat dengan
kepercayaan adatnya sebagai keturunan Tionghoa suku “Khek”. Selama in depth
interview, Olivia mengatakan bahwa dia pernah mengalami kejadian yang
melukai hatinya yaitu menjadi salah satu korban perkosaan yang terjadi pada
kerusuhan Mei 1998 di Jakarta ketika masih berusia 13 tahun yang sampai
sekarang membuatnya begitu trauma berat dan tidak bisa percaya dengan semua
orang, terutama ke orang pribumi. Bukan hanya itu saja, karena hubungan
kedekatannya dengan ibunya akhirnya membuat Olivia secara pola pikir ikut
terpengaruh seperti misalnya ketika ibunya masuk ke sekolah negeri pernah
mendapat perlakuan diskriminasi dari teman-temannya hanya karena berkulit
putih sehingga membuat Olivia semakin benci dengan orang diluar keturunannya.
Universitas Kristen Petra
103
Olivia mengartikan diskriminasi sebagai cara yang dilakukan oleh
seseorang untuk memperlakukan orang lain dengan berbeda sehingga menujukkan
bagaimana adanya rasa tidak suka atau bahkan tidak menganggap mereka (orang
lain) karena merasa tidak sama seperti dirinya jadi lebih memilih untuk menjauhi
saja. Dia mengatakan bahwa dia tidak setuju dengan adanya diskriminasi dalam
film Ngenest karena hal tersebut adalah masalah serius yang tidak pantas dan
tidak seharusnya dijadikan bahan lelucon yang menonton.
Dalam pernyataan ini, penerimaan yang dihasilkan oleh Olivia di dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori oppositional decodings yang menurut
Baran menyatakan bahwa khalayak menolak pesan yang dibuat dan disampaikan
oleh media. Alasan mengapa informan ini masuk dalam kategori oppositional
adalah karena Olivia banyak memberikan pengakuan yang menyatakan bahwa
film ini membahas masalah yang serius jadi tidak pantas dan tidak seharusnya
dijadikan bahan lelucon untuk penonton.
4.5.2 Triangulasi Data Informan 2
Peneliti mewawancarai Denny, yang merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Denny merupakan anak yang berkepribadian tegas, santai tetapi tetap
mementingkan komunikasi dengan siapapun. Denny dibesarkan di dalam keluarga
yang masih kental dengan kepercayaan adat dan budaya kejawen. Ia juga dididik
secara demokratis oleh kedua orang tuanya sehingga nasihat yang diberikan akan
diterima dan dipatuhi dengan baik. Hal ini karena dipengaruhi oleh latar belakang
profesi kedua orang tuanya yang dulunya berasal dari dunia media maka lebih
cenderung memberikan kebebasan untuk anak-anaknya tetapi juga tetap harus
dalam batas aturan yang ada.
Dalam in depth interview, Denny mengatakan bahwa dirinya pernah
mengalami perang batin mengapa harus ada yang namanya perbedaan mendasar.
Baginya, orang Tionghoa dan Jawa itu seperti ibarat bumi dan langit karena sudah
membicarakan masalah pantas dan tidak pantas. Dia mengatakan seperti itu
karena dulunya Denny merasa direndahkan oleh perkataan orang tua mantan
pacarnya yang berasal dari keturunan Tionghoa bahwa dirinya seorang Jawa jadi
hanya ingin memanfaatkan posisi dan uang yang mereka miliki. Pada saat itu
Universitas Kristen Petra
104
Denny sempat merasa benci melihat orang yang bermata sipit tetapi karena
lingkungan yang ada akhirnya mulai tereduksi dan tidak semuanya sama.
Denny mengartikan diskriminasi adalah suatu tindakan yang merendahkan
atau lebih mengarah pada pembedaan untuk membagi seseorang ke dalam
kelompok-kelompok tertentu dan berujung memunculkan yang namanya skala
mayoritas dan minoritas. Denny mengatakan bahwa setuju dengan adanya film
Ngenest" karena menunjukkan pertentangan nilai moral masyarakat yang
sebenarnya serius tapi ini dengan diselingi bercanda, dan ada beberapa kalimat-
kalimat yang memang sebetulnya mewakili masyarakat banget yang kerap terjadi
di masa era itu sehingga waktu menonton jadi lucu aja.
Dalam pernyataan ini, penerimaan yang dihasilkan oleh Denny di dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori dominant decodings yang menurut Baran
menyatakan bahwa khalayak menerima pesan yang dibuat dan disampaikan oleh
media. Alasan mengapa informan ini masuk dalam kategori dominant adalah
karena Denny banyak memberikan pengakuan yang menyatakan bahwa film ini
dapat memberikan pesan moral yang bagus bahwa bullying dan pembedaan yang
dilakukan oleh manusia itu sudah tidak perlu ada lagi di Indonesia.
4.5.3 Triangulasi Data Informan 3
Peneliti mewawancarai Vanessa, yang merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Vanessa merupakan anak yang pendiam, dan serba tertata tetapi
dirinya juga mudah sekali tertekan saat mengalami masalah. Vanessa dibesarkan
di dalam keluarga yang masih menganut adatnya sebagai keturunan Tionghoa
suku “Hokkian”. Bahkan dalam kesehariannya, dia masih menggunakan Bahasa
Mandarin bersama orang tua dan saudara laki-lakinya untuk berkomunikasi. Ia
juga didik oleh kedua orang tuanya untuk terus menjalankan ajaran yang sudah
diterapkan dengan giat dalam bekerja dan bijak dalam menggunakan uang.
Vanessa mengartikan diskriminasi sebagai tindakan yang menganggap
bahwa dirinya atau kelompoknya sendiri itu yang paling baik, ekslusif, dan
menganggap kelompok yang lain itu tidak sebaik mereka sehingga tidak ingin
bersatu. Rupanya Vanessa kurang menyukai adegan kasar pada saat bully atau
ejek-ejekan yang ada di dalam film Ngenest karena menurutnya itu hal negatif
Universitas Kristen Petra
105
yang tidak baik untuk ditertawakan, dan dalam kehidupan nyata pun dia juga agak
kurang suka dengan yang namanya bully. Baginya, orang yang menonton belum
tentu akan bepikir panjang atau secara dua kali untuk memikirkan pesan implisit
yang ada di balik film, tetapi lebih menangkap secara eksplisitnya saja seperti
orang Tionghoa itu pelit dan pribumi itu pemeras.
Meskipun Vanessa terlihat kurang menyukai adegan bully yang
diperlihatkan, ia berpendapat bahwa ada hal menarik yang menjadi kelebihan dari
film ini yaitu seperti banyak hal yang menjadi sensitif dulunya tapi sekarang
ketika di blow up kembali ke dalam film layar lebar tetapi bisa menjadi pelajaran
untuk kita semua atau terutama orang Indonesia atau pribumi itu sendiri yang
mayoritas adalah penontonnya bahwa ada juga hal-hal jelek yang dilakukan oleh
pribumi dan mungkin itu supaya mereka mengerti orang Tionghoa tidak seburuk
dan seekslusif yang dipikirkan mereka.
Dalam pernyataan ini, penerimaan yang dihasilkan oleh Vanessa di dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori negotiated decodings yang menurut Baran
menyatakan bahwa khalayak menerima beberapa pesan, tetapi ia juga
memberikan sebuah penolakan terhadap pesan lain dalam media yang sama
tersebut. Alasan mengapa informan ini masuk dalam kategori negotiated adalah
karena peneliti menemukan bahwa informan ini menerima sebuah pesan-pesan
dalam film ini tetapi ia juga mempunyai catatan yang mengatakan bahwa kurang
menyukai adegan-adegan yang kasar, dan kemasan komedinya.
4.5.4 Triangulasi Data Informan 4
Peneliti mewawancarai Nancy, yang merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Nancy mempunyai kepribadian yang terbuka, ramah, dan mudah
untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Nancy dibesarkan oleh ayahnya,
karena sudah lama berpisah dengan ibunya sejak ia duduk di bangku SMP. Secara
garis keturunan orang tuanya, ia berasal dari suku Jawa yang masih termasuk
dalam silsilah keturunan Raja Hamengkubuwono VI sehingga masih ada darah
keraton asli Yogyakarta. Meskipun berasal dari keturunan Jawa yang masih
memegang erat adatnya, ia tidak dididik secara konservatif tetapi sudah lebih
open minded. Hal ini karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan keluarga
Universitas Kristen Petra
106
besar orang tuanya yang berasal dari salah satu sekolah swasta Katolik yang ada
di Surabaya, mayoritas berisi keturunan Tionghoa semua.
Selain itu, latar belakang profesi nenek dan kakeknya dulu sebelum
meninggal juga pernah menjadi kepala sekolah salah satu sekolah swasta Katolik
dan Rektor salah satu Universitas swasta sehingga semenjak kecil Nancy dan
saudara perempuannya selalu dididik untuk membaur, dan tidak menjauhkan diri
dari orang yang berbeda suku atau misalnya sebagai Jawa tidak boleh berteman
dengan orang Tionghoa atau begitu juga sebaliknya.
Nancy mengartikan diskriminasi sebagai tindakan yang apabila hanya
sekedar menjelek-jelekan seseorang itu berarti masih termasuk dalam level ringan
dari tindakan diskriminasi saja, tetapi kalo yang sesungguhnya berarti sudah
merebut atau merampas hak dari seseorang yang semestinya diperbolehkan tetapi
karena mempunyai label tertentu jadi tidak boleh. Dia mengatakan bahwa setuju
dengan adanya film Ngenest ini bisa membuka mata semua orang secara perlahan
dan mulai berani menunjukkan bahwa di tahun 2016 ini eranya seperti itu sudah
bisa ditertawakan, jadi masalah-masalah yang dulunya masih sensitif sekarang
sudah bisa dikonsumsi untuk publik, dan orang-orang yang melihat menjadi
merasa adegan yang ada di film ini memang benar tapi terkesannya lucu dan
diterima. Tetapi, menurutnya lebih seru lagi apabila juga ditunjukkan stereotipe
dari segi pribuminya dan pesan yang pengen Ernest sampaikan bisa ngena karena
apabila semakin ditunjukkan mengenai stereotipe orang Tionghoa justru yang
melihat menganggap play victim atau beranggapan kenapa orang Tionghoa selalu
merasa jadi korban.
Dalam pernyataan ini, penerimaan yang dihasilkan oleh Nancy di dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori negotiated decodings yang menurut Baran
menyatakan bahwa khalayak menerima beberapa pesan yang dibuat, tetapi ia juga
masih memilih mana yang baik dan mana yang buruk atau bernegoisasi dengan
pesan yang disampaikan oleh media. Alasan mengapa informan ini masuk dalam
kategori negotiated adalah karena peneliti menemukan bahwa informan ini
menerima sebuah pesan yang disampaikan tetapi juga memberikan masukan yang
baik untuk film ini.