Post on 07-Jul-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun
sistemik ditandai dengan banyaknya auto-antibodi dan kompleks imun yang
beredar di seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan di berbagai organ1.
LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia rematologi. Insidensi LES
biasanya lebih sering terjadi pada wanita muda daripada laki-laki, dengan
perbandingan 6-10:12. Biasanya LES akan muncul di usia reproduksi yaitu 15-
40 tahun3. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 10 sampai 400 per
100.000 tergantung pada ras dan gender; Prevalensi tertinggi adalah pada
wanita kulit hitam dan terendah adalah pada orang kulit putih.
LES dapat mempengaruhi berbagai organ pada tubuh, termasuk sendi,
kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak. Beberapa gejala
yang paling umum terjadi adalah demam, malaise, arthralgia, mialgia, sakit
kepala, dan kehilangan nafsu makan dan berat badan4.
Karena penyakit ini bersifat multiorgan dan manifestasi klinik penyakit
ini sangat beragam dan biasanya muncul secara tidak bersamaan, LES jarang
terdiagnosa di awal perjalanan penyakit. Penanganan yang diberikan oleh
dokter pun akan berbeda-beda.
Pada tahun 1982, American College of Rheumatology (ACR/ARA)
telah menentukan kriteria untuk mendiagnosis penyakit LES. Kriteria ini
direvisi pada tahun 1997. Adapun kriterianya adalah : 1. Malar rash, 2.
Discoid rash, 3. Photsensitivity , 4. Oral ulcers, 5. Artritis, 6. Serositis, 7.
Kelainan ginjal, 8. Kelainan neurologik, 9. Kelainan hematologi, 10. Kelainan
immunologi, 11. Antibodi antinuklear (ANA tes)5. Seseorang dikatakan
menderita LES apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria.
Penyakit LES masih merupakan penyakit dengan angka kematian yang
signifikan. Studi yang diterbitkan sekitar tahun 1980 menemukan bahwa
sekitar 80% dari pasien dapat hidup selama 5 tahun dan sekitar 60% pasien
bertahan 10 tahun. Banyak menelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan
1
keterlibatan ginjal memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka
yang tanpa penyakit ginjal. Penyebab tersering yang menyebabkan kematian
pada LES adalah infeksi.
Prognosis LES tidak hanya mengenai kematian. Faktor morbiditas yang
timbul pada pasein LES cukup terkait dengan kelangsungan hidup setelah
diagnosis LES. Dokter akan banyak menemukan pasien yang penyakit
aktifnya telah disembuhkan tetapi menderita gejala yang berhubungan dengan
akumulasi kerusakan kronis. Baik penyakit aktif dan kerusakan dapat
menimbulkan gangguan kualitas hidup dan mengurangi kemampuan
fungsional, meskipun faktor-faktor lain seperti latar belakang psiko-sosial
pasien akan mempengaruhi persepsi pasien mengenai penyakit mereka.
Kemampuan terapi yang harus ditingkatkan untuk penyakit lupus
adalah memahami dan mencegah komplikasi jangka panjang dari penyakit ini,
apakah karena efek dari penyakit, terapi yang digunakan, atau penyakit co-
morbid (berdasarkan mekanisme penyakit atau kelainan genetik. Dengan
peningkatan pengetahuan, diharapkan penyakit lupus mampu ditangani
dengan baik serta tidak menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamesis pada 12 April 2016 pukul 14.30
WIB)
1. Identifikasi Pasien
Nama : Nn. PD
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 22 tahun
Pekerjaan : bekerja sebagai pegawai SPBU
Status : Belum Menikah
Alamat : Talang Kelapa, Alang-alang Lebar
Agama : Islam
No. RM : RI16010059
MRS tanggal : 11 April 2016
2. Keluhan Utama
Kejang dan hilang kesadaran ± 2 jam SMRS
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
± 1 bulan SMRS os mengeluh nyeri sendi pada lutut dan tangan.
Nyeri terasa jika os menggerakan kaki dan tangan, nyeri berkurang jika os
beristirahat. Demam (-) badan terasa lemas (+) os mengeluh rambut rontok
(+), badan kuning (-). Os mengeluh sering sariawan pada bibir. BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Nafsu makan seperti biasa. Sesak nafas (-), nyeri
dada (-), badan membengkak (-).
± 1 minggu SMRS, terdapat ruam kemerahan pada wajah (+) terasa
panas (-) terasa sakit (-), os juga mengeluh wajah semakin merah jika
terkena sinar matahari (+). Terdapat bercak di kulit (-). Lalu os berobat ke
bidan namun tidak ada perbaikan.
3
± 1 hari SMRS os mengaku badan semakin lemas, nyeri pada sendi
(+), os merasa pengelihatannya berkunang-kunang, rambut semakin rontok
(+), sariawan (+). os juga mengeluh mual (+) muntah (-).
±2 jam SMRS, pasien mengalami kejang, os hilang kesadaran dan
terjatuh ketika menaiki tangga, kepala os terbentur ke lantai. Os lalu
dibawa ke IGD RSMH ke bagian bedah karena trauma kapitis dan
konsulkan ke bagian penyakit dalam
4. Riwayat Penyakit Dahulu dan Kebiasaan
R/ Hipertensi (-)
R/ Kencing Manis (-)
R/ terkena penyakit tertentu (-)
R/ minum obat/jamu-jamuan (-)
R/ berobat dengan penyakit yang sama (lupus) tahun 2010. Dirawat 2
minggu dan pulang. Obat diminum 1 bulan tetapi setelah itu tidak
dilanjutkan.
5. Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Ibu penderita menderita penyakit yang sama (+) dan meninggal dengan
diagnosis SLE
PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan fisik pada 12 April 2016 pukul 15.00
WIB)
1. Status Generalis
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
Suhu Badan : 36º C
Pernapasan : 20kali/menit
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 156 cm
4
Status gizi : Underweight (IMT 16,52)
2. Status Lokalis
Kepala Normosefali, simetris, rambut hitam, rambut mudah
dicabut, alopesia (+)
Mata Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),
pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks
cahaya (+/+).
Hidung Deformitas (-), septum deviasi (-), sekret (-).
Telinga CAE lapang, sekret (-), serumen (-).
Mulut Bibir pucat (+), sianosis (-), stomatitis (+), thypoid
tongue (-), atrofi papil lidah (-), karies gigi (-),gusi
hipertrofi (-), arkus faring simetris, deviasi uvula (-),
tonsil T1-T1 tenang, dinding faring posterior tenang.
Leher JVP (5-2)cm H2O, tidak ada pembesaran KGB.
Thorax
Cor
- Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi Ictus cordis tidak teraba.
- Perkusi Batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea
sternalis dextra, batas kiri jantung ICS VI, 2 jari
lateral linea midclavicularis sinistra.
- Auskultasi HR 80 x/menit, reguler, murmur (-) gallop (-).
Pulmo
- Inspeksi Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
- Palpasi Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-), sela iga
tidak melebar.
- Perkusi Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar
ICS V, peranjakan 1 sela iga
- Auskultasi Vesikuler (+), ronki (-) wheezing (-).
5
Abdomen
- Inspeksi Datar , venektasi (-)
- Palpasi Nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
- Perkusi Timpani. Shifting dullness (-)
- Auskultasi Bising usus (+) normal.
Ekstremitas
- Superior Simetris, akral hangat, palmar pucat (+), ruam
discoid (-).
- Inferior Simetris, akral hangat, edema pretibia (-) ruam
discoid (-).
Genitalia Tidak diperiksa.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium (11 April 2016)
Hematologi
Hb : 7.4 g/dL
RBC : 2.77.106/mm3
WBC : 2,6. 103/mm3
Hematokrit : 24%
Trombosit : 125.10/nL
Diff count :
- Basofil : 0%
- Eusinofil : 0%
- Neutrofil : 59%
- Limfosit : 31%
- Monosit : 10%
Kimia Klinik
Hati
- SGOT : 50 U/L
6
- SGPT : 15 U/L
Ginjal
- Ureum :18 mg/dL
- Kreatinin : 0,48 mg/dL
Elektrolit
- Kalsium : 7,7 mg/dL
- Natrium : 138 mg/dL
- Kalium : 4,2 mg/dL
Pemeriksaan Urin
Warna kuning jernih
BJ : 1.005
pH : 7
Protein : negatif
Glukosa : negatif
Keton : negatif
Darah : negatif
Bilirubin : negatif
Urobilin : 1
Nitrit : negatif
Leukost Esterase: negatif
Sedimen urin :
- Epitel : posititf +
- Leukosit : 0-2
- Eritrosit : 0-1
- Silinder : negatif
- Kristal : negatif
- Bakteri : negatif
- Mucus : negatif
- Jamur : negatif
7
KRITERIA ARA
Kriteria
Ruam malar +
Ruam discoid
Fotosensivitas +
Ulkus oral +
Artritis +
Serositis
Gangguan ginjal
Gangguan neurologik +
Gangguan hematologik +
Gangguan imunologik
Antibodi Antinukleus
TOTAL 6 kriteria
MEX SLEDAI.
Bobot Deskripsi (+)/(-)
8 Gangguan neurologis +
6 Gangguan ginjal
4 Vaskulitis
3 Hemolisis, Trombositopeni +
3 Miositis
2 Arthritis +
2 Gangguan mukokutaneus +
2 Serositis
1 DemamFatigue
+
1 LeukopeniaLimfopenia
+
Total skor: 17 (lupus derajat berat)
8
FOLLOW UP
Follow Up 13 April 2016
S: Badan lemas (+), nyeri kepala dan sariawan
O: Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: compos mentis
TD: 90/60mmHg
N: 84x/menit
RR: 18x/menit
T: 36,2oC.
A: Systemic Lupus Eritematosus
P: Non farmakologis:
- Istirahat
- Edukasi
Farmakologis:
- IVFD normal saline 0,9% gtt xx/menit
- Metilprednisolon 2x4mg po
- Omeprazole 1x20mg po
- CaCo3 3x500 mg tab
- As. Folat 3x1mg
- MTX 1x7,5 mg/minggu
- Nystatin drip 3x uc
- Kloroquin 1x250 mg
9
Follow Up 14 April 2016
S: Badan lemas (+)
O: Keadaan umum:
Kesadaran: kompos mentis
TD: 120/70mmHg
N: 70x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,5oC.
A: Systemic Lupus Eritematosus
P: Non farmakologis:
- Istirahat
- Edukasi
Farmakologis:
- IVFD normal saline 0,9% gtt xx/menit
- Metilprednisolon 2x4mg po
- Omeprazole 1x20mg po
- CaCo3 3x500 mg tab
- As. Folat 3x1mg
- MTX 1x7,5 mg/minggu
- Nystatin drip 3x uc
- Kloroquin 1x250 mg
RESUME
Seorang wanita berusia 22 tahun mengalami kejang dan hilang
kesadaran 2 jam SMRS. Sekitar 1 bulan SMRS pasien mengeluh nyeri
sendi pada lutut dan tangan. Nyeri terasa jika pasien menggerakan kaki
dan tangan, nyeri berkurang jika pasien beristirahat. Tidak terdapat
demam, tetapi badan terasa lemas. Pasien mengeluh rambut rontok.
Terdapat ruam kemerahan pada wajah, tidak terasa panas, keluhan badan
kuning disangkal. Pasien juga mengeluh wajah semakin merah jika terkena
10
sinar matahari (+). Tidak terdapat bercak pada tubuh. Pasien mengeluh
sering sariawan pada bibir. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Nafsu
makan seperti biasa. Tidak ada sesak nafas, nyeri dada dan badan
membengkak. Lalu os berobat ke bidan namun tidak ada perbaikan.
Sekitar 1 hari SMRS os mengaku badan semakin lemas, nyeri pada
sendi. pasien merasa pengelihatannya berkunang-kunang, rambut semakin
rontok (+), sariawan (+). pasien juga mengeluh mual (+) muntah (-). ±2
jam SMRS, pasien mengalami kejang, pasien hilang kesadaran dan
terjatuh ketika menaiki tangga, kepala pasien terbentur ke lantai. Os lalu
dibawa ke IGD RSMH
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu. Riwayat hipertensi
dan diabetes disangkal. Namun, ibu pasien juga memiliki penyakityang
sama dan telah meninggal dunia.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kondisi pasien kompos mentis,
tekanan darah 120/80, nadi 80x/menit. Suhu 36 C, pernapasan 20x/menit.
Tinggi badan 156 cm dan berat badan 45 kg. pasien termasuk kategori
underweight dengan IMT 16,52. Pada kepala, rambut pasien mudah
dicabut, terdapat alopesia. Pada pemeriksaan mata, tidak terdapat pucat,
tidak ada sclera ikterik, pupil bulat, isokor. Reflex cahaya (+/+). Tidak ada
kelainan pada hidung dan telinga. Di mulut terdapat stomatitis. Pada
pemeriksaan leher didapatkan JVP (5-2)cmH20, tidak terdapat pembesaran
KGB. Pemeriksaan jantung, ictus cordis tidak terlihat dan teraba. Batas
atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea sternalis dextra, batas kiri
jantung ICS VI, 2 jari lateral linea midclavicularis sinistra. HR 80 x/menit,
reguler, murmur (-) gallop (-). Pemeriksaan paru, Statis dan dinamis
simetris kanan = kiri, retraksi (-).Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-),
sela iga tidak melebar. Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar
ICS V, peranjakan 1 sela iga. Vesikuler (+), ronki (-) wheezing (-). Pada
pemeriksaan abdomen ditemukan perut datar, tidak terdapat venektasi,
tidak ada nyeri tekan dan hepar lien tidak teraba. Shifting dullness (-),
bising usus normal. Pada ektremitas terlihat simetris, hangat, terdapat
11
palmar pucat, tidak terdapat edema pretibial. Tidak ditemukan ruam
discoid di ekstremitas superior dan inferior.
Pada pemeriksaan lab ditemukan hemoglobin, eritrositt, leukosit,
trombosit dan hematocrit mengalami penurunan. Terdapat peningkatan
SGOT hati, kreatinin dan kalsium. Tidak terdapat proteinuria.
DIAGNOSIS KERJA
- Lupus Cerebral
- Systemic Lupus Eritematosus tidak terkontrol
DIAGNOSIS BANDING
- Epilepsy
- Anemia aplastik
PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis:
• Istirahat
• Edukasi
• Memakai sunblock
• Hindari sinar matahari
• Kurangi stress
Farmakologis:
IVFD normal saline 0,9% gtt xx/menit
Metilprednisolon 3x4mg po
Omeprazole 1x20mg po
CaCo3 3x500 mg tab
As. Folat 3x1mg
MTX 1x7,5 mg/minggu
Nystatin drip 3x uc
Kloroquin 1x500 mg
12
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
RENCANA PEMERIKSAAN KHUSUS
- Pemeriksaan feses rutin
- ANA, dsDNA, C3, C4
- Ekhokardiografi
- Pemeriksaan koagulasi darah
- Rontgen thorax
- EEG
- Pemeriksaan retikulosit, comb test.
- Biopsi ginjal (bila dicurigai gromeluronefritis)
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lupus Eritematosus Sistemik
2.1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit multi sistem yang
disebabkan oleh pembentukan antibodi dan kompleks imun yang mengakibatkan
kerusakan jaringan. Setiap pasien LES berpotensi membentuk antibodi yang
berbeda, target organ yang berbeda, sehingga dapat menyebabkan munculnya
spektrum manifestasi yang luas5. Sedangkan menurut Isbagio (2009), Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini bisa mengakibatkan kerusakan jaringan karena
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun10.
2.1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia
rematologi. Prevalensi penyakit ini bervariasi di berbagai negara. Dalam populasi
yang berbeda-beda, prevalensinya beragam antara 2,9/100.000 sampai
400/100.000 penduduk. Insiden LES per tahun di Amerika Serikat tercatat sekitar
5, 1 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan prevalensinya mencapai 52 kasus per
100.000 penduduk1.
Penyakit ini dapat ditemukan di semua usia tetapi paling banyak di usia
15-40 tahun (masa reproduksi) dengan ratio wanita dan pria 9-14:1. LES sering
ditemukan pada ras tertentu seperti negro, china dan filipina tetapi letak geografis
dan faktor ekonomi tidak berpengaruh dalam angka kejadian LES10.
2.1.3 Etiopatogenesis
Etiologi dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun10.
14
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti
faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons
imun.Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons
imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.
Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga
membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit
gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit11. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko
tinggi terkena lupus. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada
penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis
keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus
15
dapat ditemukan pada penderita lupus. Retrovirus dapat mempengaruhi ekspresi
sel permukaan dan apoptosis12.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal
sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES13.
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA
dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti
eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan
kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi
respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal
2.1.4 Manifestasi
2.1.4.1 Manifestasi Konsitusional
Penyakit LES dapat menyerang berbagai organ penting di tubuh manusia.
Seperti yang sudah disebutkan, LES dapat memiliki manifestasi konstitusional
atau sistemik. Gejala pada LES dapat menyerupai penyakit autoimun lain,
penyakit infeksi, kelainan endokrin, kelelahan kronis dan fibromyalgia karena
gejala umumnya tidak spesifik, sangat penting untuk mengaitkannya dengan
gejala di organ yang spesifik untuk membedakan lupus dengan penyakit lain.
Gejala umum yang biasa terjadi adalah demam, kelelahan, penurunan berat badan,
nyeri otot dan nyeri sendi. Gejala tersebut dapat muncul dengaan atau tanpa rash
yang terjadi setelah paparan sinar matahari14.
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak
sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Jika kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
16
Kelelahan akibat penyakit LES memberikan respons terhadap pemberian steroid
atau latihan.
Demam merupakan salah satu gejala konstitusional LES. yang sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam yang diakibatkan oleh LES
biasanya tidak disertai menggigil. Penurunan berat badan dapat dijumpai pada
sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis
ditegakkan. Penurunan berat badan juga merupakan salah satu gejala
konstitusional LES. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya
nafsu makan atau akibat dari gejala gastrointestinal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, beberapa
rangkuman manifestasi klinis dari penyakit LES yakni sebagai berikut:10,15
2.1.4.2 Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan
poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50%
kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada lima sampai dengan sepuluh persen kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Selain itu, ditemukan juga mialgia
yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul pada penderita LES <5%
kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid
dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan penggunaan steroid.
2.1.4.3 Manifestasi Mukokutaneus/Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah sebagai berikut:
1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik
pada LES, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan
nasolabial dan ditandai dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung
dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk
morbili, ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik
17
epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat
fotosensitif.
2. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema,
psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut
lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibodi Ro lesi subakut umumnya
sembuh tanpa meninggalkan scar.
3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus diskoid yang berupa
bercak kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat
kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai dengan parut dan atropi
pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering
dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang
irreversibel. Daun telinga, leher, lengan dan wajah juga sering terkena
panikulitis lupus atau lupus profundus ditandai dengan inflamasi pada lapisan
bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul
yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di
temukan sekitar 2 % pada penderita LES.
4. Nonspesifik kutaneus lupus; vaskulitis kutaneus. Ditemukan hampir pada
70% pasien. Manifestasi kutaneus non spesifik lupus tergantung pada
pembuluh darah yang terkena. Bentuknya bermacam macam antara lain :
a. Urtikaria
b. Ulkus
c. Purpura
d. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
e. Splinter hemorrhage
f. Eritema periungual
g. Nailfold infark bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan
h. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai pada umumnya
biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik vaskulitis
i. Fenomena Raynaud, gambaran khas dari fenomena Raynaud ini adanya
vasospasme, yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk
18
kemerahan bila terkena panas. Kadang disertai dengan nyeri. Fenomena
Raynaud ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP
j. Alopesia, akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan
aktifitas penyakit biasanya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut.
Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut depan. Pada
keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang menetap disebabkan
oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut
k. Sklerodaktili, ditandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna
kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya
terjadi pada 7% pasien
l. Nodul rheumatoid, ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan
adanya reumatoid like arthritis
m. Perubahan pigmentasi, bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah
yang terpapar sinar matahari
n. Kuku, manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada
kutikula kuku
o. Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum molle
atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri.
2.1.4.4 Manifestasi Paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas
atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada
60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan
dan secara klinik tidak bermakna. Efusi pleura yang di jumpai biasanya jernih
dengan kadar protein <10.000, kadar glukosa normal. Fibrosis interstitial,
vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara
klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif.
Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid.
Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap
kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
19
2.1.4.5 Manifestasi Jantung
Kelainan jantung akibat penyakit LES dapat berupa penyakit perikardial,
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis
dapat ditemukan pada 15% kasus. Tandanya oleh takikardia, aritmia, interval PR
yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Endokarditis Libman-
Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan
50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang
disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita
dengan LES memiliki resiko penyakit jantung koroner lima sampai dengan enam
persen lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Dengan risiko yang meningkat
hingga 50% pada wanita yang berumur 35 sampai dengan 44 tahun.
2.1.4.6 Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.
2.1.4.7 Manifestasi Hematologi
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada
50%-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula
menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik, seringkali kemudian
berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
2.1.4.8 Manifestasi Susunan Saraf Pusat
Keterlibatan neuropsikiatri LES sangat bervariasi, yakni dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik
dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus. Ketelibatan saraf otak jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik
20
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan
psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal
seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan. Dengan demikian, untuk
memudahkan diagnosis maka American College Rheumatology mengelompokkan
menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus serebral di kelompokkan dalam 3
bagian yaitu fokla, difus, dan neuropsikiatrik.
2.1.4.9 Manifestasi Ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Lupus nefritis ini merupakan petanda
prognosis yang jelek pada penyakit LES. Gambaran klinis kerusakan glomerulus
berhubungan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Gejala klinis
yang sering muncul pada lupus nefritis adalah:
Tabel 1. Gambaran Klinis Lupus Nefritis24
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan
menilai ada tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif dan klirens kreatinin.
Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal.
21
Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi lupus nefritis menjadi 6 kelas.
Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya
imunofluoresen dan mikroskop elektron.16
Tabel 2. Klasifikasi Lupus Nefritis (WHO, 2003)
Angka kejadiannya mencapai hampir 50 dan melibatkan kelainan
glomerulus. Sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Pasien
LES dengan hematuria mikroskopik dan proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
2.1.5 Diagnosis
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) atau
American College of Rheumatology (ACR) menetapkan kriteria baru untuk
klasifikasi LES. Kriteria LES ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa LES
dapat dikenakan pada penderita jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4
atau lebih kriteria dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan atau tenggang
waktu tertentu. Kriteria klasifikasi LES tersebut adalah sebagai berikut17,18:
22
1. Artritis, artritis non-erosif yang mengenai dua atau lebih sendi perifer
disertai rasa nyeri, bengkak, dan terdapat efusi sinovial dimana tulang di
sekitar persendian tidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal. Jumlah ANA yang abnormal ditemukan
dengan immunofluorosensi atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada
pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya, yang dilakukan pada
waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat.
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash). Adanya eritema berbatas tegas,
datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar),
biasanya tidak mengenai plika nasolabialis
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari. Peka terhadap sinar Ultraviolet /
matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam
kulit, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik
5. Lupus diskoid, ruam berbentuk bulatan menimbul diatas pemukaan kulit
dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama
mungkin berbentuk jaringan parut
6. Salah satu kelainan darah/ hematologik :
a. anemia hemolitik dengan retikulositosis,
b. Leukopenia < 4000/mm³ pada 2/ lebih pengukuran,
c. Limfopenia <1500/mm³ pada 2/ lebih pengukuran,
d. Trombositopenia <100.000/mm³ tanpa obat-obatan yang dapat
menimbulkan trombositopenia
7. Salah satu kelainan ginjal:
a. Proteinuria menetap > 0,5 g / 24 jam atau pemeriksaan proteinuria urin
sewaktu > 3+ , atau
b. Sedimen seluler. Adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal
dari sel darah merah/ putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
a. Pleuritis, adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan
pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura
23
b. Perikarditis dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium
atau ada efusi perikardium
9. Salah satu kelainan Neurologis :
a. Konvulsi / kejang spontan bukan karena obat-obatan atau gangguan
metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit
b. Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan
metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit
10. Ulser Mulut, termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi
a. Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA, atau
b. Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos, atau
c. Antifosfolipid antibodi positif berdasarkan pada :
a) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin, atau
b) Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode standar, atau
c) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi
oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi
antibodi treponema.
Tabel 3. Kritera LES American College of Rheumatology Revisi 1982
24
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring:
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
25
No Kriteria
1 Ruam malar Eritema menetap, datar atau meninggi pada
tonjolan pipi
2 Ruam discoid Bercak eritematosa yang meninggi dengan
skuama keratotik lekat dan sumbatan folikel
dapat terjadi jaringan parut atrofik
3 Fotosensivitas -
4 Ulkus oral termasuk oral dan nasofaring : terlihat oleh
dokter
5 Artritis Artritis nonerosif yang mengenai dua atau
lebih sendi perifer. Ditandai oleh nyeri,
pembengkakan, atau efusi
6 Serositis Pleuritis atau perikarditis yang tercatat
dengan EKG atau terdengar sebagai rub atau
bukti perfusi pericardial
7 Gangguan ginjal Proteinuria > 0,5 gr/dl atau > 3+, atau
silinder sel
8 Gangguan neurologik Kejang atau psikosis tanpa sebab lain
9 Gangguan hematologik Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000)
atau limfopenia (<1500) atau tombositopenia
(<100.000) tanpa ada obat penyebab
10 Gangguan imunologik Preparat sel LE atau anti-dsDNA atau anti-
Sm positif atau VDRL positif palsu
11 Antibodi
Antinukleus
Titer ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imuno fluresensi atau pemeriksaan yang
ekivalen pada setiap saat tanpa adanya obat
yang diketahui dapat menginduksi ANA
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA (untuk diagnosis awal), anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
6. Foto polos thorax
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien19.
2.1.7 Penatalaksanaan
Berdasarkan National Institute of Arthritis and Musuloskletal and Skin
Disease (2012), obat yang digunakan dalam pengobatan lupus meliputi20:
1. NSAID: NSAID (obat anti-inflamasi non steroid) merupakan obat yang
sering digunakan untuk pasien dengan nyeri sendi atau dada atau demam,
serta obat-obatan yang digubakan untuk mengurangi peradangan. NSAID
dapat digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan jenis lain dari obat
untuk mengontrol rasa sakit, bengkak, dan demam.
Namun, NSAID dapat menyebabkan iritasi lambung atau, dalam kasus kecil,
dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Semakin lama seseorang menggunakan
NSAID, semakin besar kemungkinan memiliki efek samping, mulai dari yang
ringan sampai yang serius. Banyak obat tidak dapat dikonsumsi bersamaan
dengan NSAID karena NSAID mengubah farmakodinamik dan
farmakokinetik obat-obatan lainnya. NSAID berhubungan dengan masalah
pencernaan serius, termasuk bisul, perdarahan, dan perforasi lambung atau
usus. Para manula dengan usia 65 atau lebih, serta orang-orang dengan
riwayat ulkus atau perdarahan gastrointestinal, harus menggunakan NSAID
dengan hati-hati.
2. Antimalaria: Antimalaria adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk
mengobati lupus. Antimalaria yang umum digunakan untuk mengobati lupus
adalah hydroxychloroquine. Obat ini dapat digunakan tunggal atau dalam
kombinasi dengan obat lain dan umumnya digunakan untuk mengobati
26
kelelahan, nyeri sendi, ruam kulit, dan radang paru-paru. Pengobatan terus
menerus dengan antimalaria dapat mencegah flare berulang pada lupus.
3. Kortikosteroid: Kortikosteroid, seperti prednison, hidrokortison,
deksametason, dan methylprednisolone, terkait dengan kortisol, merupakan
hormon anti-inflamasi alami. Obat ini bekerja dengan cepat untuk menekan
peradangan. Kortikosteroid dapat diberikan oral, dalam krim diaplikasikan
pada kulit, dengan suntikan, atau intravena (IV).
4. Imunosupresif: obat imunosupresif dapat digunakan untuk pasien lupus yang
penyakitnya telah menyerang ginjal atau sistem saraf pusat. Imunosupresif,
seperti siklofosfamid dan mycophenolate mofetil, bekerja menahan sistem
kekebalan tubuh yang terlalu aktif dengan menghalangi produksi sel-sel
kekebalan. Obat ini dapat diberikan melalui mulut atau melalui infus
IV. Risiko efek samping meningkat dengan lamanya pengobatan.
5. Inhibitor BLyS-spesifik: belimumab, jenis zat disebut sebagai stimulator B-
limfosit (BLyS) inhibitor protein, telah disetujui oleh US Food and Drug
Administration (FDA) pada Maret 2011 untuk pasien dengan lupus yang
menerima terapi standar lainny. Belimumab bekerja dengan mengurangi
jumlah sel B yang abnormal dalam lupus dan diberikan dalam IV infus.
6. Terapi lain: Beberapa pasien menggunakan methotrexate yaitu obat rematik
untuk membantu mengendalikan penyakit lupus. Pengobatan lain termasuk
terapi hormonal seperti dehydroepiandrosterone (DHEA) dan imunoglobulin
intravena (protein yang berasal dari darah manusia), sering digunakan untuk
mengendalikan lupus ketika pengobatan lain tidak bekerja.
Karena beberapa perawatan dapat menyebabkan efek samping yang
berbahaya, setiap gejala baru pada pasien harus segera dilaporkan pada dokter.
Selain itu, disamping obat lupus itu sendiri, dalam beberapa kasus mungkin
diperlukan obat tambahan untuk mengobati masalah yang berkaitan dengan lupus
seperti kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, atau infeksi.
2.1.9 Prognosis
27
Penyakit LES masih merupakan penyakit dengan angka kematian yang
signifikan. Studi yang diterbitkan sekitar tahun 1980 menemukan bahwa sekitar
80% dari pasien dapat hidup selama 5 tahun dan sekitar 60% pasien bertahan 10
tahun. Banyak menelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan keterlibatan
ginjal memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tanpa
penyakit ginjal. Penyebab tersering yang menyebabkan kematian pada LES
adalah infeksi.
Prognosis LES tidak hanya mengenai kematian. Faktor morbiditas yang
timbul pada pasein LES cukup terkait dengan kelangsungan hidup setelah
diagnosis LES. Dokter akan banyak menemukan pasien yang penyakit aktifnya
telah disembuhkan tetapi menderita gejala yang berhubungan dengan akumulasi
kerusakan kronis. Baik penyakit aktif dan kerusakan dapat menimbulkan
gangguan kualitas hidup dan mengurangi kemampuan fungsional, meskipun
faktor-faktor lain seperti latar belakang psiko-sosial pasien akan mempengaruhi
persepsi pasien mengenai penyakit mereka.
Kemampuan terapi yang harus ditingkatkan untuk penyakit lupus adalah
memahami dan mencegah komplikasi jangka panjang dari penyakit ini, apakah
karena efek dari penyakit, terapi yang digunakan, atau penyakit co-morbid
(berdasarkan mekanisme penyakit atau kelainan genetik)21.
28
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita berusia 22 tahun.
Berdasarkan epidemiologi, SLE banyak diderita oleh wanita usia reproduksi (15-
40 tahun). Faktor yang menyebabkan terjadinya SLE adalah factor genetic,
hormonal dan lingkungan. Pada pasien ini, factor prodisposisinya adalah factor
genetic karena terdapat riwayat ibu memiliki penyakit yang sama dan factor
hormonal karena pasien ini seorang wanita. Selain itu, menurut pengakuan pasien,
salah satu manifestasi yaitu malar rash muncul setelah pasien bekerja sebagai
pegawai SPBU. Pekerjaan ini mengharuskan pasien berkontak dengan matahri
dan bahan kimia.
Pada pasien ini, diagnosis SLE ditegakkan dari kriteria ARA. Pasien
memiliki 6 dari 11 kriteria berupa malar rash, ulkus oral, arthritis, gangguan
neurologis, gangguan hematologi dan fotosensitivitas.
Manifestasi awal yang muncul pertama pada pasien adalah badan lemas,
nyeri sendi serta sariawan. Lalu diikuti dengan malar rash. Gejala yang membuat
pasien datang ke rumah sakit adalah kejang dan tak sadarkan diri sehingga
membentur lantai. Terdapat penurunan seluruh komponen darah pada pasien atau
yang disebut pansitopenia.
29
Berdasarkan skor aktivitas lupus yaitu MEX SLEDAI, saat ini skor yang
dimiliki pasien adalah sebesar 6, namun pernah meningkat tajam ketika pasien
kejang yaitu saat masuk rumah sakit yaitu sebesar 17. Hal ini menunjukkan pasien
berada pada penyakit lupus berat.
Penyakit lupus yang dimiliki oleh pasien ini mengalami flare setelah
penyakit lupus terakhir yang diderita pada tahun 2012, dan saat ini memunculkan
gejala kejang. Kita perlu melakukan pemeriksaan penunjang lebih dalam untuk
menyingkirkan diagnosis banding serta tatalaksana yang baik agar penyakit ini
tidak memunculkan komplikasi yang serius seperti lupus nefritis, dan di kasus ini
dikhawatirkan adanya lupus cerebral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H. 2014. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Ed.IV. Jakarta: Media Aesculapius.
2. Pisetsky DS. 2013. Systemic Lupus Erythematosus: B. Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, editors. Primer on the rheumatic disease. 13th ed. USA: Springer Science Bussiness Media, LLC; p. 319-26.
3. Price and Wilson, 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
4. Conjocaru, Manole. 2011. Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3391953/
5. Wallace, Daniel dan Hahn, Bevra Hannahs. 2012. Dubois’ Lupus Erythematosus And Related Syndromes. Los Angeles:Saunders.
6. American Association for Chemical Chemistry, 2014. Anti DsDNA. (https://labtestsonline.org/understanding/analytes/anti-dsdna/tab/test/)
7. Swaak, Tom dan Ruud Smeenk. 1985. Detection of anti-dsDNA as a diagnostic tool: a prospective study in 441 non-systemic lupus erythematosus patients with anti-dsDNA antibody (anti-dsDNA). Annals of the Rheumatic Diseases.
30
8. Zelman, 2015. Laboratory Test For Lupus. (http://www.webmd.com/lupus/guide/laboratory-tests-used-diagnose-evaluate-sle)
9. Biesen, Robert dkk. 2011. Anti-dsDNA-NcX ELISA: dsDNA-loaded nucleosomes improve diagnosis and monitoring of disease activity in systemic lupus erythematosus. Arthritis Research & Therapy.
10. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.
11. Manson JJ, Isenberg DA. 2003. The Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Netherl Med.
12. Mok CC, Lau CS. 2014. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Clin Pathol.
13. Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. 1993. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus.
14. Wright, Bridget dan Bharadwaj Swati . 2010. Systemic Lupus Erythematosus.(http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/rheumatology/systemic-lupus-erythematosus/)
15. Cervera, Ricard, dkk. 2009. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis, Clinical Manifestations And Diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic Diseases.
16. Bawazier, Lucky Aziz, dkk. 2006. Lupus Nefritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.
17. Dooley MA and Nachman PH. 2013. Kidney Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus and Rheumatoid Arthritis. In: Primer of Kidney Disease.
18. Goodfield MJD, Jones SK, Viale DJ. 2012. The Connective Tissue Diseases In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology 9th edition. UK: Wiley Blackwell.
19. Kasjmir, Yoga I dkk. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
31